OPINI : (Joke) Cinta Bersemi di Musim Pandemi

Kategori Berita

.

OPINI : (Joke) Cinta Bersemi di Musim Pandemi

Koran lensa pos
Minggu, 24 Mei 2020
Catatan Malam Lailatul Qodar)
Oleh : Muhammad Ramadhani

Opini - Maaf!!! Kita Lagi “Love Down”: Pembatasan Sosial RW 01, demikian bunyi sebuah spanduk hendak memplesetkan istilah Lock Down. Love berarti Cinta, sementara Down dimaknai Turun atau Jatuh, sehingga secara serampangan diartikan Jatuh Cinta. Dan parahnya postingan meme tersebut dijawab pula: I Love You too.,lengkap dengan emoticon romantisnya.  Ada ada saja.
Pesan cinta di atas adalah salah pesan yang tiba tiba viral di awal-awal musim pandemic Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Pesan-pesan cinta yang dinyatakan dalam joke-joke (gurauan atau candaan) adalah salah satu “obat” mujarab yang bisa meningkatkan imunitas  seseorang di tengah kegalauan Covid-19.

Tersenyum bahagia di saat serbuan informasi yang sok pinter soal Covid. Kalau soal pengetahuan dan pencerahan Covid-19 semua orang tiba-tiba menjadi ahlinya ahli. Lebih dokter dari seorang dokter sekalipun. Dahlan Iskan dalam tulisannya menyindir, masih adakah lagi yang perlu diketahui tentang Covid-19? Rasanya semua sudah menjadi ahli Covid-19 semua.. Berlomba menjadi yang tercepat memposting pengetahuan tentang Covid-19. Jika kita mengikuti berita persebaran virus Covid-19 terutama di media sosial, kita akan menemukan informasi yang sangat beragam. Mulai dari informasi yang berisi manual perlindungan diri dari infeksi virus hingga beragam hoaks dan fakes news  yang disebar untuk menciptakan kepanikan publik.

Di antara deretan informasi ini, kita juga menemukan berbagai joke , baik berupa meme maupun racikan kata-kata. Misalnya, joke tentang meme yang menggambarkan dua orang tua yang sedang ngobrol di mana salah satunya mengatakan bahwa Covid-19 adalah grup band pecahan Dewa 19. Judul dan lirik lagu lagu Dewa-19 yang romantis, diplesetkan dalam kosa kata di musim pandemi ini.

Contoh saja,  Judul lagu Kirana dianggap bermutasi menjadi Virus Corona, Separuh Nafas di analogikan sebagai gejala “Sesak Napas”, Sedang Ingin bercinta diplesetkan menjadi “Sedang Jaga Jarak”, serta Bukan cinta biasa diidentikan dengan Bukan Virus Biasa, Arjuna Mencari Cinta diganti menjadi Arjuna Mencari masker. Rasanya, kreator humor tengah berlomba menciptakan materi stand up comedy dan bumbu –bumbu cinta agar imunitas tetap terjaga  .

Seorang Nenek, kini berusia 73 Tahun, yang sedang jatuh hati kepada sang cucu barunya,   Jauh-jauh hari sudah pesan ke anak dan cucunya, nanti kalau merayakan ulang tahunya cucunya. Tanggal 1 Mei kita kumpul. Doa dilanjutkan buka bersama di rumah. Si Nenek akan turun tangan masak sendiri.  Tentu penulis, anak sang nenek gembira, karena akan merasakan masakan sang Ibu. Singkat cerita, akhirnya acara ini batal. Ungkapan Cinta sang Nenek kepada sang cucu dan anak anak pun bubar karena musibah Corona.  Beliau patah hati. Ia pun berkata, “Seumur usia nenek ini, rasanya baru pertama kali hidup aneh seperti ini. “Ada apa sih?”  Kita diperintahkan silaturahim untuk memperpanjang umur, dan melapangkan rejeki.

Nah sekarang kita diminta dirumah aja. Dulu kita diajak meramaikan masjid, sekarang kita dilarang meramaikan masjid. Gak habis pikir. “Lucu, dunia sudah kebalik-balik,” kata sang Nenek dari 5 cucu ini. Untung rasa cinta kepada cucu terakhirnya yang menjadi obat hiburannya disaat anjuran #stayathome. Dirumah aja.
Kerjapun dianjurkan di rumah. Work From Home (WFH).

Kecintaan dan kesetiaan suami sebagai kepala keluarga tengah diuji. Apakah dia senang: betah dirumah  atau tidak: justru gelisah? Banyak suami yang kagok dengan siklus hidup yang berubah. Tanpa malu-malu, seorang istri memposting prilaku seks suaminya sejak WFH. Maaf: sekali buka laptop, 3 kali buka rok.

Selama ini selalu saja alasan jarang di rumah karena lembur. Sekarang dengan alasan Covid-19 lebih sering dirumah.  Atau jangan kaget,  sekarang sih kalo di uji swap , Corona nya pasti negatif, tapi gak lama kemudian, jika di test hamil,  akhirnya positif hamil. Lain suami, lain pula anak. Ibu mendadak jadi guru les. Gara-gara pandemi Covid-19, terlacak mana ibu yang mampu mendidik anaknya dengan penuh cinta dan sabar, mana yang tidak.

Rata rata, ternyata menjadi guru bagi anak sendiri adalah hal yang tidak mudah. Gampang gampang sulit. Selama ini dengan gampang kita menyerahkan sebagain waktu dan tanggungjawab mendidik anak kita kepada guru di sekolahnya. Lebih-lebih selama ini sang ibu adalah wanita karier. Baru menyadari dan terjawab atas sebuah pertanyaan:  kenapa anaknya lebih patuh dan nurut kepada guru disekolah daripada Ibunya di rumah?. Medsos menjadi sasaran curhat. Dirumah,  memang Ibu-ibu bebas Corona, tapi  tekanan darahnya mendadak naik. Akibat terbebani oleh tugas sekolah yang memberondong tidak henti-henti. Harus diselesaikan melalui online. Pakai upload pula. Sekali lagi,  Covid-19 memberi pelajaran, bahwa cinta guru kepada anak didiknya itu layak diberi penghargaaan yang tinggi. Karena Ibunya sendiripun belum tentu “mencintai” pekerjaan ibu untuk mendidik dan mendampingi anak untuk belajar.

Begitu juga pesan cinta sang suami yang jauh yang tidak bisa pulang karena tidak boleh pulang karena harus mengisolasi diri di site tempatnya bekerja. Ada yang lepas pantai pengeboran minyak, di tengah hutan lindung di lingkar tambang, atau di tempat terpencil lainnya. Dengan wajah yang tegar mengirim meme: Biar Abang yang Kerja di sini Sayang…., Kamu dirumah saja menunggu tranferan. Kalau kangen, Vidcall aja. So sweet banget. 

Dalam sebuah tulisannya,  kolomnis Ahmad Inung,  menulis banyak cara orang dalam menyikapi Pandemi Corona.  Pertama, Mungkin saja ada sebagian kelompok masyarakat yang sungguh-sungguh tidak menyadari situasi berbahaya dari wabah ini. Kedua, mereka sesungguhnya menyadari, tapi tidak peduli. Kepedulian biasanya baru akan muncul saat dirinya betul-betul merasa terancam. Misalnya, dia atau orang dekatnya menjadi korban keganasan virus yang muncul pertama kali di China tersebut.

Ketiga, Ada juga orang yang mengerti ancaman pandemi ini, tapi karena cara berpikirnya yang fatalistik membuatnya tidak peduli dengan bahaya kematian akibat virus ini. Cara pandang ini banyak ditemukan di kalangan orang beragama yang meyakini bahwa semua kejadian di dunia ini telah digariskan oleh Tuhan. Karena itu, hanya Tuhanlah yang bisa menghentikan pageblug ini. Sekeras apapun kita berusaha, jika Tuhan menakdirkan kita terkena virus dan mati, maka kita akan tetap sakit dan mati. Oleh karena itu, yang harus dilakukan adalah beribadah dengan giat dan berpasrah kepada Tuhan.

Ketiga jenis orang di atas cenderung menjadikan isu Corona sebagai bahan lelucon, baik lelucon berkarakter sekuler maupun religius. Lelucon sekuler seperti yang saya contohkan di awal tulisan ini. Sedang lelucon religius bisanya muncul dalam omongan seperti ini: “Takut kok sama Corona, takut itu ya sama pembuat Corona dong. Takut saja kok salah alamat.”
Tapi, lelucon-lelucon tentang wabah Corona itu tidak selalu lahir dari ketidaktahuan atau kecuekan atau sikap fatalistik dalam beragama. Lelucon itu bisa jadi muncul dari rasa sumpek terhadap situasi, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Joke bisa lahir karena rasa kasmaran, lagi jatuh cinta.

Sepasang kekasih, di musim pandemi Corona ini pernah curhat kepada penulis. Dalam sebuah suasana kasmaran, pikiran dan energinya terfokus pada pasangannya. 24 Jam. Selalu ingin bersama. Sementara protocol Covid-19 membatasi. Physical distancing. Jaga jarak.  Sehingga “kencan” akhirnya memaksimalkan peran media social. Meski jarak di batasi tapi silaturahmi cinta tetap terjalin. Emoticon ekspresi cinta bertebaran. Kecemasan akan pandemi  nyaris dilupakan. Psikoanalis dari Amerika, Roberta Satow, menyatakan bahwa setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam menangani kecemasan dan rasa sakit.  Joke, apalagi joke itu soal cinta adalah salah satu mekanisme pertahanan diri dari perasaan cemas dan sakit itu. Joke dapat melindungi seseorang dari kecemasan menghadapi kegagalan dan perasaan tak berdaya. Orang yang bersembunyi di balik humor bisa jadi adalah sedang berjuang untuk menjaga perasaan gelisahnya.

Semua orang merasa kebahagiaan dan ketenangan hidupnya tiba-tiba terrenggut dari dirinya. Tidak ada orang yang bisa lolos, bahkan para pejabat tinggi negara. Ketika semua berita menyajikan ganasnya wabah ini, apalagi tidak jarang dibumbui dengan informasi-informasi yang berlebihan, kepanikan menyapu nyaris semua kalangan. Dalam situasi seperti ini, joke adalah sebuah mekanisme pertahanan diri. Dengan joke orang ingin mempertahankan situasi ketenangan dan kebahagiaan yang mereka rasakan.

Joke menjaga agar kebahagiaan itu tidak pergi darinya. Ketika kebahagiaan menjadi mimpi semua orang, baik kaum ateis maupun teis, joke sesungguhnya adalah ungkapan tak langsung dari mimpi kebahagiaan yang terlelap di bawah sadar semua orang. Inilah yang dikatakan Bapak Psikoanalisis, Sigmud Freud, di awal abad ke-20, bahwa kegemaran kita terhadap joke sesungguhnya bertalian dengan apa yang terpendam dalam alam ketaksadaran kita.
Dengan joke cinta, apalagi kita berharap tetap bisa bahagia di tengah kepedihan hidup dan kecemasan akan virus corona. Dalam pengertian ini, baik cinta yang diungkap dalam joke, doa maupun sebuah masker, memiliki fungsi yang sama, yaitu upaya untuk mempertahankan bahagia. Semua orang ingin selamat dan bahagia. Yang membedakan adalah cara meraihnya, dan tentu saja juga hasilnya.

Covid dan  Ramadhan:  Indahnya Berbagi Cinta
Masih ingat betapa hebohnya diumumkannya penderita Covid-19 pertama di Negara ini atau di kota anda masing masing? Seperti besok mau perang. Sekarang angka terakhir penderita positif Covid-19 per Rabu, 20 Mei 2020, sudah menembus angka 4,979.938, atau nyaris mendekati  5 juta jiwa di 213 negara.  Dengan jumlah kematian 324.417  dan sembuh 1,957.607 pasien. Lalu bagimana dengan angka terkini Indonesia? Atau Kota Mataram? Sudah dipastikan angkanya sudah jauh melesat. Lalu coba bandingkan tingkat kepanikannya. Istilah Dahlan Iskan, Tidak ada yang kaget. Ya kan? Padahal Indonesia sudah melewati angka 10.000. Perasaan umum seperti biasa-biasa saja. Angka 10.000 itu seperti kalah wibawa dengan angka 1 --ketika pertama dulu ditemukan penderita Covid-19 di Indonesia.

Begitu juga di Kota Mataram ini. Kini orang mulai bosan di rumah. Apalagi pandemic Covid-19 ini bersamaan dengan rangkaan ibadah umat islam: Bulan Suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Salah satu ciri bulan Ramadhan sebagai bulan suci adalah aura kasih sayang, cinta kasih  dan berbagi yang demikian kuat. Ada tradisi buka bareng, tradisi berbagi takjil gratis, berbagi rejeki: zakat fitrah, parcel lebaran hingga berbagi holl ala bocah bocah kecil.
Tidak ada lagi agenda taraweh keliling dari masjid ke masjid. Undangan buka bersama sepi. Tidak ada perayaan Malam Nuzulul Quran, Masjid masjid  kesepian di malam lailatul qodar. Tetapi justru di musim pandemi ini, cinta tetap bersemi. Rasa berbagi tetap terpelihara.  Berbagi  takjil gratis berganti menjadi berbagi masker gratis. Parcel lebaran diganti dengan paket sembako gratis. Bahkan penulis merasakan betapa rasa cinta tidak bisa terhalang oleh virus corona. Saling bertukar menu buka puasa. Indah sekali.

Ada pertanyaan usil dalam sebuah WA grup: Apa persamaan PCBL dengan artis BCL (Bunga Citra Lestari}? Sama sama galau karena gak tahu kemana hati akan ditambatkan? Chat ini secara jelas menyindir implementasi konsep PCBL (Pencegahan Corona Berbasis Lingkungan) yang diputuskan oleh Pemerintah Daerah dalam menangani pencegahan Covid-19. Sang Kepala Daerah dalam sebuah rapat malam,  merasa seolah olah upaya yang dilakukan selama ini sia sia ketika suatu hari angka positif Covidnya tiba-tiba melonjak tinggi.

Menanti Lailatul Qodar, Cinta Damai Bersama Covid
Dalam Bulan Ramadhan, di 10 malam terakhir di gelar sayembara. Bahwa salah satu malam di 10 hari tersebut diyakini malam yang lebih baik dari 1000 bulan, atau setara dengan 83 tahun. Padahal umur manusia atau angka harapan hidup ornag Indonesia saja rata rata adalah 78 tahun. Sehingga ini kesempatan yang sangat baik. Sementara di sisi lain, di masa pandemi ini, tradisi belanja baju lebaran serta tradisi lain: membuat kue-kue, ketupat, dan lain-lain dibatasi karena toko-toko dan mall dittutup agar mengahindari kerumunan baru. Namun apa dikata, larangan tinggal larangan. Baju lebaran untuk sang anak, tidak boleh tidak harus dibelikan. 

Dalam sebuah kekhusukan mengejar lailatul qodar di sebuah masjid kecil, sang pemuda yang lagi kasmaran menunjukan doa-doa cinta kepada sang kekasihnya yang kirim secara berurut dari malam 1 hingga 29 Ramadhan. Kadang singkat, kadang panjang. Lengkap dengan jam doa dipanjatkan. Semakin tengah malam, pilihan kata-kata doanya membuai perasaanya.Syahdu. Ia makin yakin cintanya Tuhan begitu dekat dengannya. Di sepertiga malam yang akhir, disaat Tuhan turun ke langit ketujuh, Doa doa cintanya diyakini di dengarkan dan dikabulkan  oleh Tuhan untuk kekasihnya.

Bayangkan cinta 83 tahun bersemi. Sampai ia lupa berdoa semoga Covid-19  cepat berlalu. Karena baginya rasa suka citanya terhadap perasaan cintanya jauh lebih dahsyat daripada ancaman sang Corona. Corona terbunuh oleh tajamnya rasa kasih sayangnya yang tidak putus-putus. Energinya terus mengalir deras dan bahkan meletup-letup.  Katanya Covid-19 tidak akan berakhir. Cara yang paling tepat adalah memulai gaya hidup baru dengan berdamai bersama Covid-19. Berdamai bukanlah berarti menyerah, tetapi beradaptasi sembari menunggu Vaksin Covid ini ditemukan.

Sehari lagi, 10 malam akhir Ramadhan akan berakhir. Takbiran dan lebaran pun akan tiba. Meski masih tetap dirumah saja. Mudik pun dilarang. Dalam Sebuah statunya IG Narasi-nya  Nazwa Shihab menulis: Tak Pulang Bukan Berarti Tak Sayang. Selamat Hari Raya Idul Fitri, Raih Kemenangan karena menambung pahala 83 Tahun, dalam suasana penuh Cinta untuk damai bersama Covid-19.   Amiiin…

*Penulis, adalah Jamaah Masjid Fatahillah, Pagutan*.  (*)