DP3A Kabupaten Dompu Kembali Laksanakan Sosialisasi Pencegahan TPPO

Kategori Berita

.

DP3A Kabupaten Dompu Kembali Laksanakan Sosialisasi Pencegahan TPPO

Koran lensa pos
Sabtu, 12 November 2022

 

Sosialisasi Pencegahan TPPO di Aula Kantor DP3A Kabupaten Dompu, Jumat (11/11/2022)



Dompu, koranlensapos.com - Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A) Kabupaten Dompu, Jumat (11/11/2022) kembali melaksanakan kegiatan sosialisasi pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Kegiatan dimaksud dihelat di Aula Kantor DP3A Kabupaten Dompu. 

Hadir sebagai narasumber Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Dompu, Syamsul Ma'arif, ST dan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Dompu, AKP Adhar, S. Sos.

Kadisnaker menyajikan materi tentang prosedur, persyaratan dan mekanisme pemberangkatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke luar negeri. Sedangkan Kasat Reskrim membahas tentang penanganan kasus TPPO di Polres Dompu.

Sedangkan peserta sosialisasi adalah beberapa perwakilan dari OPD terkait seperti Dinas Dikpora, Dinas Kominfo, Bakesbangpol, LSM, dan juga secara khusus mengundang Pemerintah Kelurahan Dorotangga dan Bhabinkamtibmas Dorotangga.

"Dorotangga kami undang khusus karena beberapa tahun terakhir, pekerja migran yang menjadi korban TPPO ini banyak dari Dorotangga," sebut Kepala DP3A Kabupaten Dompu, Hj. Daryati Kustilawati saat membuka kegiatan tersebut. 
Daryati menegaskan bahwa TPPO merupakan kejahatan kemanusiaan yang harus dicegah. 

"Karena TPPO itu memperdagangkan orang atau menjual orang maka ini merupakan kejahatan kemanusiaan. Kita harus melakukan pencegahan," tandasnya.

Guna melakukan pencegahan terhadap TPPO, maka koordinasi dan kolaborasi yang sudah berjalan baik antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang sudah berjalan baik selama ini hendaknya diperkuat dan ditingkatkan lagi. 
Dikatakannya salah satu upaya untuk mencegah terjadinya human traficking (perdagangan orang), maka sosialisasi harus terus pula dilakukan guna memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang TPPO.

"Sosialisasi TPPO ini untuk menekan pekerja anak, menekan pernikahan dini, meningkatkan pemberdayaan perempuan, meningkatkan peran ibu dalam rangka pengasuhan anak. Kalau ini tidak ditangani dengan serius akan menimbulkan dampak tidak bagus dalam upaya perlindungan perempuan dan anak," jelasnya.

 Dikatakannya kejahatan TPPO ini masih kerap terjadi. Dalam dua tahun belakangan ini, DP3A bersama Disnaker Kabupaten Dompu melakukan berbagai upaya untuk pencegahan dan penanganan PMI yang mengalami kekerasan di luar negeri tempat meeeka bekerja sampai pada proses pemulangan ke tanah air. Koordinasi yang dilakukan sampai dengan pihak majikan maupun dengan Konsulat Jendral Republik Indonesia di negara tempat PMI berada.

Kadisnakertrans Kabupaten Domou, Syamsul Ma'aruf dalam paparan materinya menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia tidak terkecuali asal Kabupaten Dompu yang menjadi pekerja migran di luar negeri sudah banyak yang menjadi korban human traficking ini. 
Dalam upaya pencegahan terhadap TPPO, Pemerintah sebenarnta telah banyak mengeluarkan regulasi. 
Yang terbaru adalah UU 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO. 

Menurut UU tersebut, pada pasal 1 angka 1 menjelaskan perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang terkesploitasi.

Selanjutnya, eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.

Lebih lanjut Syamsul mengemukakan bahwa yang paling banyak terjadi dalam kasua eksploitasi bagi pekerja migran adalah pemalsuan dokumen dengan merubah umur dan pemberangkatan dilakukan secara nonprosedural.

"Korban eksploitasi ini umumnya anak-anak perempuan putus sekolah (tidak bersekolah, keluarga miskin, karena terjerat utang, korban broken home, korban kekerasan dalam rumah tangga. Sedangkan pelaku didominasi oleh orang terdekat atau melalui orang terdekat," ungkapnya.

Pada kesempatan Kadisnaker juga menyampaikan bahwa hingga saat ini pemerintah masih memberlakukan moratorium (penangguhan, penundaan) bagi pekerja migran di negara-negara Timur Tengah. Namun demikian dirinya tidak dapat menampik masih banyak pekeeja migran yang secara inprosedural (ilegal,red). Menurutnya hal itu terjadi karena kedekatan hubungan emosional antara para pekerja migran asal Pulau Sumbawa dengan para majikan di Timur Tengah.

"Faktanya memang susah kita cegah. Karena secara tradisi di Pulau Sumbawa khususnya memiliki hubungan emosional dengan Arab Saudi, terutama TKW-TKW kita sebelumnya sehingga sampai saat inipun mereka tetap ke sana," ujarnya.

Syamsul juga menyinggung TPPO yang banyak terjadi adalah pemalsuan dokumen bagi pekerja migran. Merubah umur seseorang agar bisa diberangkatkan. Padahal menurut ketentuan UU nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan PMI pasal 5  bahwa setiap Pekerja Migran Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri harus memenuhi persyaratan: 
a. berusia minimal 18 (delapan belas) tahun, 
b. memiliki kompetensi, 
c. Sehat jasmani dan rohani, 
d. Terdaftar dan memiliki nomor kepesertaan Jaminan Sosial: dan 
e. memiliki dokumen lengkap yang dipersyaratkan. 

Selanjutnya pada pasal 66 menegaskan Setiap Orang dilarang menempatkan Pekerja Migran Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan umur 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a. Pada pasal 80 menyebutkan sanksinya. Setiap orang yang menempatkan Pekerja Migran Indonesia, padahal diketahui atau patut menduganya bahwa yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

"Pejabat yang memberikan rekomendasi bagi calon PMI yang tidak memenuhi persyaratan akan kena juga," tegasnya.

Diakuinya kendala yang dihadapi dalam upaya pencegahan TPPO adalah masih minimnya pemahaman masyarakat terhadap TPPO ini. Sehingga sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat harus teris digencarkan.

"Kita harapkan bapak-bapak ibu-ibu yang hadir pada saat ini jadi corong untuk menyampaikan kembali. Paling tidak di lingkungan keluarga. Bahkan di lingkungan masyarakat di mana kita bertempat," harapnya.

 Kasat Reskrim AKP Adhar, S. Sos menguraikan bahwa kasus TPPO yang sering ditangani Polres Dompu pada umumnya adalah soal pemalsuan dokumen terhadap korban yang dilakukan oleh sponsor 'nakal'.

"Kasusnya yang sering kami temui adalah pemalsuan identitas. Umurnya dirubah. Misalnya baru tamat SMP dua tahun kemudian ditambah umurnya, dirubah KTP-nya kadang-kadang copy di atas copy. Ini yang harus diteliti oleh teman-teman di Disnaker. Ini kebanyakan kenakalan pihak sponsor. Supaya bisa mengirim tenaga kerja sehingga segala macam cara mereka lakukan. Karena mereka mendapatkan bonus dari setiap pengiriman tenaga kerja," paparnya.

Dikatakannya, ketika ditemukan tindak pidana, tidak menutup kemungkinan pihak Disnaker bisa dikenakan pasal pidana karena turut serta membantu melakukan proses perekrutan maupun pemberangkatan.

Yang perlu dipahami pula, lanjutnya bahwa bentuk.eksploitasi terhadap anak ini ada 3 yaitu eksploitasi ekonomi, eksploitasi sosial, dan eksploitasi seksual.

"Kebanyakan yang terjadi adalah eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual. Anak-anak diimingi dengan bekerja sebagai di suatu rumah tangga tetapi menjadi korban seksual," ungkapnya sembari berdoa semoga tidak terjadi di Kabupaten Dompu.

Diuraikannya UU nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan terhadap UU nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sudah jelas tersurat pasal-pasal yang mengatur larangan eksploitasi anak. 
"Ancamannya minimal 10 tahun," tegasnya.

Dalam sesi tanya jawab sejumlah peserta menyampaikan sejumlah informasi, pertanyaan dan masukan. Maraknya kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja boleh jadi karena mereka kurang mendapatkan bimbingan, kasih sayang dan perhatian dari orang tua karena ditinggalkan bekerja ke luar negeri demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Ada juga yang memberikan masukan penderitaan yang dialami anak-anak balita yang ditinggalkan oleh ibunya bekerja ke luar negeri dan dititipkan kepada neneknya.

"Penderitaan yang terjadi akibat ibunya berangkat ke luar negeri dirasakan oleh anak-anak balita yang ditinggalkan. Anak-anaknya terlantar. Ada yang dititipkan kepada neneknya, neneknya kewalahan tidak mampu mengurus dengan baik. Bisa jadi suaminya kawin lagi karena lama ditinggalkan oleh istrinya yang bekerja di luar negeri," ungkap Syamsuddin, salah satu Kepala Seksi di DP3A Kabupaten Dompu.

Kadis P3A Kabupaten Dompu di penghujung acara tersebut menyampaikan rekomendasi agar dalam draft Peraturan Daerah tentang Pemberantasan TPPO memuat aturan larangan keberangkatan ke luar negeri  bagi calon PMI yang masih memiliki anak balita. (emo).