Sultan Muhammad Sirajuddin dan Spirit Perjuangan

Kategori Berita

.

Sultan Muhammad Sirajuddin dan Spirit Perjuangan

Koran lensa pos
Minggu, 21 April 2024

Sultan Dompu Muhammad Sirajuddin (di atas punggung kuda). Beliau diberi gelar Sultan Manuru Kupa karena wafat di daerah pengasingan beliau di Kupang NTT dan dimakamkan di di Batu Kadera - Air Mata  Kupang. Pada masa Pemerintahan Bupati Dompu, H. Abubakar Ahmad, SH, di bulan Januari 2002, kerangka jenazah beliau dipindahkan di Komplek Masjid Agung Baiturrahman Dompu


Ada harga yang harus dibayar karena sebuah perlawanan. Pilihan untuk berani melawan kezaliman walau tanah berpijak, harta dan nyawa menjadi taruhannya. Meskipun yang dilawan memiliki kekuasaan yang lebih besar. Memiliki kekuatan yang bisa menggilas mereka yang berani menyuarakan kebenaran. Mereka yang berseberangan ide dan kepentingan. Mereka yang tidak mau patuh dan tunduk pada kekuasaan yang otoriter. Mereka yang siap menjadi mortir demi tanah air tercinta. Demi mereka yang harus dilindungi dari cengkraman kolonialisme yang menindas. 

Itulah yang dialami Sultan Dompu  bernama Muhammad Sirajuddin yang dibuang oleh pemerintah kolonial bersama kedua anaknya ke Kupang. Dia sadar bahwa pemerintah kolonial memiliki cukup kekuatan untuk menghempasnya dari kedudukan sebagai penguasa di bumi Nggahi Rawi Pahu. Namun sebagai pemimpin tertinggi, ia harus mengambil sikap berani demi kehormatan dan wibawa tanah leluhur.

Benar saja. Sang sultan harus menjauh dari kampung halamannya. Harus menerima kenyataan ia dibuang di pulau timur Nusantara pada tahun 1934. Di tempat pembuangan ia menjalani hari sebagai orang biasa, walau sejatinya dirinya adalah pahlawan bagi rakyatnya. Dan untuk meligitimasi kebijakannya mengasingkan Sultan Muhammad Sirajuddin, pemerintah kolonial menuliskan bahwa hal itu dilakukan karena sang sultan melakukan penarikan pajak yang tidak wajar pada rakyatnya. Memeras rakyatnya sehingga rakyat marah dan menentang sultan. 

Benarkah demikian? Rakyat Dompu tak pernah menorehkan sejarah pembangkangan terhadap pemimpinnya sepanjang sang sultan menjalankan pemerintahannya dengan berpijak pada nilai-nilai Islam. Ini yang membedakannya dengan para pemimpin yang ada di Eropa, yang beberapa dipenggal kepalanya karena memeras keringat rakyatnya sendiri lewat kebijakan yang tidak adil.

Setelah sekian waktu di tempat pengasingan, kerinduan sang Sultan pada tanah kelahiran semakin membuncah. Walau di tanah orang ia sangat dihormati dan diperlakukan dengan sangat baik oleh Raja Kupang Nicolas Nicynoi dan rakyatnya. Bahkan sang sultan bisa menjalankan ibadah sebagai muslim tanpa khawatir diganggu oleh pihak lain. Namun tanah air serta rakyat Dompu nan jauh di sana tetap dirindukannya setiap waktu.

Sebagai bentuk kerinduan atas tanah airnya, suatu hari sang sultan ingin menikmati "doco dumu loa" yang merupakan sambal khas Dompu. Sambal yang tidak pernah dinikmatinya sejak dirinya diasingkan di tanah orang. Mengetahui itu, segera orang-orang terdekatnya mencari bahan mentah untuk sambal "doco dumu loa". Namun sayang bahannya tidak ditemukan, hingga akhirnya mengirim kabar ke tanah Dompu agar dikirimkan bahan untuk 'doco dumu loa".

Selera memang tidak bisa berbohong. Sejauh-jauhnya orang dari tanah kelahiran, selera akan makanan kampung halaman akan tetap dirindukan, demikian pula sang sultan. Ia bisa saja berada jauh di kampung  Air Mata, Kupang. Tapi makanan di mana dirinya berasal masih ingin dinikmatinya walau itu tidak mudah diwujudkan. Sebuah keinginan yang tidak sempat ditunaikan, karena sang sultan keburu pulang ke rahmatullah sebelum bahan untuk sambal "doco dumu loa" sampai ke kediamannya di Kupang. 

Pj. Gubernur NTB, Lalu Gita Ariadi bersama Bupati Dompu Kader Jaelani dan sejumlah pejabat lainnya saat berziarah ke Pemakaman Sultan Manuru Kupa di Komplek Masjid Agung Baiturrahman Dompu usai mengikuti Upacara Peringatan Hari Jadi Dompu ke - 209 di Lapangan Beringin Pemda Dompu, Kamis (18/4/2024)


Sultan Muhammad Sirajuddin tetaplah manusia biasa. Manusia yang memiliki kerinduaan yang sama dengan rakyat yang ditinggalkannya. Kerinduan untuk kembali ke tanah leluhurnya. Tanah yang dirampas dan diobrak abrik oleh kolonialisme Belanda. Karena sepeninggal sang Sultan, Dompu seolah tanah tak bertuan. Tanpa pemimpin, karena segera digabungkan menjadi bagian dari Bima kala itu. 

Kolonialisme seolah menjadi penentu arah sejarah dengan kekuasaannya. Dengan kekuasaan itu pula, mereka menjauhkan pemimpin Dompu dengan rakyatnya. Tetapi tidak dengan semangat perlawanan yang diwariskan sang sultan pada rakyatnya. Ini membuktikan justifikasi sejarah kolonial bahwa sultan membebankan pajak kepada rakyatnya sehingga dengan dasar itu pemerintah kolonial membuangnya ke pulau Timor.

Perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Kempo yang dikomandani oleh Tamin H. Adam dan A. Rasul H. Adam merupakan salah satu dari sekian perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Dompu terhadap pemerintah kolonial Belanda. Semangat perlawanan itu tidak muncul begitu saja. Selain karena kesadaran bahwa kehadiran kolonialisme Belanda tidak memberikan dampak yang baik bagi masyarakat, malah justru membuat masyarakat sengsara dengan segala kebijakannya.

Sang sultan memang tidak memimpin secara langsung perlawanan yang dilakukan rakyatnya. Tetapi spirit untuk tidak menerima kebijakan kolonial Belanda merupakan contoh baik bagi semua rakyatnya. Karena tidak boleh harga diri diinjak-injak di tanah sendiri. Ini tidak sekadar tanah sejengkal, laut dan teluk diambil, tapi harga diri sebagai orang Dompu tak boleh dikebiri oleh penjajah. Maka perlawanan adalah jalan baik untuk diambil agar kolonialisme di tanah bumi Nggahi Rawi Pahu tidak bercokol lama.

Rekam historis memang tidak melulu mengenai perlawanan dan kepahlawanan. Tetapi di situ ada ideologis, nilai, spirit, makna, serta hasrat yang membangkitkan untuk melakukan sesuatu. Landasan pijak itulah menjadi kekuatan yang menggerakkan seseorang untuk mengambil sikap dan merespons sesuatu di luar dirinya. Dengan nilai keislaman yang sudah mengakar di kesultanan dan rakyat Dompu telah memberikan spirit perlawanan.

Nilai-nilai itu mestinya menjadi spirit yang terus hidup dan mengalir sampai kapan pun. Sang sultan dan rakyat Dompu telah memberikan contoh baik untuk orang Dompu saat ini. Mengenang sejarah tidak hanya sekadar menumbuhkan rasa bangga dan kecintaan buta pada tanah kelahiran. Tapi spirit dan nilai yang diwariskan para pendahulu mesti pula diambil untuk menggerakkan kita agar berbuat sesuatu pada bumi Nggahi Rawi Pahu. Saat ini dan di masa mendatang. Betul?

Penulis : Raden't orang biasa di selatan Dompu