Tokoh Kita BJ. Habibie (1)

Kategori Berita

.

Tokoh Kita BJ. Habibie (1)

Koran lensa pos
Rabu, 26 Mei 2021

 





Pare-pare adalah kota teduh yang berjarak 155 km dari kota Ujung Pandang. Di salah satu rumah (sekarang Jalan Sultan Hasanuddin), pada 25 Juni 1936 lahir seorang anak lelaki yang kemudian diberi nama Bacharuddin Jusuf Habibie, putra dari Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo.

Baik Alwi Abdul Jalil Habibie maupun Tuti Marini Puspowardojo bukan kelahiran Sulawesi Selatan. Alwi lahir pada tanggal 17 Agustus 1908 di Gorontalo dan Tuti Marini lahir di Yogyakarta pada 10 November 1911. 

Alwi Abdul Jalil Habibie merantau ke Jawa dan masuk sekolah Pertanian di Bogor. Adapun Tuti Marini Puspowardojo berpendidikan HBS (Hugere Burger School). Kendati demikian,  cikal bakal ayah BJ. Habibie bukanlah orang asing di Sulawesi Selatan. Dalam silsilah keluarga dinyatakan bahwa keluarga BJ. Habibie dari pihak ayah adalah keturunan Bugis Makassar yang berasal dari daerah Sulawesi Selatan.

Masa kecil Habibie biasa saja. Tidak ada yang terlalu istimewa. Soal makanan ia juga biasa saja, sarapan paginya roti, nasi goreng, sokko (beras ketan yang ditanak). Kue kegemarannya adalah barongko (kue yang terbuat dari pisang yang diaduk-aduk sampai halus kemudian dibungkus daun pisang). Habibie juga gemar menyantap bubur Manado. Ia juga gemar berenang, suka menyanyi, main layang-layang, naik kuda, serta main gundu. Orangnya periang dan selalu optimis.

Sejak kecil watak Habibie memang berbeda dari saudara-saudaranya. Ia termasuk anak yang suka mengerjakan sesuatu. Di rumah dia senang membaca buku apa saja. Menurut kakaknya yang paling tua, Titi Sri Sulaksmi, pada waktu kecil ia harus setiap hari membujuk Habibie kecil (adiknya) untuk keluar rumah bermain dan bergaul dengan teman-teman lain. Sebaliknya kepada adik yang lain, Fanny (Jusuf Effendy), ia harus mengontrolnya supaya banyak tinggal di rumah untuk belajar. Sifat kedua saudaranya itu memang sangat kontras. Satu betah di rumah, sedang yang satu lagi tidak dan harus selalu diawasi.

Sebagaimana teman-teman sebayanya, ia juga ikut mengaji bersama kakak dan teman-temannya pada seorang guru ngaji bernama Hasan Alamudi  atau dengan gelar Kapitan Arab. Seperti anak yang lain, ia pun melaksanakan kewajiban sehari-hari terhadap guru seperti halnya mengambil air dari sumur untuk mengisi gentong air minum atau bak cuci kaki, karena rumah sang guru rumah panggung. Habibie termasuk anak yang paling rajin dan cepat menghafal bacaan, karena itu ia berhasil khatam beberapa kali. 

Pada masa kecil Habibie agak tertutup, tetapi ia sangat tegas berpegang pada prinsipnya. Jika misalnya timbul perselisihan dengan saudaranya dan Habibie disalahkan maka ia tidak begitu gampang menerimanya, ia akan protes dan berteriak jika ia benar namun dipersalahkan. Tapi jika ia bersalah ia akan diam ketika dimarahi dan tidak melakukan protes sedikitpun. Habibie kecil juga tidak pernah terlibat perkelahian dengan anak-anak sebayanya, namun bukan berarti bahwa ia tidak bergaul dengan teman-temannya.

Habibie dari kecil senang olah raga. Salah satu kegemarannya adalah menunggang kuda. Ayahnya mempunyai beberapa ekor kuda balap kelas satu. Ada seekor yang paling top dan selalu merajai balapan pada kelasnya. Kuda tersebut diberi nama La Bolong (dalam bahasa bugisnya Si Hitam). Bila Habibie menjadi jokinya, ia selalu tampil sebagai joki ulung, lincah menjuarai balapan. Bakat sebagai joki ini tampaknya diwarisi dari ayahnya yang ketika masih kecil juga adalah joki yang baik.

(Sumber: BJ. Habibie. Kisah Hidup dan Kariernya. A. Makmur Makka dalam Bingkai Sejarah Indonesia - Bersambung)