Mengapa Kampo Sigi Dompu Tanpa Sigi (Masjid) ?

Kategori Berita

.

Mengapa Kampo Sigi Dompu Tanpa Sigi (Masjid) ?

Koran lensa pos
Selasa, 14 Juli 2020
Oleh : Faisal Mawa'ataho*

Kata Sigi berarti masjid. Kata ini adalah kata serapan yang berasal dari kata masigit dalam Bahasa Makasar yang berarti masjid. Sedangkan Kampo artinya kampung atau desa yang merupakan serapan dari Bahasa Melayu. Kampo Sigi atau nama resminya Lingkungan Sigi adalah salah satu Lingkungan dalam wilayah administrasi Kelurahan Karijawa Kecamatan Dompu Kabupaten Dompu NTB.
Kebiasaan masyarakat Dompu, nama Kampo Sigi akan diberikan kepada sebuah kampung yang menjadi lokasi berdirinya sebuah masjid. Namun, tidak dengan Kampo Sigi alias Kampung Masjid di Karijawa ini. Tak ada satupun masjid (bukan mushalla) yang berdiri di sini. Mengapa demikian ? Tak banyak generasi muda yang tahu. 
Sejak Abad ke-16 pusat pemerintahan Kerajaan Dompu dipindahkan dari Negeri Tonda (di Woja) menuju Negeri Bata (di Kandai Satu). Ketika tahun 1545 Sultan Syamsuddin Mawa’a Tunggu berkuasa, kemungkinan besar telah dibangun masjid di Negeri ‘Bata (sekarang Kandai Satu) sebagai ibu kota Kerajaan Dompu. Situs Warokali di Belakang SMPN 7 IT Dompu yang merupakan puing-puing bangunan, pernah diamati oleh Tim Balai Arkeologi Bali dan menurut penulis, sangat identik sebagai puing-puing masjid.
Ketika tahun 1815 Ibu kota Kerajaan Dompu dipindahkan lagi ke Kampo Rato (Lingkungan Rato, Kelurahan Karijawa saat ini) akibat dampak letusan Gunung Tambora. Maka praktis kehidupan di Negeri ‘Bata ditinggalkan. Nenek moyang Dou Dompu memiliki pantangan mendiami negeri yang telah terkena bencana. Maka dibangunlah sebuah Asi (Istana Sultan Dompu) yang terbuat dari kayu. Pusat pemerintahan pun dipindahkan di sekitar istana tersebut. Pusat pemerintahan yang baru itu disebut Negeri ‘Bata ‘Bou (‘Bata Baru). 
Namun, meskipun telah dibangun sebuah Asi (Istana) Kerajaan di ‘Bata ‘Bou (sekarang Lingkungan Rato Karijawa), namun belum ada masjid yang dibangun.
Sekitar lebih dari 50 tahun kemudian, di masa Sultan Muhammad Salahuddin Mawa’a Adi, datanglah Syaikh Abdul Ghani bin Subuh untuk pulang kampung menengok sanak saudaranya di Dompu. Beliau adalah adalah seorang keturunan Dompu yang menjadi ulama’ besar di Makkah. 
Meskipun berasal dari Dompu, namun mungkin karena Dompu susah diidentifikasi oleh orang Arab di peta dunia, maka beliau lebih terkenal dengan nama Abdul Ghani Bima Al Jawi. Setidaknya begitulah nama beliau yang penulis baca dalam kitab Nazmud Durar. Menurut penulis, ketika beliau datang ke Makkah beliau lebih memilih memperkenalkan diri berasal dari Bima ketimbang dari Dompu. Sebab Bima lebih familiar di telinga para ulama’ dan perantau asal Nusantara ketimbang Dompu. Memang, sejak dulu orang Dompu senantiasa mengaku berasal dari Bima, sebab Bima lebih dikenal oleh dunia luar.
Syaikh Abdul Ghani bin Subuh kemudian menjadi guru dan penasehat Sultan Muhammad Salahuddin. Beliau diberi jabatan qadi. Beliau kemudian menginisiasi pembangunan sebuah masjid di samping barat laut istana sultan Muhammad Salahuddin. Para budayawan dan tokoh-tokoh sepuh di Dompu senantiasa bercerita bahwa masjid ini adalah masjid pertama di Dompu. Namun penulis kurang setuju. Sebab Kesultanan Dompu telah berdiri dari tahun 1545 sampai tahun1815 di Negeri ‘Bata (Kandai Satu sekarang) dan pastilah sudah ada masjid yang dibangun di sana. Jadi, masjid yang dibangun oleh Syaikh Abdul Ghani di Negeri ‘Bata ‘Bou kemungkinan bukan masjid pertama yang dibangun di Dana Dompu.
Ridwan (1985) menjelaskan bahwa masjid ini terbuat dari konstruksi kayu jati dan berlantaikan tegel batu berukuran 50×50 cm dan tebal 4 cm, dan beratap susun tiga. 
Mengutip hasil penelitian Tim Survey Kepurbakalaan Depdikbud Jakarta tahun 1974 yang meneliti puing-puing masjid, masjid kuno itu berukuran 25×15 m. Bata merahnya berukuran 26 cm dengan tebal 8 cm. Sedangkan ukuran tegel bekas lantainya yakni 54×48 cm (Ridwan, 1985: 59). Dari sini kita bisa simpulkan bahwa Masjid Kesultanan Dompu yang terletak di Kampo Sigi, Karijawa, merupakan masjid yang memiliki ciri serupa dengan masjid di Nusantara pada umumnya. Yakni perpaduan arsitektur pra-Islam dengan kebudayaan Islam. Bagian bawahnya merupakan kombinasi pondasi berupa bata dan tegel batu untuk lantai. Konstruksi atasnya berupa bangunan kayu, yakni kayu jati yang banyak ditemukan di wilayah Dompu saat itu. Dindingnya terbuat dari kayu jati sedangkan atapnya bersusun tiga.
Masjid yang dibangun oleh Syaikh Abdul Ghani ini menjadi pusat pengajaran dan dakwah Islam di Dompu selama kurang lebih satu abad lamanya sejak pertengahan abad ke 19 hingga tahun 1960-an. Keberada’an masjid di lokasi ini kemudian membuat kampung yang berdiri di sekitarnya disebut sebagai Kampo Sigi (Kampung Masjid). Dengan dibangunnya Masjid Raya Baiturrahman Dompu yang memiliki luas lebih besar, maka masjid Syaikh Abdul Ghani dirobohkan pada tahun 1962. Sejak saat itu Kampo Sigi Dompu menjadi sebuah Kampo Sigi tanpa Sigi. 
(*Penulis adalah Pemerhati Sejarah Dompu-Bima).