Bung Karno dan Pak Harto, Kawan Sekaligus Lawan

Kategori Berita

.

Bung Karno dan Pak Harto, Kawan Sekaligus Lawan

Koran lensa pos
Kamis, 09 April 2020
Oleh : Andi Fardian*

Bung Karno dan Pak Harto


Pada tahun 1963, Bung Karno menggelorakan Dwikora untuk mengganyang Malaysia. Saat itu, Bung Karno memilih Oemar Dhani sebagai panglima. Anda tahu bahwa Oemar Dhani adalah mantan Menteri/Panglima Angkatan Udara—yang oleh Orde Baru dimasukan ke penjara karena dituduh berafiliasi dengan PKI.  Keputusan Bung Karno memilih Oemar Dhani, sepertinya membuat Pak Harto kecewa, mengapa, kok, yang dipilih justru dari Angkatan Udara, sedangkan dari Angkatan Darat masih ada sumber daya yang berkompeten. Pak Harto menghadap Bung Karno dan mengutarakan niatnya untuk mengundurkan diri (Baca: Mikhul Dhuwur Mendem Jero, karya Handri Raharji dan Irawan Jati).

Merespon pengunduran diri itu, Bung Karno menjawab, “Nek pensiun, trus kowe arep dadi apa?” (Kalau pensiun, terus kamu mau jadi apa). Pak Harto menjawab, “Menawi kepareng, dados Gubernur Irian Jaya” (Kalau diizinkan, jadi Gubernur Irian Jaya). Tanpa diduga, Bung Karno menolak dengan menjawab, “Ora…kowe dudu gubernur…terus tirakat…kowe sak nduwure gubernur” (Tidak…kamu bukan gubernur…teruslah tirakat, kamu di atasnya gubernur). Oleh sebagian orang, jawaban Bung Karno tersebut diartikan sebagai isyarat bahwa memang Bung Karno menginginkan Pak Harto sebagai suksesor atau penggantinya. Sederhananya, kalimat tersebut diterjemahkan sebagai isyarat Bung Karno yang menginginkan Pak Harto sebagai presiden selanjutnya (Baca: Mikhul Dhuwur Mendem Jero, karya Handri Raharji dan Irawan Jati).

 Persepsi itu sah-sah saja. Tapi saya berpendapat bahwa apa yang dikatakan oleh Bung Karno tersebut “hanya” untuk menenangkan hati Pak Harto yang sedang kecewa karena keterpilihan Oemar Dhani. Jangan lupakan bahwa Bung Karno adalah juga politisi, yang kemampuan berdiplomasinya dapat ia gunakan sewaktu-waktu untuk mengambil hati lawan bicaranya. Sedangkan Pak Harto adalah tentara yang saat itu masih “hijau” dengan praksis politik yang melibatkan banyak kepentingan.

Terkait Bung Karno dalam memilih suksesornya, sebenarnya Bung Karno tidak pernah secara spesifik menyebut satu nama. Ada desas-desus yang mengatakan bahwa Bung Karno memilih Pak Yani, tapi itu tidak pernah secara implisit.  Bung Karno sebenarnya masih dalam proses pencarian. Lebih spesifik lagi, Bung Karno mengganggap belum ada yang benar-benar dewasa menggantikannya. Hal tersebut seperti terkutip dalam wawancaranya dengan Cindy Adams untuk keperluan penyusunan biografi Bung Karno. “Bagaimana pendapat Anda tentang suksesor? Adakah yang dipikiran Anda?” Tanya Cindy Adams. Bung Karno mencoba menjawab diplomatis, “Tidak. Suksesor tidak pernah ditunjuk. Dia tumbuh bersama bangsa itu”. Sepertinya Cindy Adams kurang puas dengan jawaban Bung Karno. Cindy Adams kemudian mengejar, “Saya tahu itu, tapi adakah yang terlintas di pikiran Anda, siapa yang kira-kita akan menjadi suksesor.” Bung Karno sepertinya terjepit, tapi tidak kehilangan akal, “Tentu saja ada. Siapa saja bisa menjadi suksesor, tapi untuk saat ini, belum ada yang cukup dewasa dan siap untuk menjadi suksesor.”

Tetapi kalau memang Bung Karno dalam hati dan pikirannya atau secara diam-diam mempersiapkan Pak Harto sebagai suksesornya, boleh jadi Bung Karno telah memusatkan perhatian yang lebih kepada Pak Harto sejak lama. Boleh jadi beberapa kebijakan Bung Karno, yang termasuk tidak memilih Pak Harto sebagai panglima dalam mengganyang Malaysia adalah langkah terbaik Bung Karno untuk mengeklusifkan Pak Harto. Tapi Pak Harto tidak mampu membaca itu dengan baik.

Dalam perjalanannya, ada banyak keputusan Bung Karno yang tidak dipatuhi oleh Pak Harto. Oleh karena itu, saya mengira-ngira Bung Karno mulai “kehilangan” harapan dalam mempersiapkan Pak Harto. Pak Harto itu koppig, keras kepala, dan mungkin bagi Bung Karno sulit diatur.

Sebagai sasama orang Jawa tentu Bung Karno memahami bagaimana “membesarkan” Pak Harto. Tapi tipologi dan perbedaan sifat individu yang membuatnya berada pada posisi berlawanan. Bung Karno adalah orangtua bagi Pak Harto. Sedangkan Pak Harto adalah anak yang agak bandel. Tidak semua perintah orangtua (Baca: Bung Karno) dipatuhinya. Tetapi bukan berarti Pak Harto tidak menghormati Bung Karno. Saya tidak memiliki keraguan bahwa Pak Harto sangat menghormati Bung Karno. Cuman, tidak semua cara Pak Harto menghormati Bung Karno dipahami oleh semua orang. Pak Harto itu sangat menjaga nama baik Bung Karno.

Ki Utomo Darmadi, adik kandung pahlawan PETA Suprijadi, seperti dikutip oleh Handri Raharji dan Irawan Jati dalam buku Mikhul Dhuwur Mendem Jero, karya Handri Raharji dan Irawan Jati, pernah mengatakan: “Orang boleh saja menghujat habis-habisan Pak Harto. Tetapi, Pak Harto adalah penyelamat Bung Karno. Kalau saja waktu itu pengganti Bung Karno bukan Pak Harto, bisa jadi Bung Karno ‘dieret-eret’  di jalanan. Kalau saja pengganti Bung Karno bukan Pak Harto, belum tentu nasib anak-anaknya seperti sekarang”

Kita tahu bahwa di sekitar peristiwa Gestapu, Bung Karno dituduh PKI oleh  beberapa kalangan. Bung Karno juga kukuh tidak mau membubarkan PKI. PKI dianggap sebagai penyeimbang Angkatan Darat. Pada bulan Januari 1966, massa Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) berkumpul. Mereka meneriakkan, “Bubarkan PKI, Retool Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga”. Pada saat itu, perekonomian Indonesia hampir ambruk. Harga-harga melambung. Inflasi meroket. Beras dan kebutuhan pokok lain hilang dari pasaran. Bung Karno tetap kukuh dan justru membubarkan KAMI.

Saya kira langkah Pak Harto menyelamatkan Bung Harto itu sangat tepat; mengambil kekuasaan dari Bung Karno dengan Supersemar, kemudian menyelamatkan perekonomian Indonesia, dan terlebih kepada Bung Karno dan keluarganya. Setidaknya Bung Karno dan keluarga sehat walafiat. Bahkan tuntutan untuk memeriksa Bung Karno apakah terlibat dalam PKI atau tidak, tidak dilanjutkan. Pak Harto cukup legawa dan menerapkan falsafah budaya Jawa Mikhul Dhuwur Mendem Jero, yang mana kebaikan pemimpin diangkat setinggi langit, dan keburukannya dikubur sedalam-dalamnya. Selama kepemimpinannya, Pak Harto tidak pernah menjelek-jelekkan Bung Karno. Eh, jangan lupakan juga bagaimana Pak Harto menghormati Bung Karno dan juga Bung Hatta dengan cara memberi gelar Pahlawan Proklamator dan menamai bandara Cengkareng dengan nama Bandar Udara Soekarno-Hatta.

Kita pun harus obyektif bahwa setiap pemimpin kita, di samping kelebihannya, juga ada kekurangannya. Bung Karno pun begitu. Jangan karena fanatik mengidolakan Bung Karno, lantas menutup mata terhadap kekurangannya. Begitu pun dengan Pak Harto.

Saya kira hubungan Bung Karno dan Pak Harto sangatlah dinamis, yaitu hubungan orangtua dengan anak dan hubungan lawan dengan kawan. Sebagai orangtua, Bung Karno memperhatikan Pak Harto, dan sebagai anak, Pak Harto menghormati orangtuanya. Sebagai kawan, Bung Karno merangkul Pak Harto untuk menjadi bagian dari pejabat pemerintahan yang dipimpinnya, tetapi sebagai lawan, Bung Karno juga mengkritik keras sikap Pak Harto yang kadang dinilai lancang dan melenceng.

Namun di atas semua itu, kedua sosok ini telah mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Keduanya adalah negarawan.  Persoalan konflik keduanya biarkan keduanya selesaikan di pengadilan akhirat yang maha adil. (*Penulis adalah Mahasiswa S2 Social Development and Welfare, Minat Khusus Corporate Social Responsibility (CSR)).