Sejarah Rade Waru Kali di Kandai Satu Dompu yang Perlu Diketahui

Kategori Berita

.

Sejarah Rade Waru Kali di Kandai Satu Dompu yang Perlu Diketahui

Koran lensa pos
Minggu, 30 Mei 2021

Oleh: Faisal Mawa'ataho

Makam Waru Kali di Kel. Kandai Satu Dompu



Jika anda berjalan-jalan ke Kelurahan Kandai Satu, Dompu dan menanyakan di mana “Rade Waru Kali”, saya yakin semua orang di sana tahu lokasinya. Namun sayang tak semua orang tahu siapa sebenarnya pemilik makam itu, siapa namanya, dari mana asal usulnya dan apa gelarnya. Bahkan masyarakat sekitar, karena buta sejarah yang parah kemudian mengubah nama gelar sang empunya makam itu dari Waro Kali menjadi Waru Kali. Alasannya gampang ditebak, masyarakat awam tidak paham apa makna dari Waro Kali maka mereka mengasosiasikan nama itu dengan istilah yang lebih familiar di telinga mereka.

“Apa itu Waro Kali? Ah mungkin salah dengar atau salah sebut. Waro kali tak jelas artinya. Waro = kakek buyut, kali = kali. Waro Kali = Kakek buyut yang dikalikan??? Ah…. ngawur ini. Mungkin maksudnya Waru Kali (baca: Delapan Kali).” Begitulah mungkin yang ada dalam pikiran masyarakat sekitar. Sehingga nama Waro Kali kemudian bergeser menjadi Waru Kali hingga hari ini. 

Padahal itu semua gara-gara mereka tidak paham penggunaan kata Waro. Mereka bahkan tidak paham apa artinya kali. Bahkan mereka juga tidak paham siapa itu Waro Kali? Parahnya lagi, ada sebagian orang pintar namun sayangnya tidak paham sejarah Dompu yang mengasosiasikan makna Waro Kali dengan prinsip Nggusu Waru dalam tradisi kepemimpinan Dou Dompu. Padahal tidak ada hubungannya sama sekali. Ingat, Waro Kali itu ulama dan bukan sultan. Sehingga sangat salah kaprah ketika melekatkan kriteria kepemimpinan Nggusu Waru kepada Waro Kali. Lagi pula Waro Kali bukan orang asli Dompu. Bagaimana bisa beliau menggunakan filosofi kepemimpinan yang berkembang di dalam masyarakat asli Dompu dalam gelar keulamaannya?

*Makna Frasa Waro Kali*
Kata kali adalah kata serapan dari bahasa Jawa Kali yang artinya tokoh agama. Kata kali dalam bahasa jawa ini juga merupakan serapan dari bahasa Arab yakni kata Qadhi yang berarti hakim. Adapun kata Waro memang berarti kakek buyut, namun kata waro dalam frasa Waro Kali itu merupakan terjemahan dari kata Syaikh dalam bahasa Arab. Jadi, baik kata waro maupun kata syaikh memiliki makna yang sama, yakni seorang pria yang sudah lanjut usia (kakek). Kata Syaikh / Syekh dahulu populer digunakan di Nusantara untuk menyebut seorang ulama asing (umumnya dari Arab, Persia dan Gujarat).

Jadi gelar Waro Kali artinya adalah Syaikh Al-Qadhi, ulama yang tinggi ilmunya dan luas kebijaksanaanya serta ditugaskan untuk memutus / mengadili perkara di antara masyarakat dengan hukum / Syariah Islam. Dalam khasanah fiqh Islam, qadhi bukanlah petugas yang diangkat oleh masyarakat, namun ia diangkat oleh penguasa setempat sesuai tingkatannya, baik itu diangkat oleh Khalifah (Kepala Negara) di tingkat pusat, diangkat oleh Wali (Gubernur) di tingkat provinsi maupun oleh ‘Amil (Wali Kota) di tingkat kota / kabupaten. Dalam hal ini kemungkinan besar dilihat dari namanya, Waro Kali adalah seorang ulama pendatang yang luas ilmunya dan telah berkelana dari barat ke tanah Jawa hingga datang ke Dompu sehingga diangkat menjadi hakim oleh sultan di Kesultanan Dompu.

*Siapakah Waro Kali?*
Nama asli Waro Kali adalah Syaikh Hasanudin. Beliau adalah salah satu ulama besar yang datang ke Dompu sekitar tahun 1585, di akhir masa pemerintahan Sultan Syamsuddin. Beliau berasal dari Tanah Andalas (Sumatera). Ada pula yang mengatakan bahwa beliau berasal dari Makkah (Ridwan, Masuknya Islam ke Kerajan Dompu, 1985, hal. 37-38). Namun ini bisa dikompromikan bahwa beliau adalah keturunan Arab yang lahir di P. Sumatera. Ada cerita yang berkembang pada masyarakat Dompu dahulu bahwa beliaulah yang pertama kali membawa Islam ke Dompu. Menurut cerita itu, beliau adalah ulama dengan karomah dari Allah sehingga mampu mengalahkan kesaktian Raja Dewa Mawa’a Taho (ibid, hal. 37-38). Dalam versi lain, sebagaimana dituturkan oleh A. Azis M. Saleh (seorang mantan pejabat Kesultanan Dompu), Syaikh Hasanuddin datang pada masa pemerintahan Sultan Abdul Rasul I yang bergelar Bumi So Rowo (1697-1718 M).

Dengan menggabungkan semua keterangan di atas, kita dapat menduga bahwa beliau memang datang di akhir masa pemerintahan Sultan Syamsuddin. Beliau melewati masa pemerintahan Sultan Sirajuddin dan Sultan Abdul Hamid hingga masa pemerintahan Sultan Abdul Rasul I Bumi So Rowo. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Rasul inilah Belanda mulai menginjakkan kaki ke Kesultanan Dompu dan mencoba melancarkan misi kristenisasi. Namun berkat kegigihan Syaikh Hasanuddin, usaha Belanda akhirnya gagal dan agama nasrani tidak berhasil masuk ke Dompu hingga berabad-abad kemudian. Menurut Syekh Mahdali dalam wawancara di tahun 1985, gereja pertama di Dompu baru dibangun pada tahun 1965.

*Mengawal Penerapan Syariah dan Menentang Kristenisasi*
Menurut Makarau Kepala Seksi Kebudayaan Depdikbud Dompu tahun 1985, Syekh Hasanuddin-lah yang menentang keras misi kristenisasi oleh Belanda. Padahal Sultan Abdul Rasul I hampir saja mengizinkannya. Hal ini membuat beliau sangat ditakuti oleh Belanda (ibid, hal. 38).

Syekh Hasanuddin diangkat oleh Sultan Dompu untuk menjadi pejabat qadhi untuk mengadili dengan Syariah Islam. Beliau menjadi pengawal penerapan Syariah Islam oleh Kesultanan Dompu. Orang seperti beliau pasti akan menegur ketika sultan lengah dan meluruskan ketika sultan keliru terhadap Syariah Islam. Berhukum dengan seluruh Syariah Islam dengan diterapkan oleh negara merupakan konsekwensi dari perintah Allah untuk menerapkan Syariah Islam. Allah berfirman:

“Maka putuskanlah perkara di antara mereka (rakyat) menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.“ (TQS. Al Maaidah: 48).

Ayat ini adalah salah satu ayat yang berisi perintah kepada seorang kepala Negara untuk menerapkan Syariat Islam terhadap rakyatnya. Syariat itulah yang terkandung dalam Al-Quran dan Al-Hadis dan disampaikan lewat lisan Rasulullah SAW. Jika seorang muslim, baik dia penguasa maupun rakyat, tidak mau menerapkan syariat yang diputuskan (dibawa) oleh Rasulullah, maka imannya diragukan. Allah berfirman:

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (TQS. An Nisa’: 65).

Penerapan Syariah adalah wujud ketaqwaan. Dengan ketqwaan semacam inilah Allah akan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi sebuah negeri. Sebagaimana janji Allah:

Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah (kemakmuran) dari langit dan bumi,… (TQS. Al A’raaf: 96).

Meskipun VOC Belanda akhirnya bisa mempengaruhi roda perpolitikkan di Kesultanan Dompu selama kurun akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-19, dan hal itu menyebabkan penerapan Syariah mengalami pasang surut, namun VOC Belanda tidak pernah berhasil mengubah keyakinan penduduk Dompu menjadi Nasrani. Itulah jasa besar Waro Kali untuk masyarakat Dompu. Kalau tidak ada beliau yang orang pendatang itu, apa jadinya manusia di Dompu? Mungkin sudah menyembah berhala yang dianggap perwujudan anak Tuhan.

Syekh Hasanuddin (Waro Kali) dimakamkan di kompleks Pemakaman Waru Kali, yang masuk ke dalam wilayah Kelurahan Kandai Satu, Kecamatan Dompu. Persis di sebelah timur makam beliau terdapat Situs Warukali yang merupakan reruntuhan bangunan yang diduga sebagai reruntuhan masjid pertama di Kesultanan Dompu. Pada masa pemerintahaan Bupati Dompu H. Abubakar Ahmad (2000-2005), Komplek Pemakaaman Waro Kali ditetapkan sebagai salah satu situs purbakala yang bernilai sejarah tinggi.