Latar Belakang Pentingnya Sosialisasi Empat Pilar MPR RI

Kategori Berita

.

Latar Belakang Pentingnya Sosialisasi Empat Pilar MPR RI

Koran lensa pos
Kamis, 14 April 2022

 

H. Muhammad Syafrudin, ST., MM (Anggota MPR RI) Pemateri Sosialisasi Empat Pilar 

Salah satu karakteristik Indonesia sebagai negara-bangsa adalah kebesaran, keluasan dan kemajemukannya. Sebuah negara-bangsa yang mengikat lebih dari 1.128 (seribu seratus dua puluh delapan) suku bangsa (data BPS) dan bahasa, ragam agama dan budaya di sekitar 17.504 (tujuh belas ribu lima ratus empat) pulau (citra satelit terakhir
menunjukkan 18.108 pulau), yang membentang dari 6'08' LU hingga 11'15' LS, dan dari 94'45' BT hingga 141'05" BT (Latif, 2011: 251; United Nations Environment Program, UNEP, 2003). 

Untuk itu diperlukan suatu konsepsi, kemauan, dan kemampuan yang kuat dan adekuat (memenuhi syarat/
memadai), yang dapat menopang kebesaran, keluasan, dan kemajemukan keindonesiaan.
Para pendiri bangsa berusaha menjawab tantangan tersebut dengan melahirkan sejumlah konsepsi kebangsaan dan kenegaraan, antara lain yang berkaitan dengan dasar negara, konstitusi negara, bentuk negara, dan
wawasan kebangsaan yang dirasa sesuai dengan karakter keindonesiaan.

Konsepsi pokok para pendiri bangsa ini tidak mengalami perubahan, tetapi sebagian yang bersifat teknis-instrumental mengalami penyesuaian pada generasi penerus bangsa ini.
Setiap bangsa harus memiliki suatu konsepsi dan konsensus bersama menyangkut hal-hal fundamental
bagi keberlangsungan, keutuhan dan kejayaan bangsa yang bersangkutan. Dalam pidato di Perserikatan Bangsa
Bangsa, pada 30 September 1960, yang memperkenalkan Pancasila kepada dunia, Presiden Soekarno mengingatkan pentingnya konsepsi dan cita-cita bagi suatu bangsa: "Arus
sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika
mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya" (Soekarno, 1989).

Setiap bangsa memiliki konsepsi dan cita-citanya masing-masing sesuai dengan kondisi, tantangan dan karakteristik bangsa yang bersangkutan. Dalam pandangan Soekarno, "Tidak ada dua bangsa yang cara berjoangnya sama. Tiap
tiap bangsa mempunyai cara berjoang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya
bangsa sebagai individu mampunyai keperibadian sendiri. Keperibadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam
kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya
dan lain-lain sebagainya" (Soekarno, 1958)
Konsepsi pokok yang melandasi semua hal itu adalah semangat gotong royong. Bung Karno mengatakan,
"Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan. Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong royong
menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan.
Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, perjuangan bantu binantu bersama. Amal semua buat
kepentingan semua, keringat semua buat kehahagiaan
semua. Holobis kuntul baris, buat kepentingan bersama!
Itulah gotong royong." (dikutip dari Pidato Bung Kamo,
Juni 1945).
Dengan semangat gotong royong itu, konsepsi tentang dasar negara dirumuskan dengan merangkum lima
prinsip utama (sila) yang menyatukan dan menjadi haluan
keindonesiaan, yang dikenal sebagai Pancasila. Kelima sila itu
terdiri atas: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan
yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kelima prinsip tersebut hendaknya dikembangkan dengan semangat gotong-royong: prinsip ketuhanan harus
berjiwa gotong-royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang, dan toleran), bukan ketuhanan yang saling
menyerang dan mengucilkan. Prinsip Kemanusiaan universalnya harus berjiwa gotong-royong (yang berkeadil-
an dan berkeadaban), bukan pergaulan kemanusiaan yang menjajah, menindas, dan eksploitatif. Prinsip persatuannya
harus berjiwa gotong-royong (mengupayakan persatuan
dengan tetap menghargai perbedaan, "bhinneka tunggal ika"), bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau pun menolak persatuan. Prinsip demokrasinya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan musyawarah mufakat), bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas atau minoritas elit penguasa-pemodal. Prinsip keadilannya
harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan partisipasi
dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan), bukan visi kesejahteraan yang berbasis
individualisme-kapitalisme, bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme.
Rumusan kelima sila tersebut terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sejak pengesahan Undang-Undang
Dasar ini pada 18 Agustus 1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar negara, pandangan hidup, ideologi negara, ligatur (pemersatu) dalam perikehidupan kebangsaan dan
kenegaraan, dan sumber dari segala sumber hukum.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hukum dasar, merupakan kesepakatan
umum (konsensus) warga negara mengenal norma dasar (grundnorm) dan aturan dasar (grundgesetze)
dalam kehidupan bernegara. Kesepakatan ini utamanya
menyangkut tujuan dan cita-cita bersama, the rule of law sebagai landasan penyelenggaraan negara, serta bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan. Berdasarkan
Undang-Undang Dasar ini, Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan
atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Negara juga menganut sistem konstitusional, dengan Pemerintah
berdasarkan konstitusi (hukum dasar), dan tidak bersifat absolut (kekuasaan yang tidak terbatas). Undang-Undang
Dasar menjadi pedoman bagi pelaksanaan "demokrasi
konstitusional" (constitusional democracy), yakni praktik demokrasi yang tujuan ideologis dan teleologisnya adala pembentukan dan pemenuhan konstitusi.
Konsepsi tentang bentuk Negara Indonesia menganut bentuk negara kesatuan yang menjunjung tinggi otonomi dan kekhususan daerah sesuai dengan budaya dan adat istiadatnya. Bentuk negara yang oleh sebagian besar pendiri bangsa dipercaya bisa menjamin persatuan yang kuat
bagi negara kepulauan Indonesia adalah Negara Kesatuan
(unitary). Politik devide et impera (politik pecah belah) yang dikembangkan oleh kolonial memperkuat keyakinan
bahwa hanya dalam persatuan yang bulat-mutlak, yang menjadikan perbedaan sebagai kekuatan, yang membuat Indonesia bisa merdeka. Semangat persatuan yang bulat
mutlak itu dirasa lebih cocok diwadahi dalam bentuk negara kesatuan. Selain itu, pengalaman traumatis pembentukan negara federal sebagai warisan kolonial, disertai kesulitan
secara teknis untuk membentuk negara bagian dalam rancangan negara federal Indonesia, kian memperkuat
dukungan pada bentuk negara kesatuan.
Meskipun memilih bentuk negara kesatuan, para pendiri bangsa sepakat bahwa untuk mengelola negara
sebesar, seluas dan semajemuk Indonesia tidak bisa tersentralisasi. Negara seperti ini sepatutnya dikelola,
dalam ungkapan Mohammad Hatta "secara bergotong royong", dengan melibatkan peran serta daerah dalam
pemberdayaan ekonomi, politik dan sosial-budaya sesuai dengan keragaman potensi daerah masing-masing. Itulah makna dari apa yang disebut Muhammad Yamin sebagai
negara kesatuan yang dapat melangsungkan beberapa sifat
pengelolaan negara federal lewat prinsip dekonsentrasi dan desentralisasi (AB Kusuma, 2004).
Sejalan dengan itu, konsepsi tentang semboyan negara dirumuskan dalam "Bhinneka Tunggal Ika",
meskipun berbeda-beda, tetap satu jua (unity in diversity, diversity in unity). Di satu sisi, ada wawasan "ke-eka-an"
yang berusaha mencari titik-temu dari segala kebhinnekaan yang terkristalisasikan dalam dasar negara (Pancasila), Undang-Indang Dasar dan segala turunan perundang-
undangannya, negara persatuan, bahasa persatuan, dan
simbol-simbol kenegaraan lainnya. Di sisi lain, ada wawasan kebhinnekaan yang menerima dan memberi ruang hidup bagi aneka perbedaan, seperti aneka agama/keyakinan, budaya dan bahasa daerah, serta unit-unit politik tertentu sebagai warisan tradisi budaya.

Keempat konsepsi pokok itu disebut empat pilar MPRRI. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian
pilar adalah tiang penguat, dasar, yang pokok, atau induk. 
Penyebutan Empat Pilar MPR RI tidaklah dimaksudkan bahwa keempat pilar tersebut memiliki kedudukan yang
sederajat. Setiap pilar memiliki tingkat, fungsi dan konteks
yang berbeda. Pada prinsipnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara kedudukannya berada di atas tiga pilar yang lain.
Dimasukkannya Pancasila sebagai bagian dari Empat Pilar, semata-mata untuk menjelaskan adanya landasan
ideologi dan dasar negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, yang menjadi pedoman
penuntun bagi pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan lainnya. Pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
Bhinneka Tunggal Ika sudah terkandung dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
tetapi dipandang perlu untuk dieksplisitkan sebagai pilar-pilar tersendiri sebagai upaya preventif mengingat besarnya potensi ancaman dan gangguan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wawasan kebangsaan. (Materi Sosialisasi 4 Pilar MPR-RI - Bersambung)