KERUSAKAN HUTAN, SIAPA SALAH ? (2)

Kategori Berita

.

KERUSAKAN HUTAN, SIAPA SALAH ? (2)

Koran lensa pos
Sabtu, 09 November 2019
Ihlas Hasan*


Mahalnya ongkos budidaya jagung; seperti pengadaan pupuk, pembelian bibit, dan obat-obatan (herbisida dan pestisida) juga menjadi salah satu motif petani melakukan aksi pembukaan lahan baru sebagai usaha untuk menutupi beratnya ongkos pertanian. 

Meskipun pemerintah telah meluncurkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sejak 2017, 2018 dan sampai sekarang di 2019 dengan berbunga rendah 7 % /tahun. Tetapi bagi petani, ini tetaplah menjadi beban. Faktanya, satu bulan pascapanen, masyarakat sudah ramai-ramai kembali mengajukan KUR. Ini juga perlu diperhatikan dan dijadikan sebagai referensi bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan untuk memberikan proteksi pasar agar tidak mencekik para petani.

Faktor ketiga, Pertumbuhan penduduk.  Pertumbuhan penduduk dan ketersediaan lapangan kerja merupakan keseimbangan yang dinamis. Pertumbuhan jumlah penduduk merupakan sunatullah yang terus berjalan. Artinya final, manusia tak boleh mempermasalahkannya. Dengan demikian, konsekwesinya masyarakat pasti membutuhkan pemukiman baru dan lapangan kerja baru sebagai penunjang kehidupan mereka. Artinya, dengan meningkatnya jumlah penduduk seperti usia muda (umur median 28 tahun), pemerintah Kabupaten Dompu bersama masyarakat harus berpikir lebih keras bagaimana menyediakan lapangan kerja produktif-ramah lingkungan, agar masyarakat tidak lagi menggarap lahan konservasi. 


Motif dan Solusi

Berbagai literatur menyebutkan bahwa penyebab langsung dari kerusakan hutan di Indonesia dikarenakan oleh: (1) konversi hutan alam menjadi tanaman tahunan, (2) konversi hutan alam menjadi lahan pertanian dan perkebunan, (3) eksplorasi dan eksploitasi industri ekstraktif pada kawasan hutan (batu bara, migas, geothermal), (4) pembakaran hutan dan lahan, dan
konversi untuk transmigrasi dan infrastruktur lainnya. Semua penyebab tersebut memiliki hubungan yang kompleks dan saling berkaitan dengan terjadinya kerusakan hutan. Sehingga dibutuhkan sebuah instrumen (tools) yang mampu menguraikan secara sistematis sehingga mampu mengidentifikasi persoalan yang prioritas untuk dicarikan solusinya. Kebutuhan terhadap kerangka metodologis yang komprehensif untuk melakukan analisis tentang tata kelola (governance) sektor kehutanan telah lama dirasakan oleh pemangku kepentingan di sektor kehutanan. 

Pada kontek lokal Dompu, motif kerusakan hutan berbeda dengan pembakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Motif kerusakan hutan di Kalimantan  dan Sumatera merupakan kegiatan eksploitasi bermotif penguasaan lahan untuk mengendalikan sel-sel ekonomi. Pelakunya merupakan pemodal besar dan raksasa korporasi yang sedang berkompetisi untuk pengembangan ladang bisnis mereka. Sementara kerusakan hutan di kabupaten Dompu dilakukan oleh kaum tani atas motiv ekonomi (kesejateraan), yakni upaya konversi hutan alam menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Sebagian besar mereka lakukan hanya untuk mempertahankan keberlangungan hidup dan atau membiayai sekolah anak mereka. Namun demikian, perambahan hutan  tidak dibiarkan terus berlanjut. Ini akan berdampak pada keberlangsungan ekologi dan ekosistem di masa yang akan datang. Sumber daya hutan harus menjadi sumber daya yang bernilai tinggi dan dapat dikelola secara berkelanjutan. Jangan sampai tujuan mencari kehidupan, tetapi menghancurkan yang hidup (hutan).

Pendekatan penanganan atau penyelesaian masalah perambahan hutan di Kabupaten Dompu tidak cukup dengan himbauan atau larangan, atau hanya tunggal dilakukan dengan penegakan hukum. Misalnya menangkap dan memenjarakan para kaum tani. Pendekatan itu baik, tetapi itu dilakukan setelah rangkaian pendekatan lain sudah dilakukan dan terpenuhi. Perlu dilakukan suatu pembenahan yang menyeluruh dan sistematis, dari hulu hingga hilir terhadap semua aspek kehutanan. Manajemen kehutanan yang transparan, inklusif dan akuntabel serta koordinatif, diharapkan mampu menciptakan suatu “sense of belonging” (rasa memiliki) yang tinggi atas hutan dari semua pemangku kepentingan (masyarakat dan pemerintah). Pada akhirnya, salah satu akar penyelesaian masalah yang paling mendesak terhadap aktifitas perambahan hutan di kabupaten Dompu adalah menuntaskan angka kemiskinan masyarakat ekonomi menengah ke bawah dengan menyediakan lapangan kerja alternatif.  Ini penting dan solusi (paling) bijak dan ampuh.
Akhiri upaya saling menyalahkan, mari duduk bersama. Semoga...

*(Penulis adalah guru PAUD Amalia Kreatif desa Karamabura kecamatan Dompu).