CORONA, KETAHANAN KELUARGA DAN KEMAMPUAN RESILIENSI

Kategori Berita

.

CORONA, KETAHANAN KELUARGA DAN KEMAMPUAN RESILIENSI

Koran lensa pos
Senin, 11 Mei 2020
Oleh : Ihlas Hasan*
Dr. Ihlas Hasan, M. Pd

Kalender tahun 2019 ditutup dengan lonceng yang mendandai kepanikan penghuni bumi akibat diterjang  wabah Covid-19. Sebuah virus yang berangkat dari Wuhan, lalu mentransmisi dengan ekstra kilat ke sebagian besar negara di penjuru dunia.

Per 10 Mei 2020,  makhluk tak kasat mata itu telah 'sukses' menjangkiti  jutaan tubuh manusia, dan membunuh lebih dari 280.431 nyawa. Pandemi Covid-19 tidak hanya merenggut nyawa manusia, melumpuhkan ekonomi masyarakat, menghentikan transportasi publik, namun juga mengancam ketahanan institusi keluarga.
Selama masa pandemi, berbagai kasus muncul dalam institusi keluarga seperti: kesulitan orangtua mendampingi anak belajar, kelaparan, hingga terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan beberapa kasus lain.

Sekretaris Jenderal PBB menengarai adanya lonjakan yang besar pada kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sejak masyarakat dirumahkan selama pandemi. Beberapa contoh negara yang mengalami peningkatan signifikan pada kasus KDRT ialah Australia, Italia, dan Amerika Serikat (Tribun,5/5/20). Hal tersebut terjadi karena ketidaksiapan kita atau lemahnya kemampuan institusi keluarga dalam mengelola emosi dan kondisi psikis selama masa stay at home atau work from home (WFH). Seperti adanya situasi denial atau penolakan terhadap krisis yang datang secara tiba-tiba. Yakni sulitnya menerima situasi terkurung di rumah yang tanpa direncanakan dan diinginkan sebelumnya. Sehingga anggota keluarga atau orang di sekitar menjadi obyek palampiasan emosi negatif.

Persoalan menjadi runyam dan terasa berat karena kita berada dalam tekanan keadaan yang tidak menyenangkan: hilangnya kebebasan, tidak ada variasi kegiatan, hilangnya ruang sosial yang nyata merupakan bentuk-bentuk tekanan saat ini. Kondisi ini berpotensi mengguncang psikologi anggota keluarga jika tidak dikelola dengan sehat.

Untuk itu, dalam melakoni masa-masa sulit di tengah menjalani “hukuman penjara” dari Covid-19, ada baiknya kita membaca kembali nasehat bernas dari Karen Reivich & Andrew Shatte, tentang bagaimana tips menghadapi situasi genting, seperti yang sedang, mati-matian kita hadapi saat ini. Karen Reivich & Andrew Shatte (2002), dalam bukunya “The Resilience Factor; 7 Essential Skill For Overcoming Life’s Inevitable Obstacle”, menguraikan bahwa salah satu kunci dalam menghadapi situasi darurat adalah menumbuhkan kemampuan resiliensi.

Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sesulit apapun. Seseorang yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah.
Reivich & Andrew Shatte menjelasakan, resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda. Kemampuan tersebut antara lain:

Pertama, regulasi emosi. Dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress.

Kedua, pengendalian impuls. Kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu seperti itu sering kali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan sosial.

Ketiga, optimisme. Memiliki harapan pada masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih produktif dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga. Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang muncul pada masa yang akan datang

Keempat, empati.  Merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain. Individu yang berempati mampu mendengarkan dan memahami orang lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari lingkungan. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif

Kelima, analisis penyebab masalah. Konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.

Keenam, efikasi diri.  Keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil.

Ketujuh, peningkatan aspek positif. Kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi.

Dalam hidup ini, jika emosi positif dan negatif dapat dikelola dengan apik, maka kita akan diliputi perasaan positif: bahagia, gembira, suka, semangat, dan lain sebagainya. Sebaliknya, manusia bisa merasa sedih, benci, kecewa, dan marah bahkan merusak ketahanan institusi keluarga jika emosi tidak terkontrol dengan baik, lebih-lebih dimasa pandemi saat ini. Maka, sekali lagi, coba amalkan 7 kiat-kiat dari mas Reivich dan Andrew Shatte, yang telah diuraikan di atas.

Demikian saya sampaikan, semoga kita tetap kuat bertahan hingga wabah ini benar-benar hengkang dan bumi dapat kembali pulih dan sehat walafiat seperti sediakala. Aamiin. (*Penulis adalah Akademisi di Institut Agama Islam Muhammadiyah Bima).