MUNAS X, MUI Keluarkan 5 Fatwa

Kategori Berita

.

MUNAS X, MUI Keluarkan 5 Fatwa

Koran lensa pos
Jumat, 27 November 2020



Jakarta, koranlensapost.com - Majelis Ulama Indonesia (MUU) mengeluarkan lima fatwa pada Musyawarah Nasional (MUNAS) X yang diadakan pada 25-26 November 2020.

Kelima fatwa ini ditetapkan di Jakarta pada Kamis (26/11) dengan ketua pimpinan sidang Komisi Bidang Fatwa MUI Hasanuddin dan sekretarisnya, Asrorun Ni'am Sholeh. 

Dikutip dari CNN Indonesia, kelima fatwa dimaksud adalah sebagai berikut :


Pertama, fatwa tentang penggunaan human diploid cell untuk bahan produksi obat dan vaksin. MUI menjelaskan ketentuan hukumnya sebagai berikut.

Poin kesatu, pada dasarnya penggunaan sel yang berasal dari bagian tubuh manusia untuk bahan obat atau vaksin hukumnya haram, karena bagian tubuh manusia (juz'u al-insan) wajib dimuliakan.

Kedua, dalam hal terjadi kondisi kedaruratan (dharurah syar'iyah) atau kebutuhan mendesak (hajah syar'iyah). Penggunaan human diploid cell untuk bahan obat atau vaksin hukumnya boleh, dengan syarat berikut ini.

a. Tidak ada bahan lain yang halal dan memiliki khasiat atau fungsi serupa dengan bahan yang berasal dari sel tubuh manusia;

b. Obat atau vaksin tersebut hanya diperuntukkan untuk pengobatan penyakit berat, yang jika tanpa obat atau vaksin tersebut maka berdasarkan keterangan ahli yang kompeten dan terpercaya diyakini akan timbul dampak kemudaratan lebih besar;

c. Tidak ada bahaya (dharar) yang mempengaruhi kehidupan atau kelangsungan hidup orang yang diambil sel tubuhnya untuk bahan pembuatan obat atau vaksin;

d. Apabila sel tubuh manusia yang dijadikan bahan obat atau vaksin bersumber dari embrio, maka harus didapatkan melalui cara yang dibolehkan secara syar'i, seperti berasal dari janin yang keguguran spontan atau digugurkan atas indikasi medis, atau didapatkan dari sisa embrio yang tidak dipakai pada inseminasi buatan atau IVF (in vitro fertilization);

e. Pengambilan sel tubuh manusia harus mendapatkan izin dari pendonor;

f. Dalam hal sel tubuh berasal dari orang yang sudah meninggal harus mendapatkan izin dari keluarganya;

g. Sel tubuh manusia yang menjadi bahan pembuatan obat atau vaksin diperoleh dengan niat tolong-menolong (ta'awun), tidak dengan cara komersial.

h. Kebolehan pemaanfaatannya hanya sebatas untuk mengatasi kondisi kedaruratan (dharurah syar'iyah) atau kebutuhan mendesak (hajah syar'iyah).

Fatwa kedua, yaitu tentang pendaftaran haji saat usia dini. MUI menjelaskan ketentuan hukumnya sebagai berikut :


Poin kesatu, pendaftaran haji pada usia dini untuk mendapatkan porsi haji hukumnya boleh (mubah), dengan syarat sebagai berikut :

a. uang yang digunakan untuk mendaftar haji diperoleh dengan cara yang halal.
b. tidak mengganggu biaya-biaya lain yang wajib dipenuhi.
c. tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
d. tidak menghambat pelaksanaan haji bagi mukallaf yang sudah memiliki kewajiban 'ala al-faur dan sudah mendaftar.
Pada poin kedua, hukum pendaftaran haji pada usia dini yang tidak memenuhi syarat yang disebut pada angka 1 adalah haram.

Fatwa ketiga terkait pemakaian masker bagi orang yang sedang ihram. Dijelaskan ketentuan hukumnya sebagai berikut.
Poin pertama, memakai masker bagi perempuan yang sedang ihram haji atau umrah hukumnya haram, karena termasuk pelanggaran terhadap larangan ihram (mahdzurat al-ihram), sedangkan memakai masker bagi laki-laki yang berihram haji atau umrah hukumnya boleh (mubah).

Kedua, dalam keadaan darurat atau kebutuhan mendesak (al-hajah al-syar'iyah), memakai masker bagi perempuan yang sedang ihram haji atau umrah hukumnya boleh (mubah).

Ketiga, dalam hal seorang perempuan yang memakai masker pada kondisi sebagaimana pada angka 2, terdapat perbedaan pendapat;
a. wajib membayar fidyah
b. tidak wajib membayar fidyah.

Keempat, keadaan darurat atau kebutuhan mendesak (al-hajah al-syar'iyah) sebagaimana dimaksud pada angka 2 antara lain:
a. adanya penularan penyakit yang berbahaya;
b. adanya cuaca ekstrim/buruk;
c. adanya ancaman kesehatan yang apabila tidak memakai masker dapat memperburuk kondisi kesehatan.

Fatwa keempat, yaitu tentang pembayaran setoran awal haji dengan utang dan pembiayaan. Dijelaskan di dalamnya terkait ketentuan hukum sebagai berikut.
Poin kesatu, pembayaran setoran awal haji dengan uang hasil utang hukumnya boleh (mubah), dengan syarat:

a. bukan utang ribawi; dan
b. orang yang berutang mempunyai kemampuan untuk melunasi utang, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.

Kedua, pembayaran setoran awal haji dengan uang hasil pembiayaan dari lembaga keuangan, hukumnya boleh dengan syarat:
a. menggunakan akad syariah.
b. tidak dilakukan di Lembaga Keuangan Konvensional; dan
c. nasabah mampu untuk melunasi, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.

Ketiga, pembayaran setoran awal haji dengan dana utang dan pembiayaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) dan 2 (dua) adalah haram.

Fatwa kelima, tentang penundaan pendaftaran haji bagi yang sudah mampu. Ketentuan hukumnya dijelaskan sebagai berikut :


Poin kesatu, ibadah haji merupakan kewajiban 'ala al-tarakhi bagi orang muslim yang sudah istitha'ah namun demikian disunnahkan baginya untuk menyegerakan ibadah haji.


Kedua, kewajiban haji bagi orang yang mampu (istitha'ah) menjadi wajib 'ala al-faur jika:
a. sudah berusia 60 tahun ke atas;
b. khawatir berkurang atau habisnya biaya pelaksanaan haji; atau
c. qadla' atas haji yang batal.

Ketiga, mendaftar haji bagi orang yang memenuhi kriteria pada angka 2, hukumnya wajib.

Keempat, menunda-nunda pendaftaran haji bagi orang yang memenuhi kriteria pada angka 2, hukumnya haram.

Kelima, orang yang sudah istitha'ah tetapi tidak melaksanakan haji sampai wafat wajib dibadalhajikan.

Keenam, orang yang sudah istitha'ah dan sudah mendaftar haji tetapi wafat sebelum melaksanakan haji, sudah mendapatkan pahala haji dan wajib dibadalhajikan. (LP-02).