"Nggusu Waru", 8 Kriteria Pemimpin Idaman Masyarakat

Kategori Berita

.

"Nggusu Waru", 8 Kriteria Pemimpin Idaman Masyarakat

Koran lensa pos
Sabtu, 28 Juli 2018
Konsep Nggusu Waru dalam Kepemimpinan masyarakat Dompu dan Bima


Dompu, Lensa Post NTB - 
Seluruh strata (tingkatan) kehidupan di masyarakat harus ada yang menjadi pemimpin. Mulai dari kelompok terkecil yakni kehidupan rumah tangga. 

Kadang-kadang dalam sebuah rumah tangga yang telah kehilangan sosok ayah atau suami, maka sang ibu atau istri mengambil peran sebagai ibu dan juga sebagai ayah. 

Dalam kehidupan bermasyarakat mulai dari Rukun Tetangga (RT) sampai negara ada pemimpinnya masing-masing. Demikian pula dalam suatu lembaga, perusahaan atau organisasi, selalu ada yang memimpinnya yang dikenal dengan sebutan ketua atau kepala atau direktur. 

Tentu saja seorang pemimpin memiliki kriteria-kriteria tertentu agar semasa kepemimpinannya membawa kemaslahatan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Karena itu, di dalam memilih pemimpin hendaknya mempertimbangkan kriteria-kriteria tersebut. Bukan ibarat membeli kucing dalam karung.

Apalagi tahun 2019 merupakan tahun politik yang sangat menentukan nasib bangsa dan daerah selanjutnya.

Drs. H. Abdul Malik H. Mahmud Hasan, mantan Staf Pengajar di Fakultas Ushuluddin IAIN (kini UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam bukunya "Nggusu Waru" mengungkapkan ada 8 (delapan) kriteria pemimpin yang menjadi dambaan masyarakat banyak. 8 kriteria ini dikenal oleh masyarakat Dompu dan Bima dengan istilah "Nggusu Waru". 

Menurut pengakuan Aba Melo, panggilan familiar Ulama asal Kandai Dua Dompu yang kini berdomisili di Kota Gudeg Yogyakarta ini, konsep "Nggusu Waru" ini diperolehnya dari catatan H. Muhammad Ali Kamaluddin (Uma Elo), tokoh kharismatik Kandai Dua melalui keluarga/muridnya, H. Yakub Muhammad (Kandai Dua) ketika melakukan penelitian untuk suatu tugas akademik.

Menurut  Uma Elo, "Nggusu Waru" atau juga dikenal dengan "Pote Waru" adalah delapan sifat/karakteristik yang menyatu sedemikian kuatnya dalam diri seseorang yang menjadi pemimpin (dumudou, amadou, amarasa). "Kedelapan sifat/karakteristik itu sekaligus dapat dijadikan kriteria alternatif bagi seorang yang akan dipilih/diangkat menjadi pemimpin," papar Aba Melo.

Kedelapan sifat dalam "Nggusu Waru" tersebut ialah : sa'ori kaina (yang pertama) "dou ma maja labo dahu di ndai Ruma Allahu Ta'ala". Artinya orang yang merasa malu dan takut kepada Allah SWT. Kata lainnya, orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Dalam kesehariannya ia sangat berhati-hati dalam berucap dan berbuat. Ia tidak mau bersikap sembarangan, karena ia yakin bahwa Allah SWT pasti memperhatikan dirinya, meskipun mata kepalanya tidak dapat melihat Allah. "Sifat ma sabua ake nakapisiku sifat ma pidumbua ma kalai ede (sifat yang satu ini akan meliputi 7 sifat lainnya," jelas Aba Melo.

Ďua orikaina (yang kedua) "dou ma bae ade" artinya orang yang memiliki kapasitas intelektual serta kepekaan jiwa (spiritual) yang mendalam sehingga dengan mudah merespons berbagai masalah yang terjadi secara rasional dan intuitif serta tidak mudah bersikap emosional dalam arti negatif. Karena itu, ia selalu mengontrol dirinya sehingga tidak mudah terbawa oleh pemikiran yang bersifat polaritas: pro-kontra, hitam-putih dan sejenisnya. Tetapi ia mampu berpikiran positif, partisipatif, akomodatif dan adaptatif. Ia mampu memoderasi, menjembatani, mencari titik temu dari dua/beberapa hal yang ekstrim. Ia mampu berada "di tengah-tengah" menjadi wasit yang adil dan santun. Ia tidak mudah terpancing melakukan kekerasan. Bisa menempatkan dirinya secara proporsional, tidak berat sebelah yang dapat mengakibatkan disharmoni (kepincangan, unca-anca, ngu'e-nga'e).

Tolu orikaina (yang ketiga) "dou ma mbani labo disa". Artinya orang yang memiliki sifat berani melakukan perubahan (reformasi) ke arah yang lebih positif-konstruktif karena diyakini kebenarannya betapapun besar resikonya. Karena itu, ia berani mengambil keputusan yang cepat dan dalam waktu dan keadaan yang tepat serta berani mempertanggungjawabkannya di dunia sampai di yaumilhisab.

Upa orikaina "dou ma lembo ade ro ma na'e sabar. Artinya orang yang lapang dada (berjiwa demokratis dan akomodatif) yang mampu menjembatani hal-hal yang dapat menimbulkan polaritas (pro-kontra). Berkat kesabarannya, ia tidak mudah memihak kepada hal-hal yang nampak secara lahiriah menguntungkan oadahal justru membahayakan. Dengan demikian, ia mampu mengatasi berbagai krisis yang terjadi, karena ia memiliki tekad/semangat yang membaja dalam meraih tujuan yang lebih luhur, lebih membahagiakan. Ia mantapkan tekad/semangat itu dengan mengatakan "kalembo ade, kana'e sabar, kapaja syara', sia sawa'u su'u sawale". Ia meyakini sepenuhnya bahwa sabar itu memang pahit pada awalnya, tetapi manis pada akhirnya.

Lima orikaina (yang kelima) "doj ma ndinga nggahi rawi pahu". Artinya orang yang jujur. Orang yang dalam jiwanya tertanam keyakinan satunya kata dengan perbuatan (tidak hipokrit). Apa yang telah dikatakan atau yang telah disepakati bersama, itu pulalah yang akan dilaksanakan  bersama secara arif, sehingga menghasilkan sesuatu yang sangat positif dan konstruktif, nantau pahu.

Ini orikaina (yang keenam) "dou ma taho hidi" atau "londo dou ma taho". Artinya orang yang memiliki integritas kepribadian yang kokoh, kuat dan berwibawa. Dedikasinya tinggi serta loyal akan perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran. Jadi, "taho hidi" di sini bukan pada penampakan fisik kejasmaniannya yangntampan dan gagah saja, tetapi yang sangat penting pada aspek integritas kepribadian yang sidik (jujur, tidak bohong), amanah (dapat dipercaya, tidak khianat), tabalig (transparan dan komunikatif) serta fatonah (cerdas, kreatif, tidak bodoh/dungu).

Pidu orikaina (yang ketujuh) "dou ma ďou ma ďi woha dou". Artinya orang yang selalu merasa terpanggil untuk mengambil tanggung jawab di tengah-tengah komunitasnya. Ia selalu hadir di tengah-tengah masyarakat, baik di kala suka maupun duka  dengan tidak membeda-bedakan status sosial kaya-miskin, orang kota-orang gunung, bangsawan-budak (adadou). Ia selalu ringan mengulurkan bantuannya tanpa tendensi apapun. Ia merasa sangat senang bila melihat rakyatnya senang. Sebaliknya ia merasa sangat susah bila rakyatnya berada dalam kesusahan. Karena itu, ia selalu mencari cara untuk bisa membantu. Karenanya, ia selalu dekat di hati rakyat dan selalu dicintai rakyatnya.

Waru orikaina (yang kedelapan) "dou ma ntau ro wara". Artinya orang yang memiliki kekayaan. Bukan hanya kekayaan yang bersifat materi kebendaan saja, tetapi yang penting kekayaan rohani, sehingga tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang bersifat materi betapapun ia menghajatkannya. Atau menurut ungkapan yang populer di era reformasi dewasa ini, ia tidak mau melakukan KKN alias Kuku Keko Ndimba betapapun ia menghajatkan materi/uang karena sangat bertentangan dengan hati nuraninya. Bertentangan dengan sifat-sifat terpuji yang antara kain telah disebutkan di atas. Ia sudah merasa kaya secara rokhaniah. Dengan demikian, ia mampu menilai bahwa sebuah benda yang berharga itu, tidak ubahnya ibarat batu/kerikil yang berserakan di sepanjang jalan. Ia sama sekali tidak.tergiur atau tidak terusik untuk memiliki sesuatu yang bukan miliknya.

"Tipe seperti ini tidak pernah mementingkan diri sendiri/golongannya. Tetapi yang dipentingkan adalah pihak lain yang lebih luas, rakyat, bangsa, dan tanah airnya," terang Aba Melo. (LP.NTB/ EMO Dompu)