Menuju Menhir Saneo, Perjalanan yang Mengesankan

Kategori Berita

.

Menuju Menhir Saneo, Perjalanan yang Mengesankan

Koran lensa pos
Selasa, 22 Juni 2021



Dompu, koranlensapost.com - Menhir (batu tunggal panjang dan biasanya besar) ditemukan di beberapa daerah di Indonesia. Di antaranya di Kabupaten Gunung Kidul Provinsi DI Yogyakarta, Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah maupun di Sumatera Barat. Fungsinya bisa sebagai sebagai batu nisan, juga bisa difungsikan sebagai tempat pemujaan oleh para leluhur.

Ternyata Menhir juga ada di Kabupaten Dompu, tepatnya di Gunung Lomba Na'a Desa Saneo Kecamatan Woja Kabupaten Dompu. 




Untuk melihat langsung batu menhir itu, I Nyoman Rema dari  Balai Arkeologi Bali didampingi oleh Kepala Bidang Kebudayaan Disbudpar Dompu, Wahyono, S. Sos beserta staf, Komunitas Adat Ncuhi Saneo, pada Senin (21/6/2021) mendatangi langsung tempat menhir itu berada. Jalur yang dilalui cukup ekstrim. Dari Desa Saneo rombongan menggunakan satu unit mobil dan beberapa sepeda motor. 

Awalnya jalur yang ditempuh adalah jalan beraspal. Namun setelah belok kanan menuju arah lokasi menhir, jalur yang dilalui tidak lagi beraspal. Tetapi jalan ekonomi yang dibuat oleh masyarakat setempat yang biasa dilalui oleh truk pengangkut jagung di musim panen. Bagi masyarakat setempat yang biasa melewati jalur itu seolah biasa saja. Tetapi bagi yang pertama kali melewati jalur itu jelas sangat menantang. Mendaki dan menuruni bukit demi bukit yang cukup terjal. Apalagi di lokasi tersebut hampir setiap hari turun hujan sehingga jalan ekonomi yang belum beraspal itu licin. Terpeleset sedikit bisa jatuh. 



Sampai di areal bekas penanaman jagung yang paling utara, posisi keberadaan menhir sudah terlihat cukup dekat. Jarak pandang diperkirakan sekitar 500 meter. Tetapi untuk sampai di tempat itu harus menuruni lembah yang cukup dalam dengan berjalan kaki. Sedangkan semua kendaraan diparkir di lahan milik warga setempat yang bernama Abdullah Ahmad (Dole). 

Dole juga akhirnya diminta untuk menjadi penunjuk jalan bersama dengan Nurajin Fasul dan Bung Fudin, dua tokoh muda pegiat sejarah dalam Komunitas Adat Ncuhi Saneo. 

Secara perlahan rombongan menyusuri jalan setapak menuju ke bawah yaitu di sungai (Sori) Mada Nduru. Jalur yang dilalui cukup curam dan licin. Salah menjejakkan kaki di tanah bisa terpeleset pula. Sejenak rombongan yang berjumlah sekitar 20 orang itu beristrahat di pinggir sungai yang airnya jernih dan sangat dingin itu. Rombongan melepaskan kepenatan sembari mendengarkan arahan dari Kabid Kebudayaan Disbudpar Dompu Wahono, SE sekaligus menikmati santapan siang yang telah disiapkan oleh panitia.








Setelah rasa lelah berangsur-angsur hilang, sekitar 15 menit kemudian perjalanan dilanjutkan kembali. Menyusuri jalan setapak lagi.  Pendakian di Gunung (Doro) Lomba Na'a tempat menhir itu berada. Sebagian anggota rombongan membawa sepotong kayu yang digunakan sebagai tongkat penyangga tubuh agar lebih memudahkan melintasi jalur pendakian tajam dan licin itu. 

Perjalanan mendaki ini dirasakan lebih berat dan melelahkan. Terutama bagi anggota rombongan yang berbody jumbo. Untuk itu Fasul sebagai penunjuk jalan mengarahkan anggota rombongan untuk berjalan dengan mengambil haluan ke samping kiri dan ke kanan untuk menghindari pendakian yang terlalu tajam. Memang agak jauh tetapi lebih aman bagi rombongan. 





Beberapa kali rombongan beristrahat di bawah rerimbunan pepohonan hutan yang masih utuh, belum terjamah oleh tangan manusia.
Setelah sampai di puncak bukit, rombongan menuju ke arah timur. Di bagian paling tinggi dari puncak bukit itulah menhir itu berada. Rasa lelah pun lenyap karena gembira bisa melihat menhir yang selama ini hanya dilihat melalui postingan para pegiat sejarah dan budaya melalui medsos. 


Rombongan Tim Balar dan Disbudpar kemudian melakukan pengukuran tinggi serta diameter menhir yang oleh warga Saneo menyebutnya dengan nama Wadu Panta yang artinya batu yang dipancangkan atau ditancapkan.

Diukur pula titik koordinat tempat menhir itu berada. 


Moment langka itu dimanfaatkan pula oleh anggota rombongan Napak Tilas Sejarah Saneo ini untuk foto bareng maupun ber-swafoto (selfie).





Pada kesempatan tersebut, sebagian dari anggota rombongan melakukan penggalian dan pengumpulan pecahan-pecahan gerabah di sekitar lokasi menhir. Pecahan-pecahan gerabah itu diyakini sebagai bukti peradaban di masa Saneo kuno karena selama ini lokasi tersebut tidak pernah dijadikan sebagai areal perladangan liar. 


Sekitar pukul 13.00 Wita rombongan melakukan perjalanan pulang karena tiba-tiba cuaca mendung pertanda hujan lebat bakal turun. Tiba di Sori Mada Nduru hujan pun turun. Mulanya tidak terlalu deras. Namun lama kelamaan kian deras. 

Sebagian rombongan pulang terlebih dahulu basah kuyup karena guyuran air hujan yang cukup deras. Jalanan yang licin membuat mereka sangat berhati-hati takut jatuh terpeleset. 

Sepeda motor jalan terseok-seok karena licinnya jalur jalan ekonomi yang dilalui. Mobil pengangkut rombongan harus didorong beramai-ramai karena jalur mendaki yang sangat licin akibat guyuran air hujan. Berkat kebersamaan, akhirnya mobil tersebut lolos dari jalur yang menantang itu.

Bung Fudin dari Komunitas Adat Ncuhi Saneo kepada Tim Balar menyampaikan bahwa sejak tahun 2019 mereka telah menelusuri jejak-jejak sejarah bukti peradaban di Saneo pada masa lampau. Bekas-bekas pemukiman Saneo Ma Ntoi (Saneo kuno) di tengah hutan Saneo (sebelah timur Feader Rababaka Komplek). Kampung Saneo mantoi atau Saneo Matua letaknya di gunung Matua dan sekitarnya, La Lambu, Tolo Woha, Marampa, Rade Dese, dan lainnya. 
"Cerita para tetua ada empat Ncuhi zaman dulu yang besar yaitu Ncuhi Saneo, Ncuhi Hu'u, Ncuhi Tonda dan Ncuhi Nowa," tuturnya.

Ia menyebut kuburan Islam juga banyak ditemukan di beberapa lokasi hutan Saneo menandakan bahwa Islam sudah masuk di Saneo sejak awal. 
Fasul mengungkapkan pula di wilayah hutan Saneo terdapat makam seorang ulama asal Gowa Sulawesi Selatan yang diyakini sebagai pembawa ajaran Islam pertama kali di Saneo. (emo).