KKB/KST/OPM: Kriminal, Separatis, ataukah Teroris?

Kategori Berita

.

KKB/KST/OPM: Kriminal, Separatis, ataukah Teroris?

Koran lensa pos
Jumat, 22 April 2022

 

Kelompok separatis di Papua yang selalu meresahkan masyarakat

OPM tersebar dalam empat faksi, yaitu Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dengan Presiden Victor Yeimo, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dengan Presiden Benny Wenda, OPM Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (OPM-TPNPB) dipimpin Jeffrey Bolmanak, dan Kelompok Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) dengan Presiden Forkorus Yaboisembut.
KNPB berada di wilayah Pegunungan Tengah, ULMWP di Papua Barat, OPM-TPNPB di wilayah Pegunungan Bintang dan NFRPB di daerah Pegunungan Arfak Paniai.

Pada tahun 2020 telah terjadi 46 aksi kekerasan oleh OPM, 9 diantaranya meninggal dunia, terdiri dari 5 warga sipil dan 4 aparat keamanan.

Di awal tahun 2022 selama tiga bulan ini, kekerasan yang dilakukan oleh Kelompok Sparatis Teroris di tanah Papua sudah menelan banyak korban baik di kalangan Sipil maupun aparat TNI POLRI. Tercatat TNI 7 orang Polri  3 orang dan masyarakat Sipil 9 orang.

Sepanjang tahun 2019 sampai 2021  sudah puluhan prajurit TNI POLRI  termasuk di dalamnya masyarakat sipil, tenaga kesehatan dan tenaga pendidik
 yang gugur di Papua, dibunuh oleh gerombolan bersenjata tersebut. 

Desember 2018 OPM membantai 31 pekerja pembangunan jalan Trans Papua. 

OPM juga menembaki pesawat pengangkut personel Brimob dan warga sipil.

Beberapa pekerja Trans-Papua dan personel aparat keamanan juga diserang sepanjang tahun 2016-2017. 

Bahkan, tahun 2017, seribu orang lebih di Kampung Kimbely dan Banti, Mimika, pernah disandera, kemudian dibebaskan aparat TNI dan Polri.

OPM juga membunuh tukang ojek, petugas kesehatan, bahkan memperkosa guru.

Polri menyebut mereka sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Istilah tersebut mendefinisikan masalah keamanan di Papua disebabkan adanya organisasi yang melanggar hukum pidana (kriminal) dengan memiliki dan menggunakan senjata secara ilegal.

Artinya anggota OPM disamakan dengan preman pasar, begal motor, perampok bank, dan penjahat lain yang memakai senjata tajam dan senjata api dalam melakukan aksinya.  

Padahal jika dilihat dari tujuannya untuk memisahkan diri dari Indonesia atau mengerat sebagian keutuhan wilayah Indonesia, maka mereka sudah melakukan MAKAR sehingga pelakunya ( anggota OPM ) disebut SEPARATIS.

Tindak pidana makar yang dalam KUHP Pasal 106 terancam pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun. 

Namun demikian, pendefinisian OPM sebagai separatis akan memunculkan peluang bagi mereka dan anasirnya di luar negeri untuk merujuk Protokol Tambahan II tahun 1977 dari Konvensi Jenewa (Geneva Convention).

Konvensi tersebut merupakan hukum internasional tentang penanganan perang (jus in bello) atau disebut pula hukum humaniter internasional. Protokol Tambahan II membahas konflik bersenjata noninternasional atau di dalam sebuah negara.

Di dalam Pasal 1 dinyatakan, “Angkatan perang pemberontak atau kelompok bersenjata pemberontak lainnya yang terorganisir di bawah komando … sehingga memungkinkan mereka melaksanakan operasi militer secara terus menerus  dan teratur,” yang berarti termasuk objek Konvensi Jenewa.

Pasal 3 Protokol Tambahan II melarang adanya intervensi dari luar, tetapi tidak ada larangan pihak pemberontak menyampaikan masalah kepada dunia internasional jika menurutnya terjadi pelanggaran Konvensi Jenewa.

Walaupun belum atau tidak menyetujui dan meratifikasi Protokol Tambahan II, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Jenewa. Karena itu, penyebutan OPM sebagai pemberontak dapat berisiko internasionalisasi kasus serangan OPM atau saat TNI/Polri menindak mereka.



Potret kemiskinan masyarakat Papua karena tidak berjalannya roda pemerintahan dan pembangunan disebabkan teror yang dilakukan oleh kelompok separatis OPM

Penyelesaian OPM sebaiknya dilakukan komprehensif. Secara taktis-operasional, TNI dan Polri segera menghancurkan dan menetralisasi para penyerang. Mereka yang tertangkap dipidanakan dengan perbuatan makar. Pemerintah juga perlu mendefinisikan OPM sebagai organisasi teroris sesuai UU Nomor 5/2018 dan UU Nomor 15/2003 tentang Terorisme.

Pemerintah dan polisi dapat mengajukan OPM sebagai organisasi ke pengadilan untuk ditetapkan sebagai organisasi (korporasi) teroris, seperti yang dilakukan terhadap Jemaat Islamiyah dan Jamaah Ansharut Tauhid (Daulah). Manfaat nyata yang diperoleh adalah ketiadaan serangan teroris sama sekali, termasuk saat penyelenggaraan Asian Games dan Asian Para Games.

Hal tersebut karena saat kelompok bersenjata ditetapkan pengadilan sebagai organisasi teroris, maka sesuai Pasal 12A terdapat ancaman pidana kepada pendiri, pemimpin, pengurus atau pengendali korporasi, para anggota dan perekrut anggota, termasuk mereka yang berada di luar negeri.

Aparat juga dapat menangkap semua yang terlibat dalam organisasi tersebut tanpa menunggu munculnya serangan dan jatuhnya korban warga sipil.

Di samping itu, penetapannya sebagai korporasi teroris akan membantu ikhtiar Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sesuai UU Nomor 8/2013 tentang Pendanaan Terorisme. PPATK dapat bekerja sama dengan badan intelijen finansial luar negeri untuk melacak aliran dana dan pencucian uang terkait terorisme, termasuk pencegahannya. Bagaimanapun, aliran dana adalah oksigen OPM dan sejenisnya, selain publikasi di media massa dan media sosial.

Begitu OPM, TNPPB, dan sejenisnya ditetapkan sebagai organisasi teroris, pemerintah juga dapat meminta kerja sama internasional. Bagi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), teroris adalah musuh bersama.

Cerita dan gambar tentang kekerasan militer Indonesia di papua hanya cocok ditulis dimasa pra Reformasi.

Dimasa era soeharto, ABRI memang agresif untuk melakukan tindakan pencegahan dan pengamanan  teritorial tanpa kompromi. 

Itu bisa dimaklumi, ABRI menghadapi hotspot berbahaya tidak cuma satu titik api, tapi tiga sekaligus, yaitu dipapua,  Aceh dan Timor Timur. 

Tanggung jawab yang berat untuk menjaga kedaulatan di ujung barat dan ujung timur seperti itu membuat ABRI harus berbuat efisien dan efektif untuk memadamkan pemberontakan itu. 

Eksesnya, sulit bagi ABRI dilapangan membedakan mana kawan dan mana lawan. 

Siapa yang dicurigai maka dia yang harus ditangani, dari mulai halus sampai kasar, dari senyum sampai sekarat. 

Dan itu terbukti secara militer mampu mengunci menekan dan meminimalkan gerakan militer OPM, GAM dan FRETILIN. 

Setelah Reformasi, 1998 k esini apalagi setelah 10 tahun dibawah presiden yudhoyono, figur TNI berubah total, tidak lagi bersikap offensif/menyerang, tapi cenderung preventif dan defensif. 

Kalau cerita dan gambar kekerasan TNI di papua baru disebarkan sekarang, itu sama saja sedang mendukung teroris OPM dalam kampanye politiknya yang menyudutkan TNI, agar TNI menjadi salah dimata bangsa nya sendiri dan dunia internasional, yang berdampak kepada kemenangan diplomasi teroris OPM, sama seperti kasus lepasnya Timor Leste dulu. 

Secara militer kita kuat, tapi propaganda dari NGO Indonesia dan asing, membuat Indonesia melepaskan Timor Leste. 

Tapi perlu diketahui, kepemilikan  papua oleh Indonesia tidak seperti Timor Leste, jadi tidak semudah itu membuat propaganda meniru propaganda untuk melepaskan  Timor Leste.

pemerintah pusat harus telah memperhatikan hak-hak masyarakat Papua.
Dengan pendekatan antropologi budaya yang dilakukan pemerintah pusat, pemberdayaan masyarakat adat dan hak-hak masyarakat adat di Papua terus menjadi perhatian pemerintah pusat melalui Otonomi Khusus yang menitikberatkan pada kesejahteraan masyarakat, infrastruktur, pendidikan dan kesehatan maka seharusnya
 masyarakat Papua harus segera bangkit dari keterpurukan,”  mengejar ketertinggalannya dari saudara-saudaranya di daerah lain.

Maka kekerasan demi kekerasan di tanah Papua hanya bisa dihentikan oleh masyarakat yang ada di Papua itu sendiri. Kekerasan di tanah Papua hanya dilakukan oleh segelintir orang yang tidak menginginkan masyarakat yang ada di Papua hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan.

*Penulis :
Peltu Syamsul Kamar
Kapoktuud Kanminvetcadb IX/13 Mataram 
(Mantan anggota Satgaster Kodam IX/Udayana di Kodim 1702/Jayawijaya Kodam XVII/Cendrawasih Papua)