Ismail, Anak Kusir Benhur yang Berjuang Meraih Mimpi (1)

Kategori Berita

.

Ismail, Anak Kusir Benhur yang Berjuang Meraih Mimpi (1)

Koran lensa pos
Minggu, 04 Oktober 2020

Ismail, S. Pd., MA dan ayahnya Ilyas


Dompu, koranlensapos.com - Kisah ini bukanlah cerita fiktif atau rekaan penulis. Tetapi merupakan kisah nyata perjalanan hidup seorang putra Dompu yang bernama Ismail. Anak kelima dari pasangan bapak Ilyas dan almarhumah Hafsah di Lingkungan Jado Kelurahan Dorotangga Kecamatan Dompu Kabupaten Dompu NTB.


Ismail pantang menyerah dengan kondisi penuh keterbatasan yang dialaminya bersama keluarganya. Ia terus berjuang meraih mimpi guna membahagiakan orang-orang yang dicintainya. Spirit dan motivasi dari ayah, saudara-saudaranya dan gurunya Agus Setiawan, pendiri Yayasan We Save Dompu, ibu Nadirah, SE, Akt dari YAPIS Dompu yang juga anggota DPRD Kabupaten Dompu dua periode (2014-2019 dan 2019-2024) menjadi pecut penyemangat bagi dirinya dalam berjuang menggapai asa. Kini Ismail telah meraih gelar S2 Jurusan Master in Applied Linguistic dari Universitas Utara Malaysia dengan gelar M.A.

Simak kisah hidup Ismail berikut ini :
Delapan belas tahun silam tepatnya tahun 2002 adalah masa yang paling menyedihkan dan terberat bagi Ismail, seorang anak kusir benhur yang bermukim di Lingkungan Jado Kelurahan Dorotangga Kecamatan Dompu Kabupaten Dompu NTB.
Saat itu ia baru berusia 7 tahun. Sang bunda berpulang ke Rahmatullah untuk selama-lamanya. Meninggalkan dirinya bersama ayah dan enam saudaranya yang masih membutuhkan belaian kasih sayang dari seorang ibu. Air mata kecil Ismail terus berjatuhan mengiringi kepergian sang ibu. Jauhnya perjalanan tidak ia rasakan, ketika mengantarkan ibunya di tempat peristirahatannya yang terakhir, yang berjarak sekitar dua kilometer dari kediamannya dengan berjalan kaki. Ia merasa sangat terpukul atas meninggalnya ibunya yang setiap hari bersamanya berjualan sayur di pasar tradisional Dompu.

Ismail bersama kedua orang tuanya dan keenam saudaranya hidup dalam keterbatasan ekonomi. Tinggal di rumah yang berdindingkan anyaman bambu (gedhek) atau biasa disebut Jarimpi dalam bahasa daerah Dompu-Bima dan beralaskan tanah.

Mereka akhirnya harus rela melepaskan kepergian Sang Ibu tercinta kehadapan Sang Khaliq. 
Ibunya meninggalkan tujuh orang anak, empat laki-laki dan tiga perempuan. Ismail adalah anak kelima dari tujuh bersaudara.
Saat musibah kematian ibunya terjadi, Ismail masih kelas 2 Sekolah Dasar. Ketiga kakaknya sedang duduk di SMP dan SMA. Sedangkan kedua adiknya masing-masing berumur 4 tahun (perempuan) dan satu setengah tahun (laki-laki). Seorang kakak perempuannya yang satu lagi tidak bersekolah karena kelumpuhan fisik yang ia alami sejak lahir. 

Melihat beratnya kehidupan yang dialami keluarga ini, menyebabkan, beberapa tetangga dan kerabat jauh  terketuk hati mereka ingin merawat Ismail dan kedua adiknya yang masih kecil sebagai anak angkat. Mereka merasa Ilyas (bapaknya Ismail) yang memiliki pendapatan hanya 20 ribu sampai 30 ribu sehari sebagai kusir benhur tidak akan mungkin bisa memenuhi kebutuhan tujuh orang anaknya. Terlebih lagi si bungsu yang masih berumur satu setengah tahun masih membutuhkan susu setiap hari. (Benhur adalah sebutan bahasa Dompu-Bima untuk kereta kuda yang dijadikan alat transportasi). 


Tetapi dengan keteguhan hati yang kuat dan mengharap kemudahan dari Sang Maha Pemberi rejeki, Ilyas menolak dengan halus tawaran tulus itu. Sebagai seorang bapak yang bertanggung jawab atas anak-anaknya, ia berprinsip bahwa anak-anaknya harus tetap bisa hidup dan bersekolah dengan baik dari hasil jerih payahnya sendiri walaupun ia harus bekerja banting tulang siang dan malam dalam mencari nafkah. Meskipun dengan bermodalkan dua ekor kuda yang digunakannya sebagai benhur, ia yakin dan percaya bahwa ALLAH akan tetap memberikan kemudahan kepada setiap hamba-hamba-Nya yang mau berusaha dan berserah diri pada-Nya. Seperti itulah sikap teladan, kerja keras, dan tidak mudah menyerah yang ditunjukkan oleh sang Ayah kepada anak-anaknya. 

Keteguhan hati sang ayah akhirnya menjadi power resource (sumber kekuatan) bagi Ismail merajut mimpinya untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya. 


Saban hari, pukul 07.00 pagi Pak Ilyas mulai memasang kuda di Benhur tua miliknya. Itulah aktivitas rutinnya yang ia lakoni setiap hari. Setelah siap, ia mulai menjalankan kuda mencari penumpang yang mau menggunakan jasa benhurnya. Di pasar, di sekolah, di perkantoran, dan di terminal bus adalah tempat pangkalan benhurnya guna mengais rezeki untuk menghidupi anak-anaknya yang menantikan kehadirannya di rumah. Rezeki dari Allah selalu ada untuknya saban hari. Sedikit atau banyak tetap disyukurinya sebagai rahmat dan berkah dari Yang Maha Pemurah.

Setelah pukul 13.00 siang tiba, sang ayah bergegas balik ke rumah.  Tidak lupa mampir ke pasar untuk membeli ikan, sayur dan beras yang siap dimasak oleh Nurbaya (kakak perempuan Ismail). Tidak ada sesuatu yang lebih membahagiakan bagi Ilyas melainkan melihat anak-anaknya bisa tersenyum lebar, karena terpenuhi kebutuhannya pada hari itu. 

Setelah menyantap makan siang bersama anak-anaknya dan beristirahat sejenak, Ilyas kembali bergegas mengganti kudanya dengan yang lain dan memasangkannya kembali di benhur, lalu kembali mencari penumpang seperti biasa sampai larut malam.  Panasnya sinar matahari dan dinginnya malam tidak ia hiraukan demi mencari sedikit rupiah untuk membayar sekolah dan kebutuhan anak-anaknya. Pantang baginya kembali ke rumah sebelum mendapatkan uang transportasi sekolah keempat anaknya dan untuk kebutuhan dapurnya pada hari itu.  Begitulah potret perjuangan seorang Ayah yang harus bekerja siang dan malam seorang diri untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. 


Sejak istrinya meninggal dunia,  Ilyas harus bekerja keras seorang diri menafkahi ketujuh anaknya.  Waktu istrinya masih hidup, biasa bekerja sebagai pedagang sayur di pinggir pasar tradisional Dompu untuk membantu sang suami dalam pemenuhan kehidupan mereka sehari-hari. 


Sepeninggal istri tercinta, Ilyas memutuskan untuk tidak menikah lagi. Alasannya sederhana. Ia tidak ingin anak-anaknya mendapatkan perlakuan kasar dari seorang ibu tiri yang kemudian akan menambah beban batinnya. Pada masa itu, sebagian besar masyarakat Dompu, lebih khususnya di Kampung Ismail, Jado, memiliki stigma bahwa ibu tiri adalah seorang ibu yang biasa memperlakukan anak tirinya dengan kasar. 

Melihat kondisi fisik sang ayah yang mulai melemah dan tubuhnya yang sering sakit-sakitan, kedua kakak laki-laki ismail, Rifa’id dan Syarifudin yang sedang duduk di bangku SMA memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah demi menggantikan peran bapaknya dalam mencari nafkah untuk keluarga. 

Keputusan mereka itu mendapatkan penolakan keras dari sang ayah. Ia tak ingin anak-anaknya putus sekolah, mereka harus melanjutkan sekolah  setinggi-tingginya karena ia meyakini bahwa hanya dengan pendidikan yang baik sajalah yang bisa membawa anak-anaknya meraih masa depan yang cerah. Sedangkan urusan biaya sekolah dan kebutuhan sehari-hari adalah tanggung jawabnya. 

Romo mpa nahu mawati sakola, aiwalina nggomi doho” (Cukup saya saja yang tidak bersekolah, jangan lagi kalian)," tutur sang ayah dengan penuh ketulusan kepada anak-anaknya. 

Sang ayah berusaha tetap tegar dan kelihatan sehat di hadapan anak-anaknya walaupun sesak napas yang ia derita tetap menyelimuti tubuhnya yang semakin lama semakin melemah. 

Waktu terus berlalu. Kondisi fisik sang ayah terus menurun. Namun ia berusaha untuk tetap tegar dan kuat di hadapan anak-anaknya. Ternyata selama ini, sang ayah menyembunyikan penyakit paru-paru dan ambeien yang ia derita kepada anak-anaknya. 

Syarifuddin dan Rifa’id akhirnya mengetahui bahwa ayahnya merahasiakan penyakit yang diidapnya. Hal itu diketahui setelah Nurbaya (kakak perempuan Ismail), menemukan hasil rontgen paru-paru dan surat kontrol rumah sakit di bawah kasur tempat tidur ayahnya. Ini menjadi alasan kuat bagi Syarifuddin dan Rifaid untuk keluar dari sekolah guna bekerja menggantikan ayahnya mencari nafkah.


Sekarang sudah tidak ada lagi alasan bagi sang ayah untuk tidak menuruti kemauan anaknya Syarifudin dan Rifa’id untuk keluar dari sekolah. Dengan sedih dan hati terpukul, sang Ayah terpaksa mengiyakan kemauan kedua anaknya tersebut untuk menggantikannya mencari nafkah. Mulai pada saat itu, seluruh beban pemenuhan kebutuhan rumah tangga telah diambil alih oleh kedua anaknya tersebut. Segala tawaran pekerjaan fisik dari orang mereka terima, seperti menjadi buruh bangunan, buruh pasir, buruh tani dan pekerjaan-pekerjaan serabutan lainnya. Semua pekerjaan itu mereka kerjakan asalkan bisa menghasilkan sedikit rupiah untuk membiayai keberlangsungan hidup dan pendidikan adik-adiknya. Mereka berpesan kepada adik-adiknya untuk tetap melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Cukuplah mereka berdua yang tidak melanjutkan sekolah, jangan lagi adik-adiknya. 

Ismail yang pada saat itu sedang duduk di bangku SD kelas 4  mulai memahami, betapa sang ayah dan kakak-kakaknya sangat memprioritaskan pendidikannya lebih dari apapun. Sang ayah rela mengorbankan kesehatannya demi anak-anaknya. Demikian pula kedua kakaknya rela bekerja setiap hari dan keluar dari sekolah demi mencari nafkah untuk kebutuhan hidup dan pendidikan Ismail dan saudara-saudaranya. Ismail sangat mencintai ayah dan saudara-saudaranya melebihi dari apapun. Begitu pula sebaliknya, Ismail merasa sangat berdosa jika harus melawan ayah dan kakaknya apalagi menyakiti hati mereka yang telah mencintai dan membesarkannya dengan segala keterbatasan. Karena itulah, ia berjanji tidak akan pernah sedikitpun berani melawan dan menyakiti mereka, serta akan membuktikan kepada mereka bahwa ia akan belajar dengan tekun dan melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya seperti apa yang telah diamanahkan oleh ayah dan kakak-kakaknya. (Bersambung)