OPINI - Membincang konservasi, apalagi rehabilitasi hutan di Dompu di tengah kerusakan yang massif sekarang ini seperti mengejar bayangan. Perusakan hutan, terutama oleh aktivitas peladangan warga, menimbulkan teror yang menakutkan baik oleh ancaman bencana banjir, tanah longsor maupun perubahan iklim dan ekosistem alam. Upaya konservasi dan rehabilitasi itu seperti berkejar-kejaran dengan deforestasi yang terjadi. Sebuah ‘pertarungan’ yang sama sekali tidak seimbang. Status Gunung Tambora sebagai Taman Nasional seharusnya memberikan multi-efek terhadap perkembangan sosial, ekonomi dan budaya khususnya masyarakat lokal. Di sini Taman Nasional Gunung Tambora (TNT) tidak hanya sekadar berfungsi sebagai konservasi, tapi juga sarana edukasi dan wisata.
Fungsi terakhir ini masih panjang dan berliku di tengah geliat wisata yang masih stagnan, terutama oleh daya dukung Pemda maupun masyarakat yang masih lemah. Kendati TNT ini menjanjikan, tapi sayang potensi-potensi tersebut belum mampu didayagunakan secara maksimal. Malah muncul kekhawatiran deforestasi juga merambah di salah satu dari enam TN ini. Meski TNT diharapkan tetap memberikan manfaat ekonomi terhadap masyarakat sekitar kawasan, tapi fungsi konservasinya harus tetap dipastikan berjalan baik. Menumbuhkan paradigma kemitraan konservasi, itulah intervensi Kementerian LHK yang coba dilakukan untuk mencapai harapan “Hutan lestari masyarakat sejahtera” seperti dalam FGD di Hotel Tursina, Dompu kemarin. Para pemangku kepentingan berembuk: LSM, kelompok masyarakat sekitar kawasan, Balai Pengelola TNT, akademisi dan Dinas terkait (Pariwisata dan Lingkungan Hidup). Bertindak sebagai hostnya adalah LATIN Bogor. Apapun makna dan interpretasi atas fungsi hutan, bagi saya hutan adalah perlambang peradaban. Jika keberadaannya punah maka bukan hanya sumber ekonomi atau fungsi ekologisnya yang dipertaruhkan tapi juga peradaban.
Merusak hutan berarti kita sedang menuju lonceng kematian.
Ditakdirkan hidup di tengah ring of fire saja seharusnya sudah cukup membuat kita waspada dan takut. Jangan lagi kita menambah teror itu dengan tindakan dan tangan kita sendiri. Amukan Gunung Tambora yang mengubur hidup-hidup tiga peradaban di masa lalu adalah bukti, betapa kecilnya kedigdayaan manusia di tengah kemurkaan alam. Merusak hutan berarti kita sedang mengubur hidup-hidup diri dan peradaban kita! (Penulis adalah Akademisi di STKIP YAPIS Dompu).
Fungsi terakhir ini masih panjang dan berliku di tengah geliat wisata yang masih stagnan, terutama oleh daya dukung Pemda maupun masyarakat yang masih lemah. Kendati TNT ini menjanjikan, tapi sayang potensi-potensi tersebut belum mampu didayagunakan secara maksimal. Malah muncul kekhawatiran deforestasi juga merambah di salah satu dari enam TN ini. Meski TNT diharapkan tetap memberikan manfaat ekonomi terhadap masyarakat sekitar kawasan, tapi fungsi konservasinya harus tetap dipastikan berjalan baik. Menumbuhkan paradigma kemitraan konservasi, itulah intervensi Kementerian LHK yang coba dilakukan untuk mencapai harapan “Hutan lestari masyarakat sejahtera” seperti dalam FGD di Hotel Tursina, Dompu kemarin. Para pemangku kepentingan berembuk: LSM, kelompok masyarakat sekitar kawasan, Balai Pengelola TNT, akademisi dan Dinas terkait (Pariwisata dan Lingkungan Hidup). Bertindak sebagai hostnya adalah LATIN Bogor. Apapun makna dan interpretasi atas fungsi hutan, bagi saya hutan adalah perlambang peradaban. Jika keberadaannya punah maka bukan hanya sumber ekonomi atau fungsi ekologisnya yang dipertaruhkan tapi juga peradaban.
Merusak hutan berarti kita sedang menuju lonceng kematian.
Ditakdirkan hidup di tengah ring of fire saja seharusnya sudah cukup membuat kita waspada dan takut. Jangan lagi kita menambah teror itu dengan tindakan dan tangan kita sendiri. Amukan Gunung Tambora yang mengubur hidup-hidup tiga peradaban di masa lalu adalah bukti, betapa kecilnya kedigdayaan manusia di tengah kemurkaan alam. Merusak hutan berarti kita sedang mengubur hidup-hidup diri dan peradaban kita! (Penulis adalah Akademisi di STKIP YAPIS Dompu).