Soekarno, Ende Dan Bima ( Bagian 6 )

Kategori Berita

.

Soekarno, Ende Dan Bima ( Bagian 6 )

Koran lensa pos
Kamis, 07 Mei 2020
Oleh : Alan Malingi*
Foto : Hotel Des Indes

Seruling Sendu Kapal Bonteku

Setahun setelah kunjungan Bung Karno, tepatnya hari Kamis tanggal  11 Mei 1951 Kapal “ Bonteku “ berlayar dari pelabuhan Bima menuju Jakarta. Bunyi serulingnya mengusik ketenangan malam di teluk Bima yang indah, tenang dan damai. Isak tangis mengiringi sendunya bunyi seruling Bonteku yang membawa Sultan Muhammad Salahuddin dan keluarganya untuk berobat lanjut ke Jakarta.

Seminggu kemudian, Sultan Muhammad Salahuddin tiba di Jakarta dan langsung dirawat  di Rumah Sakit Cikini. Dua bulan lamanya Sultan yang dijuluki Ma Ka Kidi Agama ini dirawat. Menjelang Idul Fitri, Sultan diijinkan untuk keluar dari Rumah Sakit Cikini dan menginap di Hotel Des Indes. Tapi di luar dugaan, kesehatan Sultan memburuk dan kembali masuk RS Cikini.  Pada tanggal 11 Juli 1951 Sultan Bima ke- 14 itu mangkat.

Kabar kematian tersiar ke se antero Jakarta dan sampai ke Istana Negara. Presiden Soekarno langsung memerintahkan dua pejabat tinggi Negara dan tokoh Ummat KH. H. Agus Salim dan Moh. Natsir untuk menyampaikan rasa duka cita kepada keluarga dan menjemput Jenazah untuk disemayamkan di Gedung Proklamasi( Gedung Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta.

Keesokan harinya atas permintaan keluarga, Sultan Muhammad Salahuddin dimakamkan di pemakaman Karet Tanah Abang Jakarta. Seiring wafatnya  Sultan Muhammad Salahuddin, matahari kebesaran kerajaan dan kesultanan Bima pun terus redup dan padam. 311 tahun kerajaan dan kesultanan Bima memegang peranan penting dalam percaturan Sejarah dan Budaya Nusantara. Dia bagai mercusuar di atas lautan hindia. Masa kesultanan Bima berakhir kemudian beralih menjadi daerah Swapraja kemudian menjadi daerah swatantra dan menjadi daerah Kabupaten. Rupanya seruling Sendu Kapal Bonteku sebanyak tiga kali itu memberi isyarat bahwa sultan Muhammad Salahuddin dan Kesultanan Bima harus berakhir karena sejarah itu sendiri.

Peristiwa Cikini

Jika pada 30 November 1950, Bung Karno disambut meriah dan hangat di Istana Bima,  maka pada sabtu malam 30 November 1957  Bung Karno disambut dengan lemparan granat di halaman sekolah Cikini.

Berkaitan dengan peristiwa Cikini, Arifin Suryo Negoro menulis bahwa Ketika Presiden Sukarno menghadiri peringatan 15 tahun berdirinya Perguruan Cikini, sebuah sekolah Favorit dan unggulan pada zaman itu. Kehadiran Bung Karno atas undangan sekolah cikini karena kebetulan putranya Guntur dan puterinya Megawati belajar di sekolah yang berlokasi di jalan Cikini Nomor 76 Jakarta Pusat itu. 

Usai acara, Bung Karno dikerumuni  siswa, guru dan orang tua murid untuk bersalaman. Saat pluit Polisi Lalu Lintas dan sirine mobil pengawal berbunyi, tiba-tiba sebuah granat meledak di bagian depan mobil Chryslier “Indonesia I. Granat kedua dilemparkan lagi dan mengenai kerumunan orang. Korban pun berjatuhan. Granat ketiga dan keempat terus dilemparkan dengan focus pada mobil Presiden Soekarno. Kepanikan luar biasa terjadi. Teriakan dan tangisan bersahutan. Peristiwa itu menewaskan 11 orang dan ratusan mengalami luka. 

Bagaimana nasib Bung Karno ?. 

Ajun Inspektur Polisi Sudio, pengawal kepresidenan adalah orang yang pertama menarik Bung Karno untuk tiarap setelah ledakan granat pertama. Kemudian dengan sigap Mayor Sudarto dan pengawal lainnya merangkul Bung Karno ke sebuah paviliun. Bung Karno mengalami luka lecet dan lengan bajunya robek. Setelah ledakan ke empat, tidak ada lagi ledakan selanjutnya. Sementara suasana di sekolah itu sangat mencekam. Akhirnya Bung Karno, Guntur dan Megawati berhasil dievakuasi ke Istana.  

Pukul 02 dini hari Bung Karno menyampaikan pidato singkat di RRI dan menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia meningkatkan kewaspadaan nasional dan tetap bersatu dalam suka dan duka. Dalam pidatonya, Bung Karno memerintahkan kepada seluruh alat Negara untuk mengusut tuntas pelaku pengranatan atas dirinya. 

(Bersambung.........)