Jangan Berpolitik Ala Hewan

Kategori Berita

.

Jangan Berpolitik Ala Hewan

Koran lensa pos
Jumat, 28 Juni 2024
       Suherman





Oleh: Suherman*

Adalah Aristoteles, filsuf Yunani yang mengatakan bahwa manusia adalah hewan politik. Itu dikatakan melihat kecenderungan manusia yang ingin menguasai.

Hewan adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan yang tidak dibekali dengan akal pikiran. Namun hanya dibekali nasfu. Makanya hewan tidak punya rasa malu, tidak kenal adab, etika dan sopan santun. Apalagi norma agama dan hukum. 

Pertanyaannya, maukah kita disamakan dengan hewan? Tentu tidak. Karena kita adalah manusia yang dibekali dengan akal pikiran. Dalam kehidupan, kita dituntun oleh norma agama yang kita anut dan ditopang oleh norma sosial dan hukum yang berlaku. 

Politik sesunguhnya adalah sarana memperjuangkan kepentingan bersama melalui kepemimpinan orang yang dipilih melalui momentum yang disebut Pemilu atau Pilkada. Orang yang dipilih itulah kemudian yang akan menjalankan roda pemerintahan, mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama. 

Saat ini, kita telah memasuki tahapan Pilkada 2024. Meski, belum memasuki tahapan inti seperti pencalonan dan kampanye, namun hiruk pikuk dari tim, dan simpatisan pendukung para bakal calon mulai ramai menghiasi laman sosial media. 

Sebagian dari mereka berpolitik ala "hewan". Tidak punya malu, tidak punya adab dan sopan santun. Itu terlihat dari saling sindir, saling hujat, caci maki antara pendukung dan simpatisan yang beredar di sosial media. Ruang media sosial kita sudah disesaki dengan tulisan-tulisan kotor, ujaran kebencian dan kemarahan.

Kenapa berpolitik ala hewan ini dilakukan? 
Pertama, hasrat ingin berkuasa tinggi. Ketika ini terjadi, maka orang sering menghalalkan segala macam cara untuk mencapai kekuasaan. Tidak peduli lagi dengan apapun norma, yang penting berkuasa. 

Kedua, kurangnya literasi. Yang biasanya melakukan politik ala hewan adalah mereka yang tidak cukup memiliki ilmu pengetahuan. Sehingga tidak mampu membuat narasi-narasi yang baik tentang politik, tentang ide dan gagasan yang didukungnya.

Ketiga, untuk menjatuhkan lawan. Sebagian aktor politik melakukan politik ala hewan untuk menjatuhkan citra lawannya jatuh di hadapan publik. Agar tingkat elektabilitas lawan politiknya rendah.

Padahal dalam prakteknya menurut penelitian Denny JA pemilik LSI menjelaskan bahwa salah satu karakter pemilih Indonesia adalah mudah simpati pada orang yang terzalimi. Menurutnya, semakin calon itu dicaci, dimaki, dihina. Maka, calon itu akan semakin naik elektabilitasnya. 

Keempat, menutupi kekurangan. Biasanya orang yang merasa tak punya kelebihan, maka cenderung akan mencari kekurangan lawan politiknya. Maka dengan begitu, kekurangan yang ada pada dirinya dapat ditutupi alias tidak diketahui orang lain. 

Lalu apa yang harus dilakukan agar politik ala hewan ini tidak terjadi? 
Pertama, perbanyak literasi tentang politik. Perbanyak pengetahuan tentang bakal calon yang didukung sehingga mampu membuat narasi-narasi yang baik tentang politik atau tentang bakal calonnya. 

Kedua, fokus pada tujuan. Fokus bermakna memusatkan perhatian pada tujuan. Jika, tujuannya ikut Pilkada untuk menang. Maka, fokus untuk melakukan kerja-kerja pemenangan tanpa menghiraukan lawan politiknya. 

Ketiga, saling mengingatkan. Jika ada anggota tim sukses, sempatisan atau pendukung yang berpolitik ala hewan. Yang melakukan ujaran kebencian, cacian dan makian bahkan melakukan penghinaan. Maka bakal calon atau yang lainnya mengingatkan agar tidak melakukan hal itu. Jangan justru dibiarkan bahkan didukung.

Politik ala hewan hanya bisa dihentikan manakala politik ala manusia dikedepankan. Artinya politik yang mengunakan akal pikiran, mengedepankan adab dan sopan santun sesuai tuntunan norma moral, hukum dan agama. Jika tidak, yah kita akan menjadi hewan atau kasarnya menjadi binatang politik.

*Penulis adalah pemerhati sosial dan politik.