Koreografi Tarian Tradisional Dompu "Toho Soji Ra Sangga" karya Khairatun Mutmainnah, mahasiswa UNY asal Desa Ranggo Kecamatan Pajo Kabupaten Dompu NTB yang dipentaskan sebagai tugas akhir di Performance Hall Fakultas Bahasa, Seni dan Budaya (FBSB), Kamis (29/5/2025) lalu
Meski seluruh pendukung pentas tari ini dibayar dengan dana pribadinya, namun Ratu bersyukur karena timnya sangat antusias baik selama latihan maupun saat pentas karena yang ditampilkan adalah tarian tradisional dari luar Pulau Jawa. “Selama ini kalau tarian Jawa atau Bali, mereka sudah biasa. Tetapi mementaskan tarian daerah lain seperti Dompu, ini sangat menarik dan menantang mereka para penari tersebut,” ungkap anak kedua dari pasangan H Abdurrahman Awahab dan Siti Halimah, pemilik Sanggar Seni Mada Ntana, Ranggo, Pajo, Dompu itu.
Bahkan, katanya lagi, banyak orang tua siswa personel penari tersebut turut bangga dan berterima kasih karena telah melibatkan anak-anak mereka dalam event tugas akhir. “Yah, banyak orang tua bilang terima kasih ke saya karena telah mengajak dan memperkenalkan tarian khas Dompu Soji ra sangga ini kepada anak-anak mereka,” ungkap Ratu.
Menurut Ratu, dana Rp 35 juta tersebut mencakup berbagai biaya dan kebutuhan selama latihan hingga pentas yakni untuk membayar penari, penata musik, kostum, properti, pengambilan gambar, fotografer hingga pembuatan trailer. Agar penampilannya total, dia mengaku menggunakan jasa profesional. Untuk fotografer saja, kata alumni SMA IT Al-Kautsar Ranggo ini, dia menggunakan dua fotografer andal sehingga hasilnya juga menakjubkan. Demikian juga dengan komposer (penata musik) yang mengiringi tarian yang dipersembahkannya. “Untuk penata musik dengan durasi 11 menit saja saya bayar 4 jutaan, satu kali make up satu muka Rp 300 ribu, termasuk saat gladi sehingga untuk make up saja habis Rp 3 juta lebih. Ini belum termasuk fee penari, kostum, properti, lighting, pembuatan trailer termasuk sewa lokasi pengambilan video dan lainnya. Satu fotografer saja biayanya Rp 600 ribu,” bebernya. Ratu menjelaskan bahwa di Yogyakarta ada spesialis fotografer khusus tari, pernikahan dan lainnya.
Untuk kostum para penari, kata Ratu, ia memadukan dengan muna pa’a, kain tenunan tradisional Dompu, serta busana juga tidak transparan agar sesuai dengan syariat Islam yang pernah dianut oleh kesultanan Dompu di masa lalu. “Misalnya untuk penari perempuan memakai kostum kebaya yang tidak transparan, sedangkan penari cowok pakai celana pendek seperempat,” terangnya. Bahkan untuk kostum ia terpaksa memesan di Makassar karena tidak tersedia di Dompu maupun Bima.
Diceritakan Ratu, pengajuan tugas akhir tari di kampusnya lumayan panjang. Setelah judul diterima pihak program studi kemudian dipresentasikan secara detil dan dipertanggungjawabkan di hadapan tim penguji mengenai tarian yang diajukan baik kostum, musik, properti, seleksi penari dan lainnya. “Jadi butuh waktu sekitar tiga empat bulan bolak-balik konsultasi, presentasi, revisi dan latihan sebelum pentas,” katanya. Kata Ratu, selain melakukan pentas juga tetap ada kewajiban menulis skripsi.
Dengan proses cukup panjang dan melelahkan tersebut, Ratu mengaku sempat merasa frustrasi, tetapi ia mendapatkan dukungan dari orangtua dan keluarganya, terutama abangnya Khairil Akbar yang juga alumni Prodi Seni UNY. Untuk mengurangi biaya tugas akhir tari, kata Ratu, di kampusnya tersedia dua pilihan yakni pentas kolaborasi berdua dengan teman sekelas dan solo. Namun dirinya memutuskan mengambil pilihan pentas sendiri agar lebih maksimal. “Meski biaya yang saya keluarkan cukup besar untuk tugas akhir, tapi saya merasa puas dengan hasilnya. Saya bebas mengeksplor ide dan karya saya,” tuturnya. Ratu sukses menggelar tarian Soji ra Sangga pada Kamis, 29 Mei 2025, di Performance Hall, Fakultas Bahasa, Seni dan Budaya (FBSB), UNY. Ratu yang menuntaskan studinya selama empat tahun ini juga menjelaskan bahwa kostum tariannya akan segera diurus HAKI-nya oleh pihak UNY, sehingga tidak boleh ditiru oleh pihak lain tanpa izin.