Anggota BKPH Kerap Dihantui Rasa Takut Saat Bertugas, Ini Penyebabnya

Kategori Berita

.

Anggota BKPH Kerap Dihantui Rasa Takut Saat Bertugas, Ini Penyebabnya

Koran lensa pos
Rabu, 28 Oktober 2020
    Kepala Resort Riwo, Muhammad Taufan (topi hitam tengah)


Dompu, Lensa Pos NTB - Petugas dari Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) kerap dihantui rasa ketakutan saat menjalankan tugas.

Demikian diungkapkan oleh Kepala Resort Riwo BKPH Ampang Riwo, Muhammad Taufan dalam acara Diskusi Terkait Kerusakan Hutan Dompu yang digelar di Kedai Sruput Indonesia Simpasai pada Minggu malam (25/10/2020). Hal itu disampaikannya menanggapi sorotan dari akrivis lingkungan Syahrul Mubarak alias Bidje yang menyoroti bahwa BKPH tidak tegas dalam menghadapi aksi pengrusakan hutan di Kabupaten Dompu.

"Jujur saja di dalam kami bertugas selalu dihantui rasa takut," ungkapnya.

Lebih lanjut ia mengemukakan ketakutan itu disebabkan oleh perlawanan yang dilakukan oleh anggota masyarakat ketika petugas berusaha untuk melarang melakukan perambahan terhadap kawasan hutan.
Petugas kerapkali dihadang, dilempar atau dikejar massa sehingga harus lari untuk menyelamatkan diri. 
Apalagi bila petugas menyita peralatan yang digunakan untuk membabat kawasan hutan, maka petugas harus berhadapan dengan risiko penghadangan massa dalam jumlah yang lebih besar.
Salah satu contoh baru-baru ini pihaknya menyita 1 (satu) unit mesin chin saw di Desa Mumbu yang digunakan oleh oknum warga untuk menebang pepohonan di kawasan hutan. Akibat kejadian itu petugas nyaris dihakimi warga bila tidak menyerahkan kembali benda tersebut.
"Kami dihadang di Buna. Kami dikejar sehingga kami harus lari menyelamatkan diri," ungkapnya.

Yang lebih parah lagi apabila petugas menangkap oknum pelaku perambah hutan disertai barang bukti mesin chin saw. Maka berbagai upaya akan dilakukan oleh oknum-oknum masyarakat menuntut agar pelaku dibebaskan. Petugas akan menjadi sasaran amukan massa bahkan kantor yang merupakan fasilitas negara tak luput dari penyerangan.
"Tahu sendiri bagaimana karakter masyarakat yang ngoho doro (membuka kawasan hutan untuk berladang,red) saat ini. Serangan ngoho ini bak serangan Covid 19 yang tidak bisa kami bendung.
Yang bisa kami atasi, kami atasi tapi dengan perhitungan.
Kami tidak mau konyol. Mau idealis juga tidak bisa. Kami harus pandai melihat celah. Keselamatan harus kami utamakan dalam bertugas," bebernya.
Lebih lanjut ia mengaku sedih dan miris melihat semakin meluasnya kerusakan hutan yang terjadi di daerah yang pernah ingin ditaklukkan oleh Mahapatih Majapahit Gajah Mada yang diikrarkan dalam Sumpah Palapa-nya itu. Namun ia mengaku pihaknya tidak mampu berbuat banyak menghadapi kenyataan ini. Yang mampu dilakukan hanyalah memberikan penyuluhan untuk membangun kesadaran masyarakat agar tidak merusak hutan. Sedangkan tindakan repressif berupa penangkapan maupun penyitaan barang bukti dilakukan dengan penuh pertimbangan.
Apalagi dengan keterbatasan personel dan anggaran yang juga terbatas.
"Kami memang lemah, sangat lemah. Saya menilai KPH sangat tidak siap menghadapi persoalan di lapangan karena keterbatasan personel maupun anggaran.
Yang bisa kami lakukan hanya sebatas kemampuan kami. Personel kami juga kurang. Contoh di resort saya hanya 9 orang, tidak ada Polhut. Saya sendiri hanyalah penyuluh kehutanan," paparnya.

Pada kesempatan tersebut, Taufan juga mengungkapkan terkait dengan kawasan hutan kemitraan.
Kawasan hutan yang telah terlanjur dibuka oleh masyarakat akan menjadi hutan kemitraan yang dibuktikan dengan surat perjanjian kemitraan antara BKPH dengan kelompok tani hutan. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial.
Di dalamnya memuat hak dan kewajiban kelompok tani hutan. Hak petani adalah mengelola lahan tersebut dan memanfaatkan hasilnya. Sedangkan kewajiban mereka adalah menanami dengan tanaman kehutanan. Selain itu ada pula sistem bagi hasil yang harus disetorkan oleh petani. Yakni sebanyak 12 %. 
"Yang 10% disetorkan ke kas negara, dan 2% ke kas desa. Tapi realitanya tidak sesuai dengan Perkada atau Perjanjian kerjasama antara KPH dengan Kelompok Tani Hutan," sebutnya.

Taufan juga mengemukakan kasus penyerangan Kantor Resort Riwo di Desa Bara telah dilaporkan kepada pihak kepolisian.
"Terkait penyerangan kantor, kami sudah melaporkan secara resmi di Polres Dompu. Untuk aset sebagian besar belum dikembalikan," pungkasnya. (AMIN).