OPINI : Ketidakseriusan Penanganan Bencana Oleh Pemimpin Dalam Sistem Kapitalisme

Kategori Berita

.

OPINI : Ketidakseriusan Penanganan Bencana Oleh Pemimpin Dalam Sistem Kapitalisme

Koran lensa pos
Jumat, 24 Agustus 2018
Lensa Post NTB - Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan, data terbaru korban meninggal hingga kerusakan akibat gempa dalam konferensi pers di Jakarta pada Selasa (21/8/2018) adalah Jumlah korban meninggal sampai hari ini tercatat 515 orang, sedangkan luka-luka totalnya 7.145 orang. Berdasar data lima hari lalu, jumlah pengungsi mencapai 431.416 orang," Adapun rumah rusak mencapai 73.843 unit dan 798 fasilitias umum dan sosial mengalami kerusakan akibat gempa. (Tribun news.com).

Meski sedemikian parah sampai saat ini pemerintah belum menetapkan bencana lombok menjadi bencana nasional dikarenakan alasan utamanya adalah faktor pariwisata. Menurut pemerintah penetapan status bencana nasional benar-benar bisa menutup pintu wisatawan dalam bahkan luar negeri ke seluruh Pulau Lombok hingga Bali sehingga hal ini akan menurunkan minat para touris yang akan berkunjung di wilayah Lombok dan akan mengakibatkan indonesia mengalami kerugian sangat besar apabila bencana alam di Lombok dinyatakan sebagai bencana nasional.

Seharusnya pemerintah memandang bahwa bencana gempa bumi di NTB adalah masalah kemanusiaan yang harus ditangani serius oleh pemerintah karena gempa tersebut telah merusak segalanya termasuk korban jiwa yg tidak sedikit jumlahnya, maka termasuk bencana besar sehingga penanganannya harus diambil alih pemerintah pusat. Oleh karena itu wajar jika pemerintah mengumumkan bencana Nasional. Sebenarnya pernyataan bencana nasional tidak berpengaruh pada lombok baik investasi dan destinasi wisata karena bencana alam ini sudah tentu diketahui oleh publik diseluruh dunia jadi tidak ada alasan yg lebih kuat untuk menghindari tanggung jawab pemerintah dengan alasan investasi dan pendapatan dari sektor pariwisata utk menetapkannya sebagai bencana nasional. Justru sikap tersebut seolah menjadi potret ketidakpedulian dan lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam mengayomi rakyatnya yg sedang terkena musibah bencana yang seharusnya tugas negara dalam memastikan kebutuhan rakyatnya termasuk sandang pangan dan papan untuk korban bencana alam.

Upaya-upaya pemenuhan kebutuhan bagi korban gempa seharusnya menjadi urgensif dikarenakan banyak korban juga meninggal akibat kurangnya kebutuhan terhadap  makanan serta  kesehatan. Inilah memang potret pemimpin dalam sistem kapitalisme yg selalu memandang segala sesuatu atas dasar manfaat dan materi sehingga rakyat tidak lebih diutamakan dari pada yg lain. Berbeda hal nya dengan pemimpin dalam sistem pemerintahan islam yg dilebih mengutamakan rakyatnya dari pada dirinya sendiri sebagaimana dicontohkan oleh Khalifah Umar Bin Al Khatab, Pada masa pemerintahannya datang suatu masa paceklik di seluruh kawasan jazirah Arab,sehingga kebanyakan tanaman para petani gagal panen karena lahan-lahannya kekurangan air ,termasuk  di lahan-lahan di lembah Sungai Euprat,Tigris dan Nil  yang biasanya sangat subur tersebut  turut pula terkena dampaknya. Karena masa paceklik tersebut,maka berbagai kabilah Arab dari berbagai wilayah yang luas itu  membanjiri kota Madinah,pusat pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab,untuk meminta bantuan dari pihak pemerintah.

Untuk menanggulangi bencana alam tersebut,Khalifah Umar bin Khattab segera membentuk suatu tim sosial yang bertugas untuk memberikan bantuan pangan kepada korban yang semakin banyak membanjiri kota Madinah.Tim Sosial tersebut terdiri dari Yazid bin Ukhtinnamur,Miswar bin Makhramah,Abdurrahman bin  Abdul Qari dan Abdullah bin Utbah bin Mas'ud.Setiap sore keempat  mereka berkumpul di kediaman Khalifah Umar bin Khattab untuk melaporkan berbagai aktifitas mereka sehari,bersamaan merencanakan program-program kerja untuk hari-hari selanjutnya. Setiap orang dari anggota "Tim Sosial "  tersebut ditempatkan pada pos-pos mereka masing-masing di perbatasan kota Madinah,untuk mencatat hilir mudiknya orang yang masuk dan keluar kota Madinah yang mencari bantuan pangan tersebut.Pada suatu malam Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata:"Hitunglah orang -orang yang makan malam di tempat ini",dan setelah dihitung dengan sangat cermat ternyata jumlahnya tujuh ribu orang.

Lalu selanjutnya Khalifah Umar bin Khattab berkata lagi:"Hitunglah jumlah keluarga yang tidak mampu datang  kemari",dan tim sosial segera menghitungnya dengan cermat yang ternyata jumlahnya ada empar puluh ribu orang.Panitia terus mencatat setiap orang dan keluarga yang datang ke kota Madinah,yang tampaknya terus bertambah jumlahnya.Pada suatu malam setelah dihitung ,dan ternyata jumlah orang yang  makan malam itu dikediaman Amirul Mukminin,Khalifah Umar bin Khattab berjumlah sepuluh ribu orang,sedangkan yang tidak ikut hadir di  kediaman Khalifah diperkirakan sekitar lima puluh ribu orang.Dan para pendatang tersebut tetap tinggal di kota Madinah sampai berakhirnya masa paceklik  yang melanda kawasan Arab.Ketika musim paceklik dengan datangnya musim hujan,maka segera Khalifah Umar Bin Khattab mengintruksikan Tim Sosial tersebut untuk mengantarkan keberangkatan kabilah-kabilah Arab itu ke kampung mereka masing-masing.Dan setiap rombongan(kabilah)di beri perbekalan bahan makanan secukupnya.Selama terjadi musim paceklik itu Khalifah Umar bin Khattab senantiasa sibuk menyiapkan bahan makanan ,bahkan sering  pula Khalifah Umar sendiri yang memasak makanan untuk di hidangkan kepada para korban tersebut.Dan selama itu pula Amirul  Mukminin,Khalifah Umar bin Khattab tidak pernah makan di rumah keluarganya.

Kemungkinan dari cara-cara Khalifah Umar bin Khattab menanggulangi bencana paceklik tersebut, yang tidak hanya menunjuk sebuah  tim sosialnya saja yang berkerja keras untuk menanggulanginya. Akan  tetapi bahkan beliau sendiri aktif  sekali dalam melayani para korban tersebut.Kemudian beliau menyuruh tim sosialnya  mengantar para korban kekampungnya masing-masing setelah musim paceklik  berakhir,dan selama korban masih membutuhkan bantuannya beliau selalu pula bersedia melayaninya. Inilah langkah-langkah yang akan ditempuh khalifah untuk menangani bencana yang melanda di wilayah Khilafah Islam.  Manajemen semacam ini disusun dengan berpegang teguh pada prinsip “wajibnya seorang Khalifah melakukan ri’ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya”.  Pasalnya, khalifah adalah seorang pelayan rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban atas pelayanan yang ia lakukan.  Jika ia melayani rakyatnya dengan pelayanan yang baik, niscaya ia akan mendapatkan pahala yang melimpah ruah.  Sebaliknya, jika ia lalai dan abai dalam melayani urusan rakyat, niscaya, kekuasaan yang ada di tangannya justru akan menjadi sebab penyesalan dirinya kelak di hari akhir. Wallahu a’lam bish shawab.

Penulis : Fadilah Kurniati,Jurusan Teknik Elektro Universitas Mataram.