"Sa Donggo"

Kategori Berita

.

"Sa Donggo"

Koran lensa pos
Senin, 22 Mei 2023

         Sugerman Hasan, M. Pd*




Sebenarnya saya tidak mau memperhatikan dan menghiraukan komentar-komentar para netizen di media sosial perihal dugaan penghinaan terhadap salah satu suku, tetapi saya ingin meluruskan pemahaman kita tentang makna bahasa daerah. 

Beberapa tahun lalu saya telah meriset tentang gejala pembentukan kata (morfologi) bahasa Bima, insya Allah sampai saat ini saya konsen pada berbagai macam permasalahan bahasa daerah. 

Kembali ke laptop. Saya hanya ingin menganalisis pembentukan katanya terlebih dahulu. Perhatikan keragaman makna prefiks (sa-) pada beberapa kata berikut.
1. (sa-)+ mba'a menjadi samba'a=satu tahun
2. (sa-)+ doho menjadi sadoho=sambil duduk
3. (sa-)+ ongge menjadi sa'ongge=satu gayung
4. (sa-)+ rasa menjadi sarasa=satu kampung, satu wilayah, semua orang se kampung
5. (sa-)+donggo menjadi sadonggo=satu kampung, satu kampung, semua orang donggo.
6. Dan seterusnya.

Bagaimanakah pengertian kalimat postingan salah satu facebooker di akunnya yang lagi viral saat ini ?

"Manusia sa Donggo Donggo lalon dou binatang mpoi eeee pueeeee..." ?

Saya ingin menganalisis kalimat tersebut dalam perspektif wacana.
Dalam teori wacana, tidak ada teks yang tercipta tanpa dipengaruhi konteks. Bisa konteks sosial, budaya, politik, dan lain-lain. Dalam konteks sosial, bisa jadi teks tersebut tercipta karena pencipta teks (status) memiliki status sosial rendah, atau karena persoalan hubungan emosional dia dengan orang di luar sukunya (dalam hal ini suku Donggo), atau bisa jadi karena itu umpatan-umpatan kepada seseorang yang berwatak kasar dan keras 

Umpatan-umpatan "sadonggo-donggo", "lako donggo" menjadi hal biasa yang diproduksi oleh orang di luar suku Donggo ketika berhadapan dengan saudaranya atau anak yang berwatak kasar dan keras. 

Preseden buruk ini menjadikan momok bagi kita yang hidup di jaman milenial ini. Padahal kalau kita baca sejarah bahwa ungkapan "lako donggo" itu merupakan penghargaan kepada anjingnya ncuhi Donggo yang paling banyak mendapatkan kijang, ketika raja Bima mengadakan sayembara pada saat itu. Namun, dalam perkembangannya istilah itu, menjadi suatu kosakata yang digunakan untuk menghina orang lain.

Watak kasar dan keras. Istilah ini berawal dari ncuhi Donggo yang tidak mau membayar Upeti kepada Hindia Belanda saat itu, karena satu-satunya suku yang tidak membayar upeti kepada HB yaitu suku Donggo sehingga kepala Ncuhinya diungsikan ke Ende-NTT. Ngapain tunduk kepada kepada penjajah...!


Saya juga ingin menganalisis teks (status) tersebut dalam perspektif sintaksis (kalimat) 

Kalimat di atas bentuk dari dua kalimat yaitu kalimat inti dan kalimat penjelas. Kalimat intinya "manusia sa Donggo Donggo lalona" dan kalimat penjelas "dou binatang mpoie...." 

Ditinjau dari fungsi kalimat kata "manusia" bertindak sebagai Subjek (pelaku), "Sa Donggo Donggo lalona" berfungsi sebagai objek (sasaran), "Dou binatang mpoie" berfungsi sebagai keterangan sifat. Jadi, teman-teman netizen budiman, ditinjau dari sudut pandang kajian bahasa baik mikro maupun makro, teks tersebut tetap bermakna penghinaan kepada salah satu suku yang ada di Bima dan Dompu

Jadi, netizen yang budiman, marilah menggunakan bahasa daerah yang baik dan benar supaya kita tidak saling menghina satu sama lain.

*Penulis adalah Dosen Bahasa Indonesia di STKIP YAPIS Dompu dan Kandidat Doktor