Buku ke 16 Andi Fardian "Untuk Nggahi Rawi Pahu-ku" Akan Segera Terbit

Kategori Berita

.

Buku ke 16 Andi Fardian "Untuk Nggahi Rawi Pahu-ku" Akan Segera Terbit

Koran lensa pos
Selasa, 14 Januari 2020

Buku ke 16 Andi Fardian "Untuk Nggahi Rawi Pahu-ku" 

Buku "Untuk Nggahi Rawi Pahu-ku" akan segera terbit. Buku tersebut adalah buku ke-16 karya Andi Fardian Yakub, penulis muda dari Desa Ranggo Kecamatan Pajo Kabupaten Dompu NTB.

Buku Untuk “Nggahi Rawi Pahu”-Ku (Edisi Kawara Rasa ro Dana) 
adalah kumpulan tulisan penulis yang berkaitan dengan Dompu, baik itu dalam bentuk refleksi, kritik, masukan, dan berbagai pandangan 
penulis tentang Dompu dengan segala persoalan, dinamika, dan 
kekhasannya sebagai daerah yang otonom sekaligus sebagai tanah 
kehidupan penulis dan seluruh keluarganya.
Ada beberapa kritik dan 
saran terkait beberapa persoalan di Dompu dalam buku ini. Bagi Penulis, terbuka dan dorongan untuk memberi masukan dan kritikan adalah bentuk perhatian kepada dana ro rasa. 
Sebagai seorang perantau yang baik, badan boleh membelakangi tanah kelahiran, tapi jiwa dan raga akan selalu menyatu dengan Dompu. Dompu adalah tempat Penulis dibesarkan, bermain, berorganisasi, dan 
mendapatkan pengalaman di awal hidup. Dan pengalaman-pengalaman itu Penulis gunakan untuk merangkai dan menghadapi dinamika-dinamika 
kehidupan pada masa selanjutnya, termasuk ketika harus hidup di tanah rantauan.
Desa Ranggo Kecamatan Pajo Kabupaten Dompu adalah desa di mana penulis dan 
keluarganya mencari makan dan hidup. Badan seorang Andi Fardian, boleh saja berada di tempat yang jauh dari Ranggo, tapi jiwa dan raga Andi Fardian akan selalu ada di Ranggo. The soul belongs to Ranggo and Dompu
Sentu Ranggo” akan selalu melekat di lidahnya. Raga boleh berada di Pulau Jawa, tapi lidah dan citarasa Ranggo tetaplah “sentu Ranggo”. 
Pantang bagi seorang Andi Fardian untuk menjadi diri orang lain dan 
berusaha keras untuk mengubah aksen bicara dan dialek. Kerena dalam lidah “sentu Ranggo” ini melekat kearifan hidup, kebijaksanaan lokal, dan 
kebanggaan sebagai orang Ranggo, sebuah desa kering di Dompu itu. Dari 
Ranggo pula penulis tahu betapa enak krenyes-krenyesnya Karanga
(serangga sawah) itu. Pantang juga bagi penulis untuk malu menyebut diri sebagai orang Ranggo, meskipun dahulu ketika bersekolah di SMAN Negeri 1 Dompu, sebagian teman dan juga guru menertawakan “sentu Ranggo”-
nya penulis. Tapi penulis tidak pernah malu sedikitpun. Tertawaan itu penulis jadikan sebagai semangat untuk berprestasi. Ini hanya sekadar 
bernostalgia dengan kenangan. 
Pada awalnya, semboyan “Nggahi Rawi Pahu” tidak penulis pedulikan 
sewaktu kecil. Tapi seiring bertambahnya usia dan kedewasaan, semboyan 
tersebut jika dicerna dengan saksama memiliki nilai filosofis yang sakral. 

"Orang Dompu yang ideal adalah yang menerapkan semboyan “Nggahi Rawi Pahu” dengan kaffah. Kalau ia sudah ber-nggahi, pantang baginya tidak 
mengerjakan (ber-rawi) sampai ia mampu menghasilkan sesuatu yang nyata (ada pahu-nya). Belum tepat (baca: pantas) disebut sebagai orang Dompu, 
kalau ia hanya pandai berbicara, tapi langkah nyata dan wujud karyanya tidak ada," ujarnya. 
Ia mengatakan kalau semua orang yang ada di Dompu mewujudnyatakan semboyan “Nggahi Rawi Pahu”, maka Dompu akan menjadi daerah yang 
maju (Lihat Yakub, dalam “Lembo Ade). 
"Itu tesis penulis. Anda boleh 
membantah atau menyetujuinya. 
Agar disebut sebagai orang Dompu (yang baik), penulis menjadikan
semboyan “Nggahi Rawi Pahu” sebagai jimat penulis setelah Allah," ungkapnya. 
Penulis selalu berusaha menerapkan semaksimal mungkin makna semboyan itu. 
Kalau tidak berlebihan, bolehlah mengatakan bahwa pegangan hidup penulis ada tiga, yaitu Al-Qur’an, Hadist, dan “Nggahi Rawi Pahu”. Penulis
selalu berusah apa yang penulis rencanakan harus diwujudkan dalam karya nyata.
Terakhir. Penulis ingin mengatakan bahwa berkaryalah untuk Dompu 
dengan profesi apapun yang Anda emban. Biar Dompu makin besar dan maju. Semoga buku Untuk “Nggahi Rawi Pahu”-Ku ini bermanfaat bagi 
pembaca. Penulis juga ingin menyampaikan bahwa cita-cita masa kecil 
penulis untuk berkontribusi melalui buku yang penulis tulis, setidaknya 
sudah tercapai. Kredit positif penulis kepada pihak penerbit yang telah 
menaruh foto Pulau Satonda pada sampul buku. Ini makin membuat 
penulis samada untuk pulang. “Wahai anak manusia, merantaulah agar engkau tahu jalan pulang dan perasaan rindu untuk kembali. Ingatlah! 
Cinta akan membawamu kembali.” Terimakasih. O iya, sebagai info, buku ini juga ditulis sebagai solusi untuk mengatasi keringnya sumber bacaan tentang Dompu. Penulis prihatin dengan miskinnya sumber bacaan tentang Dompu. 
Sebagai info tambahan, saat ini penulis juga sedang mempersiapkan penerbitan buku yang berjudul “Menulis Itu Candu” yang akan terbit di 
awal tahun 2020 ini. Penulis berharap munculnya penulis-penulis baru dan 
enerjik yang itu adalah putra-putri Daerah Dompu. 
Besar harapan penulis semoga Pemkab Dompu dapat mewujudkan buku ini sebagai kado Ultah Dompu ke 205 pada 11 April 2020 mendatang. (AMIN).