Pilkada Dan Hutang Demokrasi (Menyambut Pilkada Kabupaten Dompu 2020)

Kategori Berita

.

Pilkada Dan Hutang Demokrasi (Menyambut Pilkada Kabupaten Dompu 2020)

Koran lensa pos
Minggu, 01 September 2019


Marga Harun
Momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan standar mutu dari produk 'makanan' yang akan disajikan dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Karena di balik prosesi pemilihan tersebut sesungguhnya tersedia ruang-ruang untuk menguji isi kepala dan konsistensi dari para kandidat, serta menguji kepekaan setiap lapisan masyarakat dalam melihat fenomena politik yang disajikan tersebut. 
Jika ruang pilkada itu didominasi oleh sebuah pertarungan atau transaksi materil semata, maka bisa dipastikan bahwa selama lima tahun ke depan mutu 'makanan' yang akan disajikan kepada masyarakat hanya membuat mereka 'lapar' dan terpuruk dari hak-hak dasar mereka sebagai warga daerah, bukan suatu sajian yang bisa memberikan  kenikmatan dan keberkahan secara demokrasi. Dan kalau ruang pilkada didominasi oleh sistem dialetika ide dan gagasan, dialetika nilai dan keadaban serta transformasi kemajuan berbasis pada kebudayaan, maka bisa dipastikan bahwa 'makanan' yang akan disajikan kepada masyarakat selama lima tahun ke depan kemungkinan bisa terjamin mutunya. 
Tolok ukur lima tahun ke depan tidak hanya bisa dinilai pada saat mereka bekerja, tetapi juga terletak pada proses dan corak yang menghegemoni pada momentum Pilkada yang akan dilalui tersebut. Dan coraknya bisa dibaca dari budaya politik yang diperlihatkan oleh masing-masing kompetitor pilkada dan masyarakat sebagai objek dalam pilkada.

Berbicara mengenai momentum pilkada tentu tidak hanya kita maknai pada saat memberikan hak suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tetapi merupakan suatu proses yang dimulai jauh sebelum pemilihan berlangsung. Berkaitan dengan masa-masa kampanye, pembacaan visi-misi, propaganda, pencitraan, debat kandidat dan segala aktivitas peserta pilkada yang dilakukan dalam rangka mendemostrasikan diri mereka di mata publik.

Catatannya, Proses  ini tidak hanya dilakukan oleh kandidat dan tim pemenangan masing-masing calon, tetapi seluruh lapisan masyarakat terlibat aktif dalam proses dimaksud. Seperti partai politik harus memberikan edukasi politik yang sehat kepada kader partai dan masyarakat, bukan malah berbicara mengenai ongkos politik semata. Para tim sukses menjalankan kampanye dengan cara yang jujur dan mendidik bukan hanya memberikan propaganda tanpa tukar tambah pikiran dengan baik. Para kandidat membangun budaya politik yang rasional dan berkemajuan, bukan hanya sibuk dengan politik pencitraan dan politik identitas semata. Akademisi menciptakan dialetika politik yang kritis dan berkesimbungan bukan hanya menjadi pengamat yang mengamati jalannya proses tersebut. Masyarakat menjadi pendengar yang setia dan kritis tidak hanya meyumbang suara karena ada transaksi yang lain. Media hadir untuk mempertemukan mereka dalam ruang yang konstruktif dan membangun. Serta organisasi-organisasi sosial hadir untuk menjadi penyambung antara masyarakat dengan para kompetitor pemilu dalam bentuk diskusi, sosialisasi, seminar, pelatihan dan segala bentuk pendidikan lainnya.

Berdasarkan analisis di atas, berarti kita dapat menarik suatu benang merah dari alur berdemokrasi kita  saat ini. Ketika dialetik fikiran itu harus ada pada momentum pilkada berarti tolok ukurnya terletak pada sistem demokrasi yang kita jalankan. Dan pertanyaan selanjutnya, sistem berdemokrasi yang bagaimana? Dalam suatu negera yang menganut sistem demokrasi, tentu di dalamnya ada syarat-syarat supaya suatu negara bisa dikatakan berdemokrasi. Di antaranya, adanya lembaga peradilan yang bebas dan merdeka, lembaga pers yang independen, terjaminnya hak asasi masyarakat (hak untuk hidup, berorganisasi, mendapatkan pendidikan, kebebasan berekspresi, memilih agama, mendapatkan kenyamanan dan pekerjaan,  dan hak untuk diperlakukan yang sama di mata hukum), Negara berdasarkan Hukum, birokrasi yang bersih dari KKN dan kekuasan tertinggi dari pemerintah berada di tangan rakyatnya. Dari beberapa ciri-ciri negara yang berdemokrasi tersebut di atas apakah sebagian atau semuanya sudah terealisasi dengan baik ?

 Kalau jawabannya belum, berarti kita masih berhutang demokrasi sampai hari ini. Dan lalu lintas fikiran yang kami maksud pada momentum pilkada tersebut merupakan lalu lintas pada persoalan tersebut. Yaitu pada problem-problem kita dalam berdemokrasi, bukan hanya demokrasi secara praksisnya, tetapi juga demokrasi pada tingkat ilmu, nilai dan ideologi.

Mengenai kebebasan pers, pers di kabupaten Dompu mempunyai dua persoalan besar, pertama : independensi dalam menyampaikan berita. Pada point ini pers di kabupaten Dompu masih dimanfaatkan oleh beberapa 'oknum' yang mempunyai kepentingan tertentu, dan belum bisa bersikap netral secara general. Perselingkuhan tersebut bisa kita lihat dari standar berita yang disajikan oleh lembaga pers dan muatan beritanya didominasi oleh apa. Kedua : Posisi pers yang tidak bergitu serius dalam melakukan transformasi fikiran. Dalam arti, informasi yang disampaikan oleh pers masih didominasi oleh berita bukan suatu fikiran yang konstruktif. Maksudnya, bukan informasi yang disampaikan secara ide dan gagasan yang cemerlang untuk disajikan. Kemudian mengenai Hak asasi manusia, berbicara mengenai Hak asasi manusia kabupaten Dompu masih belum memposisikan hal ini sebagai suatu persoalan daerah yang sangat serius. 
Terbukti dari minimnya SDM yang dicetak oleh Kabupaten Dompu setiap tahunnya. Kasus pembebasan lahan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, tetapi terselubung transaksi kapital dan penguasa di dalamnya. Disisi yang lain, kita bisa melihat bahwa masih belum tersedianya secara serius lembaga-lembaga yang mewadahi kebebasan masyarakat. Seperti gedung-gedung kesenian, lembaga-lembaga riset, ruang-ruang kajian, penelitian, pengembangan bakat dan minat, pelatihan dan pemberdayaan masyarakat menengah ke bawah, serta pendidikan yang layak bagi kemanusiaan. Dan pada persoalan kepastian Hukum, kabupaten Dompu masih jauh dari kata pasti, karena hukum yang ada di kabupaten Dompu bisa dikatakan masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Siapapun dia berhak untuk membeli hukum asalkan ada transaksi di balik layar dengan baik yang dilakukan oleh para pihak. Kepastian hukum tidak hanya berkisar pada wilayah itu tetapi juga bagaimana hukum hadir sebagai pelindung bagi masyarakat dari hak-hak milik mereka. Bukan atas nama kesejahteraan kemudian industri dilegalkan lalu berakhir pada konflik horizontal dan vertikal yang berkepanjangan.

Kita selalu menggaungkan bahwa Kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyat yang mana? Rakyat birokrasi atau bagaimana? mengenai birokrasi, Kabupaten Dompu masih dikuasai oleh mereka yang berwatak patriarki dan korup. Selain birokrasi yang korup, kebanyakan dari mereka lahir dari pembisnis bukan politikus. Kalau pembisnis berbicara politik pasti nanti akan berujung pada daerah yang dijadikan lahan bisnis. Dan kalau patriarki,  maka nilai berdemokrasi kita tidak tersalur dengan baik sampai ke akar, dikarenakan ada beberapa kelompok/ keluarga tertentu yang menguasai atau mendominasinya. Beberapa masalah-masalah kita dalam berdsmokrasi tersebut di atas masih mengganggu tidur nyenyak kita semua, dan menjadi kewajiban bagi setiap orang untuk memunculkan pekerjaan rumah tersebut pada momentum sebelum Pilkada ini berlangsung. Tentu masih banyak kasus-kasus yang lain dan itu membutuhkan analisis yang serius. Sekelumit masalah yang dihadapi di Kabupaten Dompu dan masalah-masalah tersebut tidak akan bisa diminimalisir kalau pada saat proses momentum Pilkada ini berlangsung tidak ada interaksi fikiran yang utuh mengenai keadaan daerah Dompu saat ini. Dan akan menjadi sejarah yang terkubur apabila dinamika politiknya hanya dimaknai sebagai pergantian kepada daerah semata bukan tukar tambah ide dan gagasan yang utuh serta membangun. 

Pembangunan dan pencerdasan fikiran ini harus dibumikan secara masif oleh seluruh lapisan masyarat dalam momentum Pilkada tersebut. Dan juga seluruh elemen politik tidak seharusnya membasiskan praktek politiknya pada keserakahan dan pembodohan semata, karena kalau itu yang terjadi maka kita tidak wajib berharap banyak akan adanya suatu perubahan. Kalau Politik kita masih dinilai dengan angka dan nominal maka bersiaplah untuk memperpanjang keterbelakangan. Kalau kampanye kita sarat dengan propaganda dan transaksi maka kita tidak boleh berharap lebih baik untuk wajah demokrasi kita ke depan. Dan kalau sistem dan praktek politik kita selama masa-masa Pilkada bernuasa pada pembodohan publik bukan pada edukasi publik, maka kita harus menyiapkan diri untuk memperpanjang garis keterpurukan secara besar-besaran.

Di masa-masa menjelang pilkada ini, kompetisi terjadi di mana-mana bukan, hanya tentang  propaganda dan ajakan semata. Bukan hanya tentang diksi "lanjutkan, ganti dan tolak". Tetapi lebih kepada membangun budaya nalar, politik dan hukum yang mengarah pada peradaban. Karena bagaimanapun bentuk praktek politik kita hari ini akan menjadi penentu keberhasilan demokrasi kita untuk waktu lima tahun yang akan datang. Kalau sistem isu dan kampanye yang kita lakukan di media publik hanya tentang "lanjutkan, ganti atau tolak" maka apa yang bisa kita harapkan untuk lima tahun yang akan datang? Kalau budaya politik dan nalar politik kita seperti itu, lalu di sisi mananya kita bisa berbicara tentang sebuah peradaban. Sementinya model interaksi politik yang kita jalankan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk konsep atau sistem isu tidak hanya tentang propaganda dan sisi praksisnya semata, tetapi yang lebih diutamakan terletak pada lalu lintas ide dan gagasannya yang sehat, serta proses tukar tambah kakayaan khajanah ilmu dan praktek dari politik itu sendiri.
(Penulis adalah Direktur LMPD / Lembaga Mahasiswa Pemerhati Daerah )