Mantan Jurnalis Dody Johanjaya Bersepeda 2.500 KM Jakarta - Lembata untuk Misi Kemanusiaan

Kategori Berita

.

Mantan Jurnalis Dody Johanjaya Bersepeda 2.500 KM Jakarta - Lembata untuk Misi Kemanusiaan

Koran lensa pos
Rabu, 11 Juni 2025

 

               Dody Johanjaya



Koranlensapos.com - Dody Johanjaya menempuh perjalanan panjang 2.500 KM dari Jakarta menuju Kabupaten Lembata di Nusa Tenggara Timur. Hebatnya perjalanan itu dilakukan dengan bersepeda "Ride for Lembata".

Dody star dari Gelael Tebet, Jakarta pada Sabtu (31/5/2025) lalu. Targetnya pada 20 Juni 2025 mendatang, ia telah tiba di Lembata, daerah kecil di NTT yang akan ditujunya.


"Pagi ini Sabtu di penghujung Bulan Mei (31 Mei 2025), bersama sahabat melepas Dody Johanjaya memulai petualangan bersepeda seorang diri dari Jakarta menuju sebuah pulau kecil di ujung timur Flores, yakni Pulau Lembata, NTT.  Perjalanan ini menempuh jarak  2.500 KM --diperkirakan tiba di pulau itu 20 Juni 2025," tulis sahabatnya Saor Simanjuntak di akun facebook saat melepas keberangkatan Dody Johanjaya.

Saor melanjutkan ini bukan perjalanan bersepeda semata. Sesampai di Desa Wowong, Kabupaten Lembata, NTT, bersama masyarakat setempat Dody akan memperbaiki sejumlah madrasah tsanawiyah (MTs) yang ada di desa itu. 
“Ini adalah upaya untuk membantu pendidikan di Desa Wowong, Lembata. Biar ada kesetaraan, “ kata Dody sambil merinci dana perbaikan gedung MTs tersebut diperkirakan mencapai Rp 100 juta sebagaimana ditulis Saor Simanjuntak.  

Bagi Saor, rencana  yang dilakukan Dody, sebuah aksi kemanusiaan yang tulus dan perlu disuport. “Jika sahabat yang peduli dapat menyalurkan donasinya  ke link : kitabisa.com/dodyforlembata," lanjutnya sembari mendoakan semoga perjalanan bersepeda Dody lancar dan selamat sampai kembali di Jakarta. 
"Semoga Tuhan Melindungi. Amin," tulisnya pula.

Melalui akun pribadinya, Dody juga mengunggah jalur perjalanan yang ditempuhnya dengan mengayuh sepeda itu. Hari kedua melintasi rute Brebes - Yogyakarta dengan jarak 280 KM. Di hari kelima melalui jalur Mojokerto - Banyuwangi di Jawa Timur (283 KM). Tiba di Bali pada hari keenam dan menginap semalam di pulau dewata itu.
Pada hari kedelapan, Dody kembali melanjutkan perjalanan ke Pulau Lombok dengan menumpang kapal ferry penyeberangan Padangbai - Lembar. Sampai di Pelabuhan Kayangan Lombok Timur, Dody menyeberang ke Pelabuhan Poto Tano. 

Sahabatnya sesama alumni Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam), Ardiansyah yang berdomisili di Dompu menyambut kedatangannya di hari ke 10. Pada hari ke 12, Dody tiba di Pelabuhan Sape untuk melanjutkan penyeberangan ke Labuan Bajo, ujung barat Pulau Flores

"Saat ini beliau (Dody Johanjaya) sudah naik kapal penyeberangan dari Sape menuju Labuan Bajo," sebut Ardi.

Siapakah Dody Johanjaya?
Dody adalah mantan jurnalis. 
Ia pernah berkecimpung selama 15 tahun sebagai jurnalis. Mulai tahun 1994 bergabung di Kompas. Setelah itu selama 5 tahun di Indosiar (1995-2000). Mulai 2000 sampai 2009 (9 tahun) bergabung di Trans7. Dalam liputan Jejak Petualang di Papua 6 Juni 2006, Dody selaku produser bersama Medina Kamil, dan kru lainnya
terdampar di pulau tak berpenghuni setelah perahu yang mereka tumpangi terbalik. Keadaan ini memaksa mereka bertahan hidup di pulau tersebut hingga akhirnya berhasil ditemukan dan diselamatkan. 

Setelah 15 tahun berkecimpung di dunia televisi,  Dody memutuskan untuk menukar kamera dengan setang sepeda. Kini ia menghabiskan 
hari-harinya sebagai operator petualangan alam, merancang perjalanan outbound untuk 
perusahaan dan sekolah. 

Namun di balik petualangan profesionalnya, ada hasrat lama yang tak pernah padam: bersepeda jarak jauh dan memberi dampak sosial. 

Kecintaan Dody pada sepeda bermula di masa kecil. Saat teman-temannya memilih motor, ia justru meminta sepeda balap karena terinspirasi oleh Tour de Java yang sering melintas di depan rumahnya di Cirebon, Jawa Barat. Sempat terhenti karena kuliah dan karier, gairah itu kembali menyala saat pandemi Covid -19.

Di tahun 2022, ia membawa sepeda lipatnya ke Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sana, ia menyaksikan langsung ketimpangan yang memilukan: anak-anak bersekolah tanpa alas kaki, bangunan yang reyot, dan keterbatasan fasilitas. 
"Saya nggak bisa diam. Harus ada yang saya lakukan," ujarnya.
 
Inspirasi datang saat mengawali petualangan Devi, pegiat Run for Equality yang bersepeda untuk 
air bersih di NTT dengan rute dari Jakarta ke Bali. Dody lantas berpikir, "Kenapa nggak saya 
lakukan hal serupa untuk pendidikan di Lembata?" Pikiran itu akhirnya mengkristal menjadi proyek sosial pertamanya yang berkolaborasi dengan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia).
Kisah tentang sebuah madrasah di Desa Wowong, Lembata sampai ke telinga Dody. Terinspirasi oleh semangat warga, ia memutuskan untuk bertindak. 
Aksi Ride for Lembata dimulainya pada 31 Mei 2025, ia  memulai perjalanan epik: bersepeda sejauh 2.500 km dari Jakarta hingga Lembata. Setiap kayuhan rodanya adalah upaya menggalang dana untuk merenovasi sekolah tersebut agar lebih layak bagi anak-anak.

Ini bukan sekadar long ride. Untuk Dody, perjalanan ini adalah pertama kalinya ia 
menggabungkan hobi ekstrem dengan misi kemanusiaan. Rutenya menantang: Jakarta Banyuwangi-Bali-Labuan Bajo-Lembata, menempuh 200–300 km per hari dengan target tiba 
dalam 20 hari. 
Persiapannya ketat. Mulai dari latihan 500–600 km/minggu termasuk simulasi Jakarta-Jogja dengan membawa seluruh perlengkapan. Ia pun hanya berbekal biaya operasional minimalis. Oleh karena itu Dody memilih solo riding untuk efisiensi, meski harus bertaruh dengan kelelahan. 

"Ini ujian terbesar. Tapi bayangkan senyum anak-anak Lembata demi pendidikan yang setara. Itu bahan bakar terbaik," katanya. 
Target penggalangan dana Rp100 juta demi perbaikan madrasah di Lembata masih jauh dari 
tercapai (baru terkumpul 25 persen), tapi Dody tak gentar. 
“Saya tidak berharap banyak. Yang penting saya sudah berusaha, dan semoga usaha ini bisa berdampak. Sekolah nanti yang akan mengelola dana itu sebaik mungkin. Tugas saya adalah bergerak, dan itulah yang akan saya lakukan.”
Dari layar kaca ke jalur berdebu sepanjang ribuan kilometer, ia membuktikan bahwa perjalanan 
hidup bisa berubah arah, tapi tetap bermakna. Dan kadang, yang paling bermakna justru adalah langkah, atau kayuhan, yang kita ambil untuk orang lain.

Kondisi Sekolah di Lembata, NTT
Para murid menggotong kursi untuk belajar di madrasah di Lembata, NTT (dok Yayasan Plan International Indonesia)


Di pulau Lembata, NTT, banyak anak lulusan SD yang nasib pendidikannya terancam. Tidak ada sekolah menengah di desa mereka, dan jarak yang jauh membuat orang tua ragu melepas anaknya pergi. 

Tahun lalu, warga sebuah desa di Lembata memutuskan untuk bertindak sendiri. Dengan 
swadaya, mereka mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) setara SMP. Bangunannya 
seadanya: bambu untuk dinding, papan bekas untuk meja, dan atap yang tak selalu mampu 
menahan terik matahari atau hujan. 
Tapi dari "sekolah darurat" ini, harapan tumbuh.
Awalnya, hanya anak-anak Wowong yang bersekolah di sini. Kini, murid-murid dari desa tetangga mulai berdatangan. Setiap pagi, puluhan anak berjalan kaki melintasi bukit, seragam mereka mungkin sudah lusuh, tapi mata mereka tetap berbinar. 
Namun, masalah baru muncul: ruangan tak lagi cukup. Beberapa kelas harus bergantian menggunakan ruangan yang sama. Saat hujan, pembelajaran sering terhenti karena atap bocor. 
Jubir Latif, Kepala Desa Wowong, menatap bangunan sekolah sederhana itu. Dinding bambu yang mulai lapuk, atap yang bocor ketika hujan, dan ruang kelas sempit yang harus menampung puluhan anak. Tapi di mata pria paruh baya itu, bangunan darurat ini adalah sebuah benteng terakhir. 
"Kalau kami tidak mendirikan MTs ini, anak-anak di sini akan putus sekolah. Mereka harus 
berjalan puluhan kilometer ke desa lain, atau berhenti belajar sama sekali," ujarnya. Suaranya 
bergetar antara haru dan tekad. (tim).