SEJARAH KERAJAAN DOMPU

Kategori Berita

.

SEJARAH KERAJAAN DOMPU

Koran lensa pos
Minggu, 30 Mei 2021

 Oleh : Adiansyah Dompu

          Ilustrasi : Pasukan Kerajaan Kuno



Mempelajari SEJARAH DOMPU secara lengkap harus menggunakan data-data ilmiah hasil penelitian para pakar. Selain itu juga bisa kita mulai dengan membaca Asal mula Kerajaan Dompu melalui beberapa cerita tutur yang hidup dalam Masyarakat Dompu selama ratusan tahun.  

Catatan sejarah Nusantara era klasik antara abad 4 sampai dengan abad 16 menyebutkan bahwa belum ada kerajaan bercorak Hindu yang berkembang di daratan Pulau Sumbawa. Namun bukan berarti pulau tersebut tidak ada penghuni dan peradabannya. 

Berdasarkan bukti-bukti temuan arkeologis, pulau Sumbawa telah dihuni oleh manusia sejak ratusan tahun bahkan mungkin ribuan tahun yang lampau. Bukti-bujti berupa penemuan peninggalan Megalitik menunjukkan bahwa di wilayah Dompu telah berkembang masyarakat prasejarah.

Kerajaan Dompu telah dikenal sejak Kerajaan Sriwijaya sampai dengan masa keemasan Kerajaan Majapahit. Pada masa-masa ini, khususnya pada masa keemasan Kerajaan Majapahit, Karajaan Dompu merupakan salah satu wilayah incaran Majapahit. Dengan demikian wilayah Dompu merupakan wilayah yang mapan dan mempunyai sumber daya alam bagus yang didukung dengan keberadaan wilayah vulkanis Gunung Tambora dan wilayah perairan yang cukup luas (Armini, 2007 : 224)

I. SANG KULA DAN LEGENDA LOPI JAO 

Leluhur para Sangaji Dompu diyakini berasal dari suatu Negeri yang sangat jauh, diperkirakan dari sebuah wilayah di pulau Sumatra. Sementara itu ada empat bersaudara yang terdiri dari Sang Kula dan ketiga adiknya yang bernama Sang Bima, Sang Dewa, dan Sang Jin sedang dalam pengembaraan ke timur untuk mencari sisa-sisa  dari para leluhurnya. Ada juga versi lain yang menyatakan bahwa mereka terdiri dari 3 bersaudara, yaitu Sang Kula, Sang Dewa dan Sang Bima.

Pengembaraan mereka memakan waktu sangat lama dan mengarungi banyak lautan dengan menggunakan perahu indah dan molek yang terbuat dari bahan bambu-bambu berwarna kuning. 

Setelah sekian lama mengembara melewati banyak lautan, suatu saat mereka melihat sebuah pulau yang asing dan mereka kemudian memutuskan untuk singgah di Pulau tersebut. Dan atas  permintaan dari Ina Ka'u (Permaisuri) yang berkuasa di Pulau itu, mereka harus tinggal di sana untuk sementara waktu. Ina Ka'u yang sudah lama hidup sendiri karena suaminya telah lama wafat merasa punya kepentingan untuk mengetahui identitas mereka. Maka sebagai anak tertua, Sang Kula bertindak sebagai pemimpin dan rombongan itupun menuju ke Istana untuk menemui Ina Ka'u. Sang Kula kemudian menceritakan panjang lebar kisah perjalanan mereka.

Karena melihat budi pekerti Sang Kula yang sopan dengan tutur kata yang halus, maka dalam hati Ina Ka'u pun muncul perasaan suka pada pemuda berbudi tersebut dan menyampaikan keinginannya untuk menikah dengannya yang kemudian lamaran Ina Ka'u diterima oleh Sang Kula. Mereka kemudian menikah dan hidup bahagia bersama untuk beberapa saat lamanya, sehingga tibalah waktunya empat bersaudara tersebut harus melanjutkan perjalanan mencari sisa-sisa peninggala leluhurnya. 

Ina Ka'u melepas kepergian mereka dengan ikhlas, sementara Sang Kula berpesan kepada sang istri jika ingin menyusulnya maka dia harus mencari tempat yang terdapat Istana dengan ornamen gambar Naga dengan pintu berwarna-warni menghadap ke arah matahari terbit.

Merekapun melanjutkan perjalanan mereka menuju Timur. Awalnya mereka menuju ke arah Pulau Sangiang, kemudian mereka berlayar ke arah Selatan melewati Selat Sape di sebelah timur Pulau Sumbawa. Perjalanan panjang mereka kemudian mengarah ke Perairan Waworada, Teluk Cempi. Di sanalah mereka akhirnya berhenti sementara di sebuah pantai berombak tenang bernama Riang Ria (Riwo) dan merekapun tinggal beberapa saat di wilayah tersebut. 
Kalau kita perhatikan narasi peta dari perjalanan mereka yang pertama ini, besar kemungkinan Sang Kula bersaudara mendarat di utara Pulau Sumbawa, tepatnya di sekitar wilayah Satonda. Dari Satonda itu mereka melanjutkan perjalanan ke timur dan bertemu dengan pulau Sangiang, melewati selat Sape dan terdampar di Pantai Riwo dari arah timur sisi selatan Pulau Sumbawa ).

Setelah tinggal beberapa saat, mereka ada niat hendak kembali ke daerah asalnya. Mereka memulai lagi perjalanan ke arah Barat untuk kembali ke daerah asal mereka. Yang tidak disangka-sangka, perahu mereka lepas kendali dan membelok ke arah Selatan melewati selat alas. Berbulan-bulan mereka terombang-ambing di Selatan pulau Sumbawa sampai akhirnya terseret kembali ke arah Riwo, tempat yang pernah mereka singgahi dulu. Mereka kemudian membangun pemukiman di wilayah tersebut dan akhirnya mengembangkan keturunan di sana.

Jika kita perhatikan lagi narasi peta perjalanan mereka yang kedua ini dan dicocokkan dengan Peta yang ada, diperkirakan mereka tidak berangkat dari Riwo di Teluk Cempi yan berada di sebelah selatan Pulau Sumbawa, tetapi keberangkatan mereka seharusnya dari sebelah utara Pulau Sumbawa. Kemungkinan selama tinggal di wilayah tersebut mereka melakukan perjalanan ke utara sampai di suatu titik di sisi utara Pulau Sumbawa, berlayar ke Barat dan terseret angin ke Selatan melewati selat Alas dan lagi-lagi terseret terus ke timur menuju Pantai Riwo, Teluk Cempi, tapi kali ini dari arah barat sisi selatan Pulau Sumbawa ). 

Kisah pelayaran mereka menggunakan perahu kuning dari Bambu kemudian dikenal dengan kisah Lopi Monca, Bahasa Dompu dari Perahu Kuning. Kelak kemudian kisah tentang Lopi Monca ini melegenda di Masyarakat Dompu menjadi Cerita Lopi Jao (Perahu Hijau), yang menjadi kisah Horor sebagai dongeng pengantar tidur bagi anak-anak mereka dimana diceritakan bahwa anak yang nakal akan ditangkap oleh Lopi Jao yang sering menampakkan diri setiap maghrib di Sungai-sungai tertentu. 

Sang Kula Menjadi Raja Dompo

Setelah mereka lama bermukim dan beranak-pinak di wilayah Woja, Sang Kula kemudian menjadi Raja kecil di wilayah tersebut. Sementara saat itu di wilayah Dompu sudah terdapat banyak sekali kelompok masyarakat yang mendiami beberapa areal-areal pertanian (Areal Pertanian tersebut dalam Bahasa Dompu disebut Nggaro) dan juga di daerah-daerah pantai. Masing-masing kelompok masyarakat tersebut dipimpin oleh seorang Kepala Suku yang bergelar Ncuhi. Ncuhi-Ncuhi di wilayah Dompu saat itu tersebut antara lain: Ncuhi Tonda, Ncuhi Soro Bawa, Ncuhi Hu'u (Ncuhi Iro Aro), Ncuhi Daha, Ncuhi Puma, Ncuhi Teri, Ncuhi Rumu (Ncuhi Tahira) dan Ncuhi Temba. Sang Kula sendiri kemudian dikenal dengan nama Ncuhi Kula atau Ncuhi PATAKULA

Menjadi hal yang biasa terjadi pada sebuah kelompok atau komunitas yang mulai besar, terjadi gesekan-gesekan. Dan saat kelompok mereka semakin besar dan jumlah masyarakatnya maupun aktivitas mereka yang makin luas dan makin banyak, maka diperlukan seorang Pemimpin untuk mengatur kegiatan mereka agar tidak terjadi tumpang tindih. Sehingga demikian para Ncuhi melakukan Sidang Dewan Ncuhi. Dalam sidang Dewan Ncuhi, para Ncuhi tersebut bersepakat untuk bersatu dan mendirikan sebuah kerajaan bernaman DOMPO dikarenakan letaknya yang ditengah pulau sebagai penghubung atau ma-DOMPO-na ( DOMPO adalah bahasa Dompu dari memotong) bagian timur dan barat pulau tersebut. Sebagai Raja pertama Kerajaan Dompo disepakati oleh para Ncuhi tersebut adalah Ncuhi Kula dengan gelar Dewa Sang Kula.


II. SANG KULA DAN PUTRA KERAJAAN TULANG BAWANG

Dalam versi lain kisah Sang Kula yang telah beranak pinak di Woja dan sekitarnya dan menjadi Raja Kecil alias Ncuhi, terdapat kisah lain terkait siapa Raja Dompu yang pertama. 

Sebagaimana ditulis diatas bahwa sebelum terbentuknya kerajaan di daerah Dompu, sesungguhnya telah berkuasa beberapa kepala suku yang disebut sebagai Ncuhi alias raja-raja kecil. Dari semua Ncuhi yang tersebut di atas, terdapat empat orang Ncuhi yang terkenal, yaitu:

Ncuhi Hu`u (Ncuhi Iro Aro) yang Berkuasa di daerah Hu`u dan sekitarnya.
Ncuhi Soneo yang Berkuasa di daerah Soneo dan sekitarnya.
Ncuhi Nowa yang Berkuasa di Nowa dan sekitarnya.
Ncuhi Tonda yang Berkuasa di Tonda dan sekitarnya.

Dikisahkan bahwa di negeri Woja atau Tonda berkuasalah seorang Ncuhi yang wilayahnya cukup luas bernama Ncuhi Kuladan beliau mempunyai seorang putri cantik jelita bernama La Komba Rawe

Pada saat itu konon terdamparlah putra Raja Tulang Bawang didaerah woja yang sengaja mengembara di daerah Woja bagian timur. Singkat cerita akhirnya putra Raja Tulang Bawang ini kawin dengan putri Ncuhi patakula dan selanjutnya para Ncuhi yang ada akhirnya sepakat untuk menobatkan putra Raja Tulang Bawang tersebut sebagai Raja Dompu yang pertama. Pusat pemerintahannya di sekitar wilayah desa Tonda atau di desa Riwo masuk dalam wilayah kecamatan woja sekarang.

Putra Raja Yang Terdampar

Pada awal abad 7 M- 9 M, Kerajaan Sriwijaya yang saat itu sedang dalam upaya menaklukkan kerajaan-Kerajaan di seluruh pulau Andalas, termasuk di antaranya sebuah Kerajaan bernama Kerajaan Tulang Bawang.

Sebagaimana kebiasaan kerajaan-kerajaan Penakluk yang selalu membumi-hanguskan daerah-daerah taklukannya, maka segala hal terkait Kerajaan tersebut dikejar-lejar dan harus dihilangkan. Demikian juga yang dialami Raja Tulang Bawang dan seluruh keluarganya. Peristiwa penaklukkan Kerajaan Tulang Bawang ini diperkirakan terjadi pada aba 8 M atau 9 M.

Syahdan ceritanya, karena dikejar-kejar oleh banyak sekali bala tentara Kerajaan Sriwijaya, salah satu Putra dari Raja Tulang Bawang melarikan diri tak tentu arah ke arah timur.

Dalam pengembaraannya atau lebih tepatnya dalam pelariannya karena dikejar-kejar bala tentara Sriwijaya, Putra Raja Kerajaan Tulang Bawang tersebut kemudian terdampar dengan menderita banyak luka di sebuah pantai di daerah Woja, tepatnya di wilayah Woja bagian timur yang sekarang dikenal dengan nama Pantai Riang Ria (Riwo). 

Putra raja Tulang Bawang yang terdampar tersebut ditemukan oleh Ncuhi Kula dkk. Luka-lukanya diobati sampai sembuh. Sang Putri cantik, La Komba Rawe, dengan penuh kesabaran merawat pemuda tersebut. Karena sering bertemu muka maka lama kelamaan di antara mereka tumbuh sebuah perasaan suka satu sama lain sampai akhirnya Putra Raja Tulang Bawang tersebut menikah dengan La Komba Rawe.

Putra Mahkota Kerajaan Tulang Bawang Menjadi Raja Dompo

Selanjutnya dalam sidang para Ncuhi, disepakati untuk menobatkan Ncuhi Kula sebagai Raja mereka tetapi ditolak oleh Sang Kula dan akhirnya dia merekomendasikan menantunya alias putra dari raja Tulang Bawang tersebut sebagai Raja. Para Ncuhi menyetujui usulan dari Ncuhi Kula dan jadilah Putra Raja Tulang Bawang tersebut sebagai Raja Pertama di Kerajaan Dompu dengan gelar Dewa Tulang Bawang.

Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa Sang Kula adalah raja pertama Kerajaan Dompu dengan gelar Dewa Sang Kula. Dan beberapa waktu kemudian sebagai penerus diangkatlah menantunya sebagai Raja Dompu kedua dengan gelar Dewa Tulang Bawang

Rentetan persitiwa tersebut diperkirakan terjadi pada saat Kerajaan Sriwijaya mulai memperluas daerah kekuasaannya di seluruh kepulauan Andalas / Sumatra dan bersamaan dengan runtuhnya Kerajaan Tulang Bawang di sekitar Abad 6 M sampai 7 M. Sehingga bisa diperkirakan bahwa Kerajaan Dompu berdiri pada abad 6M - 7M.

Bukti-bukti sejarah juga menunjukkan bahwa pada abad ke-7 atau sekitar tahun 690 Kerajaan Sriwijaya menguasai hampir sebagian besar wilayah nusantara termasuk Pulau Sumbawa dan Dompu telah mengadakan hubungan dengan Kerajaan Sriwijaya pada masa lampau serta pengaruh-pengaruh unsur Agama Buddha pernah tumbuh di wilayah Dompu.
(I Gusti Ayu Armini, 2007 : 231).