OPINI : NTB Rentan Kerusakan Ekologis dan Pentingnya Pemerintah "Radikal" Rehabilitasi Hutan

Kategori Berita

.

OPINI : NTB Rentan Kerusakan Ekologis dan Pentingnya Pemerintah "Radikal" Rehabilitasi Hutan

Koran lensa pos
Jumat, 15 November 2019
Oleh: Satria Madisa
Opini  :  Kondisi Hutan di Bumi Gora memprihatinkan dan sangat mengkhawatirkan. Setiap tahun jumlah keperawanananya berkurang drastis. Seiring peningkatan 'penjamahan' manusia yang berlangsung massif juga 'radikal.' Tanpa henti. Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB menyebutkan keseluruhan luas areal hutan di NTB mencapai 1.071.722 juta hektare. Dengan komposisi Hutan Lindung 449,141 hektare (41,91) persen, hutan produksi 1.071,722 hektare dan hutan konservasi 173,636 hektare (16,20) persen. Dari keseluruhan hutan tersebut,  pada tahun 2016, luas lahan kritis mencapai 590 ribu hektare lebih atau 52 persen.
Ilustrasi
Angka luas lahan kritis selalu bertambah tiap tahun. Tahun 2017, 2018, dan 2019 luas lahan kritis meningkat drastis. Tahun 2018 jumlah hutan perawan tersisa 30 persen. 2019 terjadi peningkatan penjamahan hutan lagi. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB sebagaimana diberitakan suara ntb (publikasi  5 april 2019) mencatat jumlah hutan yang mengalami kerusakan tahun 2019 mencapai 280.941 hektare dan kawasan terbuka seluas 139.991 hektare dengan rincian 75 persen yang rusak berada di Pulau Sumbawa, 25 persen di  Pulau Lombok. Luas lahan yang paling kritis itu di Kabupaten Sumbawa (31 persen) disusul Kabupaten Bima (25 persen) di ikuti Dompu (17 persen). Komposisi kerusakan hutan yang rusak ekstrem di Pulau Sumbawa senada dengan jumlah daratan yang memang lebih luas dari Pulau Lombok.

Tersisa sedikit hutan NTB yang tak lagi perawan baik itu Hutan Lindung, Hutan konservasi dan Hutan Produksi) telah memberikan berbagai dampak 'faktual' yang beberapa waktu dirasakan masyarakat NTB. Banjir, tanah longsor, kekeringan, hingga cuaca panas yang cukup ekstrem hari-hari ini. Pada tahun 2017 Dinas LHK juga memberikan semacam warning, untuk rehabilitasi hutan memerlukan anggaran 2,95 triliun. Bagaimana dengan penambahan jumlah kerusakan hutan hingga 2019, berapa banyak anggaran yang perlu digelontorkan, berapa ratus tahun waktu yang diperlukan? "Beratus-ratus tahun." Sudahkan Pemerintah Provinsi dan Pemda Kab/Kota bersinergi? baik konsep juga anggaran untuk rehabilitasi hutan kita itu?

Menanam Bersama Artinya Memanen Bersama!

Setiap tahun Hutan di Indonesia hilang sebanyak 684.000 hektare akibat pembalakan liar, kebakaran hutan juga alih fungsi lahan. Data yang dirilis Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) berdasarkan data dari Global Forest Resources Assessment (FRA) menempati peringkat kedua dunia, yang kehilangan hutan setelah Brazil.

Tahun 2019 terjadi banyak sekali Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutlah) yang cukup luas di Seluruh Indonesia. Terbaru Hutan Kalimantan juga Sumatera diduga kuat sengaja dibakar untuk memberi jalan kepada investasi dan oligarki. Hasilnya terjadi bencana kabut asap beberapa waktu menghias langit Kalimantan dan Sumatera juga Provinsi disekitarnya. Tahun yang sama Karhutlah di NTB cukup tinggi. Informasi yang penulis himpun di berbagai media, hutan konservasi Gunung Rinjani Lombok Timur terbakar seluas (6.055 hektare). Begitu juga dengan Karhutlah di Bima dan Dompu. “Rata-rata karena kelalaian dan kesengajaan masyarakat. Itu sinopsis sebut saja dari Humas Polres Bima, saat melaporkan Karhutlah di berbagai Kecamatan di Kabupaten.”

Kerusakan Hutan di NTB tidak hanya disumbangkan pembalakan liar yang dilakukan oleh masyarakat untuk bertani jagung. Illegal logging, dan Karhutlah turut menyuplai dampak-dampak. Hal ini perlu penulis sampaikan agar pro dan kontra (sebab dan musabab) tidak hanya dinisbatkan pada petani semata. Pemerintah Daerah juga tak perlu cuci tangan. Senada dengan data Dinas LHK Provinsi NTB, sebagaimana penulis kutip di saya kutip Suara NTB (publikasi 7 November 2019) yang menyebutkan illegal logging dan pembalakan liar untuk pembukaan lahan baru membuat hutan NTB semakin kritis.

Kerusakan hutan sudah parah. Sudah sangat mengkhawatirkan. Dampak paling dekat sudah kita rasakan bersama. Kita menanti dampak jangka panjang. Berskala besar. Berpotensi membunuh. Bahkan melenyapkan masyarakat NTB lebih khususunya di Pulau Sumbawa. Bencana itu iyalah kehancuran peradaban. Meskipun banjir barang tentu terjadi lagi. Longsor lagi. Kekeringan air bersih lagi, dan cuaca yang sesak ini.

Jared Diamond, Profesor Geografi dan Ilmu Kesehatan Lingkungan dari University California Amerika serikat dalam Bukunya “Collaps” menuturkan lima faktor yang mempengaruhi runtuhnya sebuah peradaban manusia yakni; Kerusakan ekologis (lingkungan), perubahan iklim, pengaruh peradaban musuh, pengaruh peradaban sahabat dan tanggapan masyarakat terhadap lingkungan. Jared Diamond juga menyajikan contoh peradaban manusia masa lalu yang beradab, modern, tinggi hancur karena faktor tersebut. Baik karena satu juga kombinasi dari lima faktor diatas. Faktor kerusakan lingkungan (eksploitsasi manusia) sengaja atau tidak sengaja secara eksplisit dijabarkan sebagai pintu masuk keruntuhan yang menyebabkan hadirnya faktor-faktor yang lainnya, hingga tanggapan masyarakat terhadap lingkungan.

Penulis ingin mengilustrasikan kerisauan Jared Daimond dengan narasi yang sederhana. Tentu berdasarkan hasil bacaan buku tersebut. Kerusakan lingkungan salah satu yang meruntuhkan masyarakat Pulau Paska, Pitcairn, Henderson, Mangareva dan Pulau Maya. “Hutan dibabat latah artinya burung-burung kehilangan sumber makanan, juga kehilangan sumber rumah. Begitu juga ternak-ternak, kehilangan rerumputan. Terjadilah kelangkaan sumber makananan, ditambah krisis air, perubahan iklim. Perebutan Sumber Daya Alam (SDA) yang sedikit oleh banyak manusia karena (pertambahan penduduk). Hasilnya tak seimbang. Tentu saja. Setelahnya terjadilah pertumpahan darah dan peperangan manusia untuk mempertahankan hidup sekaligus mencari lingkungan baru. Pada titik yang tersulit, kerusakan ekologis itu yang membuat manusia menjadi kanibal, lalu runtuh. Hilang dari peradaban, Sejarah mencatat Bangsa Pulau Paska yang beradab itu kehilangan peradaban. Begitu juga Masyarakat Viking yang terkenal pemberani, mati sia-sia (sedikit yang bertahan) karena keruntuhan lingkungan.

Jared Diamond juga melukiskan dengan cermat bagaimana kesenjangan manusia dengan lingkungan tercipta. Manusia memang mudah mengesploitasi hutan, tak perlu waktu lama, tapi untuk memperbaiki perlu ratusan bahkan ribuan tahun.  Mencermati proses keruntuhan peradaban manusia Pulau Pasca dan masyarakat lainnya dalam Collapse itu, Adakah Jaminan Sebut Saja Dua Suku di Pulau Sumbawa itu tidak menjadi Kanibalis lalu Collapse (runtuh)?

N. Marewo dalam Novelnya “Nggusu Waru Yang Tersisa” menurut penulis juga  menjelaskan faktor lain yang mempengaruhi meletusnya Gunung Tambora 1815.  Dia semacam menjelaskan bahwa bukanlah faktor langit yang meruntuhkan Gunung Tambora melainkan faktor bumi. Faktor bumi tersebut iyalah kerusakan ekologis yang dikarenakan eksploitasi besar-besaran terhadap hutan. Pohon-pohon yang berusia ratusan bahkan ribuan tahun dibabat, lalu dipasarkan di Eropa. Tambora pasca meletusnya itu iyalah negeri kaya raya yang mempesona dan menjadi pasar dunia. Manusia eropa mula-mula datang, berdagang rempah-rempah lalu mengesploitasi lingkungan (merampok pohon-pohon). Gunung Tambora meletus, Eropa merasakan beberapa saat tanpa cahaya matahari. Nyawa-nyawa manusia luluh lantah. Kerajaan Sanggar dan Tambora hilang dari peradaban.

Bagaimana Respon Pemerintah Daerah?

Gubernur NTB Dr. Zul di akun facepage resminya Bang Zul Zulkiefmansyah yang diposting 3 November 2019 memposting lima foto kerusakan hutan. Dia menulis, Hutan kita saat ini. Mesti kita concern bersama, bukan hanya pemerintah saja. Mari sesama kita saling mengingatkan akan bahaya penggundulan hutan ini. Kami dengan TNI dan Polri akan segera menindak tegas para pelaku hutan ini,” tulisnya. Saya tergelitik membaca pernyataan Bupati Dompu H.Bambang M. Yasin yang mengatakan kerusakan hutan bukan kewenangan kami (Pemda Dompu). Dia ngomong menyikapi kerusakan hutan di Dompu, 4 November 2019 di media lakeynews.com. Setelah satu hari sebelumnya Gubernur NTB ngomong akan menindak tegas pelaku (petani) pembalakan liar.

Dia katakan juga bahwa pihaknya tidak boleh membiayai atau melakukan kegiatan yang bukan kewenangannya. Sebut saja bertanggungjawab melakukan rehabilitasi hutan yang rusak itu. Dia hendak menegaskan, rehabilitasi hutan iyalah peran yang punya kewenangan dalam hal ini Pemerintah Provinsi. Tugasnya Gubernur NTB dan Dinas LHK. Bupati Dompu sedang cuci tangan dan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak provinsi. Kami menunggu niat baik (Pemerintah Provinsi) jadi salah kemudian kalau dari kami (Pemda Dompu) yang memulai. Karena itu dapurnya provinsi, terangnya. Dia juga belum menerima undangan dari Pemprov untuk membicarakan masalah hutan.  Ayo surati dan duduk bersama kami. Lagian dari dulu saya tidak menyuruh orang memasuki kawasan hutan, bebernya. Saya juga terpesona baca berita Bupati Bima minta di kritik. Terkait pembukaan lahan produksi untuk bertani jagung. "Jangan hanya kritik pengadaan benih jagung dong, kritik juga pembukaan lahan,." Ujarnya beberapa waktu lalu.

Sinopsis omongan dua bupati yang paling banyak merasakan manfaat dari Illegal logging dan pembukaan lahan tani itu baik berkah dan efek sampingnya itu dangkal dan menyederhanakan persoalan. Seolah tidak merasa bertanggungjawab atas kerusakan hutan tersebut. Bupati Dompu semacam menuduh pemerintah provinsi saja yang mesti bertanggung jawab sendiri, karena Kewenagan terkait itu ranah Pemerintah Provinsi. Sementara Bupati Bima menafsirkan tunggal, hutan bima rusak parah, hanya karena salahnya masyarakat. Beberapa waktu lalu juga bilang persoalan hutan, kewenangan provinsi. Dua bupati tersebut kompak cuci tangan. Seperti tidak punya tanggung jawab dan peran (terlepas kewenangan) mengurusi hutan. Bukankah mereka juga punya peran untuk membangun kordinasi karena asas dapur sendiri dan tugas moral untuk membangun komunikasi kepada masyarakat. Bupati Bima dan Dompu tidak memiliki political wiil, sementara pemerintah provinsi sibuk mencatat data kerusakan hutan, sedang Dr. Zul tiba-tiba bicara kami akan tindak tegas.

Saya melihat bahwa kerusakan hutan kita ditengarai kehilangan diskursus dan kerja alternatif dari pemerintah menghadirkan kesejahteraan masyarakat dan pembiaran latah dari pemerintah akan maraknya pembalakan liar tersebut. Setelah hutan pada gundul tiba-tiba cuci tangan, tiba-tiba ingin bicara berbasis kekerasan. Kemana pemerintah sejak dimulainya programnya Upsus Pajale itu?

Ayo Radikal Rehabilitasi Hutan !

Hutan kehilangan keperawanannya karena ulah manusia. Binatang dan iblis tidak campur tangan. Mestinya kita manusia yang bertanggung jawab. Kita yang telah memperkosanya. Kita juga yang merasakan dan akan merasakan buahnya. Tidak perlu saling menyalahkan. Tidak perlu pingpon kewenangan. Saat banjir bandang terjadi dan rumah pemerintah, nyawa manusia hilang, kerugian materil dan psikis terjadi kita tak boleh mengatakan kewenangan dari banjir itu urusan pemerintah provinsi. Tidak bisa juga mengatakan pengirim banjir akan ditindak tegas. Baik oleh Pemprov, TNI dan Polri.

Sebelum keruntuhan peradaban tiba. Kita masih punya waktu untuk memperbaikinya. Minimal tak menambah kerusakan hutan. Dan kita mulai mencari format alternatif untuk menghadirkan kesejahteraan masyarakat. Menanam jagung dengan menjarah hutan harus dihentikan secara baik-baik. Illegal logging harus diberantas akar-akarnya.

Dalam situasi kerusakan ekologis menuju collapse yang dibutuhkan iyalah Pemerintah yang radikal. Gubernur hingga Bupati/Walikota yang radikal. Untuk rehabilitasi hutan secara radikal. Polisi radikal usut illegal logging. DPRD radikal awasi pemerintah. Hanya dengan memiliki pemerintah yang radikal dalam artian filosofis menyelesaikan masalah mulai dari akarnya. Hingga pembukaan lapangan kerja secara radikal, pemberdayaan masyarakat secara radikal, dan inovasi masyarakat untuk cerdas merekayasa sumber-sumber ekonomi.

Masyarakat tak perlu kekerasan. Mereka akan menuruti kebijakan dan kebijaksanaan pemerintah. Tugas pemerintah iyalah mencerdaskan masyarakat dan benar-benar hadir untuk kesejahteraan masyarakat. Saat pemerintah nalarnya sudah modrn masyarakat akan berpikir modrn. Pembukaan lahan tani dengan membabat hutan itu juga akibat hilangnya tanggung jawab pemerintah menuntaskan urusan dapur masyarakat. Diduga kuat karena nihilnya lapangan pekerjaan, minimnya kreatifitas dan inovasi dan kegiatan pemberdayaan. Bukankah pemerintah juga punya bagian besar dalam memelihara kemiskinan dan upsus pajale punya saham besar dalam kerusakan hutan yang membuat Pemerintah berprestasi, masyarakat sejahtera, dan berkali-kali kena musibah itu?

Situasi hutan yang parah dan menghawatirkan di tanah air kita harus membuat kita pesimistis tentang masa depan dua entitas manusia di Pulau Sumbawa. Kita terlarang untuk terus menyederhanakan masalah. Kerusakan sudah sangat radikal, maka perlu solusi radikal pula. Keruntuhan masyarakat Pulau Paska itu salah satunya karena kerusakan ekologis. Kerusakan hutan. 70 persen hutan di Pulau Sumbawa rusak telah berbuah berbagai bencana yang merepotkan semua pihak. Tentunya, tanpa ada upaya potong mata rantai secara radikal, kita berpotensi mengalami keruntuhan dan hilang dari peradaban. NTB Gemilang akan kehilangan kesempatan membahagiakan warganya, dengan visi industrialisasi jun to investasi, tanpa ada upaya  investasi radikal melakukan rehabilitasi hutan. Saya optimis, NTB gemilang  tidak bisa diwujudkan dengan banjir bandang tiap tahun, longsor tiap tahun, kekeringan meluas tiap tahun, cuaca panas tiap tahun. NTB Akan runtuh kalau merampok hutan tidak dihentikan.

Mari wujudkan NTB Gemilang Hijau Kembali !