Andi Fardian, M.A
Oleh: Andi Fardian, M.A
(Penulis Buku-buku Kepariwisataan)
Kabupaten Dompu menyimpan kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Dari pantai-pantai yang memesona seperti Pantai Lakey yang dikenal di kalangan peselancar dunia, hingga sebagian wilayah Gunung Tambora yang menyimpan sejarah letusan dahsyat tahun 1815, Dompu memiliki aset wisata yang layak dikembangkan menjadi destinasi unggulan. Belum lagi kekayaan budaya lokal yang hidup dalam tradisi masyarakatnya—ritual adat, tenun khas, dan kearifan lokal yang dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Namun, potensi ini seperti energi yang tertahan. Tidak berkembang secara optimal karena tidak dikelola dengan strategi yang inovatif, profesional, dan berkelanjutan.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Dompu dalam pengembangan pariwisata adalah kurangnya inovasi dalam pengelolaan potensi lokal. Pengembangan destinasi wisata selama ini masih bersifat administratif dan proyek-sentris, belum menjadi gerakan ekonomi yang dirancang untuk membangun ekosistem wisata. Banyak pantai indah yang belum dilengkapi fasilitas dasar seperti akses jalan yang memadai, tempat sampah, papan informasi, atau pemandu wisata. Branding daerah pun nyaris tidak terdengar. Padahal, pengalaman banyak daerah di Indonesia menunjukkan bahwa keberhasilan sektor wisata sangat ditentukan oleh kreativitas dalam membangun narasi, memperkuat identitas lokal, dan menciptakan pengalaman yang berkesan bagi wisatawan. Tanpa inovasi dalam promosi, pengemasan, dan pelibatan komunitas lokal, potensi wisata Dompu hanya akan menjadi cerita indah di atas kertas.
Dompu juga menghadapi hambatan geografis sebagai daerah enclave, yang diapit oleh dua kabupaten yang lebih dikenal: Bima dan Sumbawa. Kondisi ini membuat Dompu sering kali hanya menjadi "daerah lintasan", bukan tujuan wisata utama. Namun, posisi ini justru bisa diubah menjadi peluang jika ditangani dengan strategi regional yang cerdas. Dompu bisa menjadi titik temu antara dua destinasi besar itu dengan menawarkan pengalaman wisata yang berbeda—misalnya wisata sejarah Tambora yang disandingkan dengan atraksi budaya Dompu, atau paket ekowisata yang menghubungkan kawasan pesisir dan pegunungan. Artinya, diperlukan kerja sama lintas kabupaten untuk membangun jalur wisata terpadu dan saling menguntungkan. Tanpa kemauan untuk melampaui ego sektoral, Dompu akan terus tertinggal dalam arus besar pariwisata NTB.
Dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, sektor pariwisata sebenarnya bisa menjadi mesin penggerak ekonomi rakyat. Jika dikelola dengan pendekatan partisipatif dan berbasis komunitas, pengembangan wisata akan melibatkan banyak sektor: homestay milik warga, kuliner lokal, UMKM kerajinan tangan, hingga jasa transportasi dan pemandu lokal. Hal ini tentu akan berdampak langsung pada pengurangan pengangguran dan peningkatan pendapatan masyarakat. Namun, hingga kini, belum terlihat adanya desain kebijakan atau peta jalan pengembangan wisata Dompu yang terstruktur dan berorientasi pada pemberdayaan ekonomi rakyat. Potensi yang ada tampak berjalan sendiri, tanpa sinergi antara pemerintah daerah, pelaku wisata, dan masyarakat setempat.
Dompu tidak perlu menunggu jadi daerah kaya untuk mengembangkan pariwisata. Ia hanya butuh pemimpin yang berani keluar dari cara lama, dan menggerakkan aparatur serta masyarakat untuk melihat potensi secara jernih dan kreatif. Potensi bukan sekadar ada atau tidak ada—tetapi tentang bagaimana suatu daerah memaknai dan mengelolanya. Dalam dunia yang penuh persaingan destinasi wisata seperti saat ini, keunggulan suatu daerah bukan lagi ditentukan oleh sumber daya alam semata, melainkan oleh kapasitas mengelola dan menyajikan pengalaman. Dan untuk itu, Dompu harus mulai bergerak.
Strategi pertama yang perlu dilakukan adalah menyusun master plan pariwisata Dompu secara partisipatif dan berbasis potensi lokal. Pemerintah daerah bersama para pemangku kepentingan—tokoh masyarakat, pelaku wisata, akademisi, dan generasi muda—harus duduk bersama merancang arah pembangunan wisata jangka menengah dan panjang. Master plan ini harus memetakan potensi destinasi secara rinci, menentukan zona prioritas pembangunan, menyusun tahapan pengembangan infrastruktur dasar, serta mengatur tata kelola kelembagaan pariwisata. Dokumen ini akan menjadi pedoman kerja lintas sektor agar pembangunan wisata tidak lagi berjalan sporadis dan proyek-sentris, melainkan terarah, terukur, dan berkelanjutan.
Strategi kedua adalah penguatan kapasitas sumber daya manusia lokal di bidang pariwisata. Tanpa SDM yang terlatih, pengembangan wisata hanya akan bergantung pada pihak luar, yang seringkali tidak memahami konteks lokal. Pemerintah daerah dapat menggandeng perguruan tinggi atau lembaga pelatihan untuk menyelenggarakan program pelatihan pemandu wisata, manajemen homestay, pengelolaan destinasi, dan pemasaran digital. Selain itu, pelatihan bahasa asing, hospitality, dan etika pelayanan juga sangat penting untuk membangun citra positif di mata wisatawan. Pemuda-pemudi desa bisa diberdayakan sebagai pelaku utama ekowisata, karena mereka memiliki energi, jejaring digital, dan kedekatan emosional dengan lingkungannya.
Strategi ketiga adalah pengembangan infrastruktur penunjang dan aksesibilitas destinasi wisata. Jalan menuju kawasan wisata harus dibangun atau ditingkatkan, begitu pula dengan penyediaan air bersih, listrik, internet, toilet umum, papan informasi, dan tempat ibadah. Di era digital saat ini, koneksi internet di kawasan wisata bukan lagi pelengkap, melainkan kebutuhan utama untuk memfasilitasi promosi daring oleh para pengunjung itu sendiri. Pemerintah daerah perlu mengalokasikan dana secara khusus untuk pengembangan infrastruktur ini, termasuk membuka jalur transportasi yang memudahkan konektivitas antar destinasi di Dompu dengan kabupaten tetangga.
Strategi keempat adalah penguatan narasi dan promosi destinasi wisata Dompu melalui media digital. Branding wisata Dompu harus dibangun secara konsisten dengan mengangkat kekhasan budaya dan alamnya. Cerita sejarah letusan Tambora, kisah masyarakat pesisir, hingga tradisi tenun Dompu bisa dikemas dalam video pendek, dokumenter, maupun kampanye media sosial. Pemanfaatan media sosial oleh pemerintah dan komunitas harus menjadi bagian dari strategi promosi, dengan melibatkan influencer lokal dan nasional. Website resmi pariwisata Dompu juga harus diperbarui dan dikelola secara profesional untuk melayani kebutuhan informasi wisatawan.
Terakhir, strategi kelima adalah pembentukan badan pengelola destinasi wisata yang profesional dan transparan. Banyak potensi wisata di daerah gagal berkembang karena tidak ada badan khusus yang menangani manajemen destinasi secara serius. Pemerintah Dompu dapat membentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) atau Unit Usaha Pariwisata Daerah yang bertanggung jawab langsung atas pengelolaan aset wisata, perizinan, koordinasi lintas sektor, dan pelaporan keuangan secara transparan. Badan ini juga dapat menjalin kemitraan dengan pelaku usaha, investor, dan lembaga donor untuk mendanai berbagai program pengembangan. Dengan pengelolaan yang akuntabel dan profesional, kepercayaan publik terhadap sektor wisata akan meningkat, dan manfaat ekonominya bisa dirasakan lebih luas oleh masyarakat.*