DP3A Dompu Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan dan TPPO

Kategori Berita

.

DP3A Dompu Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan dan TPPO

Koran lensa pos
Rabu, 25 Agustus 2021

 


Dompu, koranlensapost.com - Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Dompu terus menggelar kegiatan sosialisasi dan penyuluhan. 

Kegiatan-kegiatan dimaksud sebagai bentuk keseriusan instansi ini di dalam mencegah terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan maupun anak di kabupaten bermotto Nggahi Rawi Pahu itu.

Kegiatan sosialisasi kembali dilakukan pada Rabu (25/8/2021) ini. Difokuskan pada upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Hadir sebagai peserta sejumlah Kepala Desa, Lurah dan Bhabinkamtibmas. Hadir pula Kanit PPA Polres Dompu AIPDA Ahmad Rimawan.

Kepala Dinas P3A Kabupaten Dompu Hj. Daryati Kustilawati, M. Si mengawali paparan materinya berjudul "Perlindungan dan Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)" tentang Visi Pemerintahan AKJ-SYAH adalah "Terwujudnya Dompu yang MASHUR (Mandiri, Sejahtera, Unggul dan Religius) yang dijabarkan dalam 5 (lima) Misi yakni 
Pertama, Meningkatkan Tata Kelola Pemerintahan yang baik dan bersih;
Kedua, Meningkatkan Kemandirian Ekonomi Masyarakat Berbasis Potensi Lokal yang Berkelanjutan;
Ketiga,  Meningkatkan mutu pelayanan dasar dan pelayanan publik yang transparan, partisipatif, dan berkeadilan; 
Keempat, Mewujudkan pembangunan infrastruktur yang mantap; dan
Kelima, Mewujudkan tata nilai kehidupan masyarakat yang religius, berbudaya, berprestasi dan berkarakter berbasis kearifan lokal.

Daryati menegaskan bahwa perempuan harus mendapat perlindungan. Hal itu mengacu pada UU nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Perda Kabupaten Dompu nomor 11 tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Sedangkan jenis kekerasan terhadap perempuan dan anak meliputi kekerasan seksual, fisik, psikis, penelantaran, KDRT, perdagangan orang (human trafficking), dan media sosial.

Sedangkan pemicu terjadinya kekerasan disebabkan beberapa faktor. Antara lain karena perkawinan usia dini, komunikasi yang kurang baik antar pasangan, perselingkuhan, ekonomi, dan rendahnya tingkat pendidikan pasangan.
Selanjutnya ia menjelaskan pula tentang kasus TPPO yaitu tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi (UU nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO pasal 1 ayat (1)).

Adapun modus TPPO biasanya merekrut calon pekerja wanita usia 16-25 tahun dengan dijanjikan bekerja di restoran, salon kecantikan, karyawan hotel, pabrik dengan gaji tinggi. Identitasnya kemudian dipalsukan agar bisa lolos. Biaya administrasi, transportasi, maupun akomodasi ditipu oleh pihak agen. Ternyata korban dijual, disekap atau dipekerjakan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK).

"Semoga kasus-kasus seperti ini tidak terjadi di Dompu sehingga Kabupaten Dompu menjadi zero kekerasan terhadap perempuan maupun anak," harapnya.

Selanjutnya Anna Noviana Arum Jaya, SH dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dalam materinya berjudul Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Perspektif Hukum menguraikan bahwa kekerasan termasuk perdagangan orang (human trafficking) merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia serta melanggar hak asasi manusia (HAM).

Korban paling banyak dari TPPO adalah kelompok rentan, yakni perempuan dan anak-anak. Dampak utama dari TPPO adalah kerugian yang dialami oleh korban yaitu berupa gangguan kesehatan, cacat fisik, terinveksi HIV/AIDS, infeksi menular seksual, gangguan mental dan trauma berat bahkan dapat menyebabkan kematian.

Anna kemudian menegaskan untuk mencegah terjadinya kasus TPPO, maka upaya-upaya perlindungan terhadap perempuan harus dilakukan, yaitu segala upaya yang ditujukan untuk melindungi perempuan dan memberikan rasa aman dalam pemenuhan hak-haknya dengan memberikan perhatian yang konsisten dan sistematis yang ditujukan untuk mencapai kesetaraan gender. 

Diungkapkannya bahwa kasus perdagangan orang serta kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ibarat fenomena gunung es. Hanya sedikit yang dilaporkan dan diungkap. Sedangkan yang tidak dilaporkan jauh lebih banyak lagi.

Ia menyebut kelompok yang rentan menjadi korban perdagangan orang adalah TKI/TKW, mereka yang berasal dari keluarga miskin di desa/kota, anak-anak putus sekolah, anak-anak korban KDRT, anak jalanan, janda cerai karena pernikahan dini, dan bayi.

Sedangkan modus operandinya adalah penipuan, bujuk rayu, jeratan utang, jeratan jasa, adopsi ilegal, duta budaya/seni entertainment, Penculikan dan Pemalsuan Identitas.
Adapun cara kerjanya agen/calo merekrut korban, kerjasama antar trafficker, memanfaatkan kondisi darurat (bencana alam, daerah konflik), selanjutnya menggunakan dokumen-dokumen palsu.

Ditegaskan Anna, perdagangan orang adalah suatu tindak pidana yang melanggar UU nomor 21 tahun 2007, maka pelakunya dapat dikenai ancaman pidana penjara minimal 3 tahun maksimal 15 tahun. Denda minimal 120.000.000,00 dan maksimal Rp. 600.000.000,00.

Jika tindak pidana yang dilakukan mengakibatkan korban mengalami luka berat, gangguan jiwa yang berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). Apalagi jika menyebabkan korban meninggal dunia, maka diancam pidana minimal 5 tahun dan maksimal penjara seumur hidup. Sedangkan denda minimal Rp. 200 juta dan maksimal Rp. 5 Milyar.

Sementara itu, Akademisi Ilyas Yasin, M. M. Pd menyampaikan materi berjudul "Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan dan TPPO".

Menurutnya kelompok rentan terhadap kekerasan perempuan dan TPPO adalah perempuan, anak, lansia, difabel, minoritas (suku, agama, identitas gender/LGBT). Sedangkan penyebab kerentanan karena kondisi fisik, kondisi ekonomi, status sosial dan kesehatan, bencana alam maupun sosial (seperti pandemi), budaya dan tradisi (patriarki), atau juga karena alasan agama misalnya kebolehan memukul anak dan perempuan karena hal-hal tertentu.

Ilyas menjelaskan jenis kekerasan terhadap perempuan cukup beragam bentuknya. Ada kekerasan fisik, verbal, psikis, seksual, ekonomi, maupun kekerasan/pelecehan berbasis digital/siber.  (emo).