Asal Usul La Gaja

Kategori Berita

.

Asal Usul La Gaja

Koran lensa pos
Kamis, 01 April 2021

 

              Kuburan La Gaja atau La Lembo Ro'o Fiko 
                     di Jalan Lintas Lakey Hu'u Dompu
                   (sumber foto : Ladaska dalam buku 
                          "Sekitar Kerajaan Dompu")

Dompu, koranlensapost.com - Gajah Mada, nama yang sangat melekat dalam hati sanubari Bangsa Indonesia sebagai tokoh Pemersatu Nusantara di masa Kerajaan Majapahit. Dalam Sumpah Palapa yang diikrarkannya pada tahun 1256 Saka (1336 Masehi) pada upacara pengangkatannya sebagai Patih Amangkubumi Majapahit ia bercita-cita ingin mempersatukan Nusantara. 

Gajah Mada berasal dari mana ? Hingga kini belum ada sumber sejarah yang pasti mengenai asal usul panglima perang gagah berani yang digambarkan memiliki postur tubuh tinggi perkasa itu. Menurut sumber sastra kuno, Gajah Mada berasal dari Bali. Ada juga yang menyebut Gajah Mada berasal dari Desa Modo, di Lamongan Jawa Timur. Dan masih banyak lagi penuturan masyarakat yang mengaku daerah asal usul Panglima Perang Majapahit itu. 

Demikian pula halnya bagi masyarakat Hu'u Kabupaten Dompu NTB. Mereka sangat meyakini bahwa Gajah Mada adalah berasal dari desa paling selatan di Kabupaten Dompu tersebut. Bahkan keturunan dari Gajah Mada diyakini masih ada hingga kini.
Masyarakat setempat menyebut Gajah Mada dengan La Gaja atau La Lembo Ro'o Fiko. Mengenai hal ini sudah menjadi sejarah  masyarakat setempat yang dituturkan secara lisan turun temurun dari zaman ke zaman. 

Nurul Qamar (merupakan keturunan langsung La Gaja) menceritakan bahwa La Gaja (Gajah Mada) adalah putra sulung dari Ncuhi Hu'u. Ncuhi adalah sebutan bagi pemimpin lokal di Dompu pada masa sebelum kerajaan. 

Ncuhi Hu'u memiliki 9 (sembilan) orang anak dan La Gaja merupakan anak yang pertama.

Semasa mudanya La Gaja sering berlayar dan merantau hingga sampai ke tanah Jawa. bersamaan dengan La Gaja turut serta sahabatnya Ompu iro aro, yang berasal dari daerah tetangga tepatnya di Daha (sekarang Desa Daha Kecamatan Hu'u).

La Gaja adalah pelaut ulung. Dengan perahunya ia berlayar ke mana-mana hingga akhirnya sampai di tanah Jawa (Kerajaan Majapahit). Ia melamar menjadi prajurit di Kerajaan Majapahit. Berkat keberanian dan kecerdasannya, akhirnya ia diangkat menjadi Mahapatih di kerajaan tersebut.

Karena La Gaja berlayar ke tanah Jawa, ayahnya meninggal dunia maka tahta yang ditinggalkannya digantikan oleh adiknya La Gaja sebagai Ncuhi Hu'u. Ncuhi Hu'u adalah pimpinan para Ncuhi yang ada di Dompo (Dompu) saat itu.

Belasan tahun berlalu, Gajah Mada datang hendak menaklukkan Dompo untuk mewujudkan Sumpah Palapa yang pernah diikrarkannya saat dilantik. Namun ia tidak mengetahui bahwa yang memimpin para Ncuhi di Dompo saat itu adalah adiknya yang merupakan Ncuhi Hu'u.

Ncuhi Hu'u menjadi pemimpin diantara para Ncuhi. Ini dibuktikan dengan adanya Bukit Parapimpi atau tempat berkumpulnya para pemimpin (Ncuhi) pada masa itu. 


Sumpah Palapa Gajah Mada dimaksudkan untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil agar tunduk menjadi satu kesatuan Nusantara/Indonesia di bawah kendali Majapahit sebagai kerajaan terbesar. 

Pada penyerangan (ekspansi) kedua, Sang Mahapatih telah mengetahui bahwa kerajaan Dompo saat itu dipimpin oleh Ncuhi Hu'u. Karena itu rencana penyerangan dibatalkan karena tidak mungkin melawan adiknya sendiri. Kapal Mahapatih Gajah Mada dilabuhkan di Pantai Ria (di Desa Riwo Kecamatan Woja Kabupaten Dompu saat ini). Sang Mahapatih meninggalkan pengawalnya di sana lalu pergi menuju Hu'u bersama Ncuhi Daha (Ompu Iro Aro). Ompu Iro Aro termasuk orang kepercayaan Gajah Mada sewaktu menjadi Mahapatih di Majapahit.

La Gaja (Gajah Mada) akhirnya meninggal dunia di Hu'u dan makamnya masih ada hingga kini. Namun tidak sembarangan orang bisa melihat makam tersebut.

Nurul Qamar bercerita bahwa pernah beberapa tahun lalu ada orang dari Jawa datang ke Hu'u.  Ia mengaku keturunan Gajah Mada dan datang untuk melihat anak cucu keturunan Gajah Mada. Ia juga hendak mencari makam Gajah Mada. Tetapi ia tidak menemukannya malah nyasar ke dalam hutan. 
"Jika benar dia keturunan Mahapatih pasti tidak akan tersesat. Kalau keturunan Mahapatih, dia tidak akan pernah nyasar sekalipun tidak pernah sama sekali ke makam itu. Pastilah jalannya akan dituntun," kata Nurul.

Karena tidak berhasil menemukan makam Gajah Mada, akhirnya orang itu  kembali ke perkampungan dan bertemu dengan keturunan langsung Mahapatih lalu menyampaikan niatnya hendak melihat makam Gajah Mada. 
Akhirnya orang tersebut diantar ke makam Mahapatih. Setelah itu orang tersebut pamit pulang ke Jawa.

Di akhir penuturannya, Nurul Qamar menjelaskan pula penamaan tempat yaitu Daha (sekarang Desa Daha), Marada (Desa Marada) dan Madawa (salah satu Dusun di Desa Marada) di Kecamatan Hu'u tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Hindu pada masa Kerajaan Majapahit itu. (AMIN).