Rindu Dompu, Imam Alfafan Yakub Tulis Buku Ini

Kategori Berita

.

Rindu Dompu, Imam Alfafan Yakub Tulis Buku Ini

Koran lensa pos
Sabtu, 01 Februari 2020
Buku Dompu, Nggahi Rawi Pahu yang Dirindukan Karya Imam Alfafan Yakub

Lensa Pos NTB - Imam Alfafan, pemuda asal Desa Ranggo Kecamatan Pajo Kabupaten Dompu.
Putra kedua pasangan tokoh pendidikan Moh. Yakub, S. Pd dan Nurdewiyati, S. Pd ini lahir di Dompu 27 Desember 1995.

Di usia belum genap 25 tahun in, Imam sedang menyelesaikan  pendidikan program Magister Kebijakan Publik di Universitas Islam Malang (UNISMA). Sebelumnya pendidikan Strata Satu ditempuhnya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Program Studi (Prodi) Ilmu Hubungan Internasional.

Sebagaimana kakak sulungnya Andi Fardian Yakub (saat ini menyelesaikan studi S2/Magister Prodi Pembangunan Sosial dan Kemasyarakatan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta dan adiknya Miftahul An'am (saat ini menempuh pendidikan S1 di UMM Malang
Prodi Hubungan Internasional), Imam juga rajin menulis buku. Salah satu buku hasil karyanya berjudul "Dompu, Nggahi Rawi Pahu yang Dirindukan" 1.

Ia mengungkapkan buku tersebut ia tulis sebagai bentuk kecintaan dan kerimduannya kepada Dompu, tanah kelahiran dan tempat ia dibesarkan.

"Dompu adalah segalanya bagi saya. Karena di sana saya dilahirkan," ungkapnya

Ia melanjutkan tanah Dompu adalah bumi tempat ia tumbuh menjadi anak yang mengenal banyak hal. Di Dompu ia belajar sehingga tumbuh dewasa menjadi anak yang punya pemikiran. Ia bisa makan dan minum tiada lain bersumber dari bumi Dompu. 

"Dompu menjadi takdir di mana kami memulai perjalanan hidup," ujarnya.

Dikatakannya tidak ada alasan baginya untuk membenci Dompu. Merupakan keharaman yang sangat keji ketika ia harus menjadi manusia yang tidak tahu berterima kasih. Karena menyadari Dompu adalah segalanya, maka dengan segala potensi pula ia berusaha memberikan segalanya untuk Dompu. Sehingga karya sederhana ini tiada lain bercerita tentang kontribusi pemikiran dari sudut pandang pemuda terhadap kompleksitas permasalahan di Dompu. 
"Dalam diksi lain bahwa karya ini adalah salah satu bentuk persembahan kecil kami untuk Dompu," jelasnya.
Ia menyadari bahwa konten buku ini sangat jauh dari kata ideal. Bahkan ia menyadari bahwa akan banyak komentar yang menyertai ketika orang-orang membacanya. Karena mungkin pemikiran-pemikiran yang diuraikan dalam buku ini hanyalah pemikiran labil tak berguna dari seorang pemuda yang baru menginjak usia kepala dua. Tentunya orang-orang yang memiliki pemikiran tingkat dewa akan licin berucap bahwa pemikiran-pemikiran ini hanyalah bahasa kegalauan anak muda semata. 
"Namun, terlepas dari kemungkinan akan banyak komentar hinaan itu, kami cukup semangat karena setidaknya karya ini menjadi setitik usaha kami membantu membangun Dompu. Melalui karya ini kami berkomitmen menjadi salah satu batu bata pembangunan rumah besar kita bernama Dompu," ucapnya.

Dikatakannya buku ini bercerita tentang Dompu dari sudut pandang pemuda polos seperti dirinya yang berisi  kontribusi ide terhadap masalah-masalah di Dompu. 
Buku ini adalah edisi pertama dengan mengangkat isu Budaya, Kepemudaan, Minat Baca dan Perpustakaan, serta Pendidikan. 

Sedangkan edisi selanjutnya dengan judul DOMPU: Nggahi Rawi Pahu yang Dirindukan #2  saat ini masih dalam wajan penggorengan editing yang mengangkat isu Sejarah, Sosial, Lingkungan, Pariwisata, Birokrasi Pemerintahan, dan Kepemudaan edisi #2.

"Sedikit menyentil tentang isi dari buku edisi pertama ini. Dalam tema Kebudayaan, kami mengangkat judul “Sebuah Pertanyaan tentang Budaya Asli Dompu”. Kami berpandangan bahwa Nggahi Rawi Pahu merupakan cerminan dari budaya dan nilai luhur yang tercipta dari masyarakat asli Dompu. Budaya tersebut tidak hanya menjadi bukti penciptaan, namun menjadi cita-cita yang terus dikejar. Cita-cita menciptakan insan-insan Dompu yang tidak bengal.
Namun, tampaknya hari ini kita justru masih sering melihat keadaan antitesis dengan semboyan kebanggaan Nggahi Rawi Pahu. Banyak orang berperilaku bersinggungan dengan doktrinasi tersebut. Contoh, masih membudayanya masyarakat yang lebih banyak berbicara hingga berbusa-busa bahkan terlihat dangkal dari apa yang dibicarakannya. Nah, pertanyaan sederhana dari potret tersebut adalah apakah memang sejak dulu orang-orang Dompu akar tradisinya adalah banyak ngomong tanpa karya? Apakah semboyan Nggahi Rawi Pahu sudah tidak punya relevansi dengan kehidupan masyarakat Dompu dewasa ini? atau memang keadaan bersinggungan tersebut sudah berlangsung sejak dulu?
Selain daripada, pertanyaan seksi yang ingin kami ajukan adalah apakah Nggahi Rawi Pahu memang benar terlahir secara alamiah dari masyarakat asli Dompu? Manakala semboyan tersebut memang terlahir dari masyarakat asli Dompu, maka tidak ada orang Dompu yang lebih banyak bengal. Kami meyakini bahwa semboyan adalah identitas. Menjadi cerminan dari keadaan masyarakat itu sendiri. Namun, manakala fakta yang terjadi tidak mencerminan Nggahi Rawi Pahu, maka bukan sebuah kesalahan ketika kita sama-sama bertanya pada diri kita sendiri apakah Nggahi Rawi Pahu adalah identitas asli masyarakat asli Dompu. Atau, jangan-jangan Nggahi Rawi Pahu dulunya hanya dihadirkan sebagai syarat formalitas saat orang lain bertanya “Semboyan Dompu itu Apa?”.
Dari keadaan rumit tersebut, maka ide sederhana dari kami adalah perlu dilaksanakan sebuah konsep edukasi tersistematis dan berkelanjutan untuk mendoktrin tentang nilai sakral Nggahi Rawi Pahu kepada anak-anak yang sedang krisis identitas ke-Dompu-annya," urainya.

"Selanjutnya, yang ingin sedikit kami colek juga adalah menjawab pertanyaan, “apakah buku ini sudah ada di Perpustakaan Daerah Dompu?”. Jawaban kami adalah belum ada. Kenapa belum ada? Karena terlanjur merasakan kejenuhan menanti akhir dari kata manis tak berujung.
Sedikit kilas balik, dulu sekitar 2015, kami datang ke Kantor Perpustakaan Daerah (Perpusda) Dompu. Kami disambut langsung di sebuah ruang berukuran-mungkin-5x5 meter oleh Pimpinan tertinggi instansi tersebut. Sederhana yang kami sampaikan adalah agar buku pertama kami menjadi salah satu koleksi di rak buku Perpusda yang saat itu tampak usang dan bersarang laba-laba. Jawaban yang kami terima adalah jawaban manis, “Iya. Kita akan anggarkan”. Namun, sampai 1000 purnama berganti tampaknya kata manis tersebut belum juga terwujud.
Kedatangan kedua kami adalah sekitar 2016. Agenda kedua ini adalah menawarkan projek kolaboratif menuliskan buku tentang Dompu dengan Perpusda. Secara teknis, saat itu kami sudah mendirikan Duta Baca Dompu yang dinaungi langsung oleh Perpusda itu sendiri. Para Duta Baca Dompu adalah para pelajar pilihan dari sekolah menengah pertama dan menengah atas di Dompu yang berjumlah 19 orang. Rencananya, adik-adik itulah yang akan menuliskan gagasan mereka masing-masing terhadap isu-isu di Dompu. Saat menyampaikan kepada Pimpinan Perpusda saat itu, beliau wellcome dengan gagasan tersebut. Namun, dengan berbagai kendala yang ada, akhirnya yang menuliskan buku tersebut adalah kami sendiri dan lahirlah sebuah naskah dengan jumlah 148 halaman. Kami datang menemui sang Pimpinan dan membawa naskah yang sudah jadi. Namun, akhir dari kata manis tak berujung itu pun masih belum juga terwujud.
Singkat cerita, karya sederhana ini untuk sementara masih menjadi konsumsi pribadi dan segelintir orang. Tidak ada pengharapan banyak dari karya bertebal 5 cm ini. Namun, kami percaya suatu hari akan tiba masa di mana buku ini akan dikonsumsi banyak orang di saat masyarakat kita melek literasi. Lama memang iya. Tapi kita akan sampai pada titik terang tersebut," tuturnya. (AMIN).