Oleh: Faisal Mawa'ataho
Fo’o ntasa (mangga masak) bagi sebagian orang hanyalah buah biasa. Namun buah ini adalah buah yang disebutkan dalam sejarah lisan Dou Dompu dan menjadi simbol asal usul dinasti sultan-sultan Dompu hingga sultan terakhirnya. Meskipun keturunan para sultan Dompu itu telah lupa atau sengaja melupakannya, namun sang fo’o ntasa telah menjadi saksi bisu lahirnya dinasti yang bertanggung jawab atas berjaya dan juga terpuruknya Dompu selama kurang lebih satu setengah abad.
Fo’o ntasa itu adalah buah mangga yang dibawa oleh Tureli Dompu Abdul Wahab sebagai hadiah untuk saudaranya yang saat itu menjadi penguasa, yaitu Sultan Abdurrahman. Sebuah hadiah dan persembahan yang disebut dari seorang saudara untuk saudaranya sendiri, meskipun mereka berdua terlahir dari ibu yang tidak sama. Sebuah hadiah yang diterima dengan senang hati dan suka cita, sebab pemberi hadiah itu tak lain merupakan saudara sendiri.
Abdul Wahab mengeluarkan sebilah piso mone (sejenis pisau belati) dari balik ikat pinggangnya. Ia meminta izin untuk mengupaskan mangga yang ia bawa sebagai bentuk tunduk dan takzimnya kepada Sultan Abdurrahman. Permintaan yang diiyakan oleh sang sultan tanpa menaruh curiga sedikit pun. Sebab yang datang adalah saudaranya sebapak, mereka berdua sama-sama darah daging Sultan Abdul Kadir. Hanya saja, nasib Adburrahman lebih mujur karena ia matu (bangsawan murni). Oleh karena itulah ia dapat menjadi sultan. Sedangkan Abdul Wahab, ia hanyalah putera seorang selir yang berasal dari rakyat biasa. Dia hanyalah cucu Ompu Mawa, keturunan Ncuhi Cindawa.
Begitu mengeluarkan belati dari sarungnya, bukan kulit dan daging buah mangga yang disasar oleh Abdul Wahab. Justru belati beracun itu ia arahkan kepada kulit dan daging Sultan Abdurrahman. Sang Sultan secara refleks menepis tikaman Sang Tureli. Abdul Wahab tidak menyerah, ia kembali mengarahkan belati beracun itu untuk menikam saudaranya. Sultan Abdurrahman adalah seorang ulama, ia telah tamat ngaji Karo’a dan juga ngaji besi. Serangan itu tidak mempan terhadapnya. Jadilah kedua saudara sebapak itu berkelahi hebat di dalam istana. Tureli Dompu melakukan Kudeta Fo’o Ntasa.
Gagal membunuh Sultan Abdurrahman, Tureli Abdul Wahab mengumpulkan para pengikutnya untuk mengepung istana. Ia memberikan ultimatum, sultan harus menyerah dan bersedia dilengserkan. Jika sultan menyerah baik-baik, maka Abdul Wahab menjamin keselamatan anak dan istri sang sultan. Sebagai lelaki, Sultan Abdurrahman tentu tak gentar sedikit pun. Namun sebagai seorang ayah dan suami, ia pastilah juga mengkhawatirkan keselamatan nyawa Ruma Paduka (permaisuri) dan kelima anaknya. Ia pun menyerah, meninggalkan istana dalam malam yang kelam. Mereka akan pergi sejauh-jauhnya. Ke timur ataukah ke barat? Sang sultan mengarahkan pandangannya ke barat.
Sultan Abdurrahman meninggalkan Istana Bata dengan berat hati, belum pasti tujuannya. Namun dalam tradisi, para pendahulunya selalu menuju barat. Ke Kilo ataukah Kempo. Rakyat seisi kerajaan pun gempar. Sultan Abdurrahman telah digulingkan oleh Tureli Dompu dalam Kudeta ‘Fo’o Ntasa.’ Sebagai gantinya, Majelis Hadat Dana Dompu melantik Tureli Dompu dengan gelar Sultan Abdul Wahab. Berita itupun sampai ke Kempo.
Para pembesar dan rakyat Kempo menjemput Sultan Abdurrahman di dalam perjalanan. Menyatakan kesetiaan mereka pada sang sultan, serta bersedia melindunginya dengan nyawa mereka sebagai jaminannya. Maka berjalanlah Sultan Abdurrahman bersama keluarganya menuju Kempo. Kemudian, ia menjalani kehidupan barunya sebagai muballigh di sana.
*****
Itulah sepenggal episode yang terjadi di Kesultanan Dompu pada bulan September di tahun 1787. Banyak pihak menyebut bahwa kudeta Tureli Dompu Abdul Wahab terhadap Sultan Abdurrahman disebabkan keadaan kacau di Dompu pasca kekalahan Dompu dalam Perang Dompu dan Sumbawa pada tahun 1777-1778. Tureli Abdul Wahab dianggap menjadi juru selamat bagi Kesultanan Dompu di tengah suasana kalut. Namun anehnya, orang-orang ini tidak bisa menjelaskan mengapa baru sepuluh tahun kemudian ‘aksi kepahlawanan’ Tureli Abdul Wahab dilancarkan? Padahal Waktu sepuluh tahun adalah waktu yang cukup lama untuk memulihkan trauma perang.
Umaseo (2024) menjelaskan bahwa alasan penggulingan Sultan Abdurrahman adalah ketidakpatuhannya kepada VOC Belanda. VOC meminta Sultan Abdurrahman membantu pasukan VOC dan Bima yang sedang memadamkan pemberontakan Mele Bedola terhadap Sultan Sumbawa. Namun permintaan itu ditolak oleh Sultan Abdurrahman. VOC yang saat itu sedang sibuk menghadapi pemberontakan Sangkilang di Sulawesi Selatan benar-benar membutuhkan bantuan Dompu untuk menolong Sultan Sumbawa. Agar Dompu mau mematuhi perintah VOC, maka Sultan Abdurrahman harus digulingkan dan diganti dengan Sultan yang bersahabat dengan VOC (Umaseo, F., Sejarah Kerajaan Dompu di Masa Sultan Abdurrahman Manuru Kempo, 2024: hal. 166-172).
VOC memang benar-benar membutuhkan bantuan pasukan Dompu saat itu. Terbukti, setelah Tureli Dompu naik tahta menjadi sultan dan Dompu ikut campur membantu pasukan VOC dan Bima di Sumbawa, pemberontakan Mele Bedola dapat dihabisi. Hal inilah yang membuat Tureli Dompu (Sultan Abdul Wahab) mendapatkan gelar kehormatan Amaral Jenderal dari VOC Belanda. Ia juga diberikan sebuah gorget atau pelindung kerah yang biasanya dipakai oleh para bangsawan Belanda. Foto gorget masih tersimpan rapi di Leiden meskipun gorget itu sendiri tidak diketahui di mana rimbanya.
Pada gorget tersebut, terukir sebuah prasasti dalam bahasa Belanda yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berbunyi sebagai berikut: “Pelindung kerah ini dianugerahkan atas nama yang mulia Ratu Belanda oleh Mr. Frederik Alexander Meurer pada saat Raja Dompu bertindak sebagai sekutu pemberani bagi Kompeni Belanda di bawah komandonya yang luar biasa dalam Perang Sumbawa pada tahun 1788.” (Hagerdal, H., Held’s History of Sumbawa, 2017: hal 110).
Meskipun prasasti pada gorget tersebut tidak menyebut nama Sultan Abdul Wahab secara langsung, namun sudah diketahui bahwa yang menjadi Sultan Dompu pada tahun 1788 adalah Sultan Abdul Wahab. Bahkan isi prasasti pada gorget tersebut dikuatkan oleh bunyi prasasti pada sandaran singgasana Sultan Abdul Wahab yang saat ini menjadi salah satu koleksi Museum Daerah Provinsi NTB. Prasasti tersebut menyebutkan bahwa Sultan Abdul Wahab terlibat dalam perang di Sumbawa pada tahun 1023 H (1615 M). Namun sebenarnya tahun dalam prasasti ini ditulis secara keliru, yang seharusnya ditulis 1203 H (1788 M).
*****
Sultan Abdul Wahab adalah putera dari Sultan Abdul Kadir (1765-1774) bersama seorang selir dari golongan rakyat biasa. Hal ini menjadikan status Sultan Abdul Wahab adalah wati matu (bukan bangsawan murni). Namun kelihaiannya dalam mempengaruhi para pembesar Kesultanan Dompu, serta dukungan penuh dari VOC, membuat dirinya berhasil meraih tahta menjadi Sultan Dompu. Keturunannyalah yang menjadi penguasa di Dompu hingga Kesultanan Dompu dihapuskan pada tahun 1958. Sultan Zainal Abidin, Sultan Tajul Arifin I, Sultan Abdul Rasul II, Sultan Muhammad Salahuddin Mawa’adi, Sultan Abdullah II, Sultan Muhammad Sirajuddin Manuru Kupa, dan Sultan Tajul Arifin II, seluruhnya adalah keturunannya.
Ada sebuah fakta lucu yang penulis temukan ketika berdiskusi dengan beberapa pemerhati budaya seputar topik kudeta dan naik tahtanya Sultan Abdul Wahab. Jika keturunan Sultan Abdurrahman mau, maka sebenarnya mereka bisa mempermasalahkan kepemimpinan Sultan Abdul Wahab dan keturunannya. Ini karena Sultan Abdurrahman berstatus matu, sedangkan Sultan Abdul Wahab wati matu. Sesuai adat Kesultanan Dompu, Sultan Abdurrahman dan keturunannya lebih berhak menjadi sultan.
Jika keturunan Sultan Abdurrahman cukup berani, maka mereka bisa tampil menjadi sosok yang kontroversial seperti Bpk. Firdaus Oiwobo dengan sejumlah klaim terhadap Kesultanan Bima dan Bpk. Muhammad Sahril Amin dari Dinasti Abbasiyah Taliwang yang mengklaim tahta Kesultanan Sumbawa saat ini. Namun sayangnya, hingga saat ini belum ada keturunan Sultan Abdurrahman yang cukup ‘gila’ seperti kedua tokoh yang penulis sebut tersebut.
Pada tahun 1792, Sultan Abdul Wahab sakit keras, padahal baru lima tahun menikmati tampuk kekuasaan sebagai sultan di Dompu. Ia memilih anak tertuanya untuk diangkat sebagai putera mahkota dan diberi jabatan Tureli Hu’u. Sesuai aturan adat Kesultanan Dompu, putera mahkota harus menduduki jabatan Tureli Hu’u. Oleh sebab itu, putera tertuanya itu dipanggil Daeng Hu’u (Held menulisnya Daeng Ilau).
Tak lama kemudian, pada tahun 1793, Sultan Abdul Wahab meninggal dunia. Sebuah masa pemerintahan yang sangat singkat. Padahal diperoleh dengan kudeta ‘fo’o ntasa’ yang penuh tipu daya. Pun dengan dukungan penjajah VOC Belanda. Tapi tak mengapa, ia sudah mengangkat Daeng Hu’u sebagai Tureli Hu’u dan putera mahkota untuk menggantikannya. Kalaupun Daeng Hu’u gagal menjadi sultan, ia masih memiliki dua putera lainnya. Tajul Arifin I dan Abdul Rasul II.
Pasca wafatnya Sultan Abdul Wahab, Daeng Hu’u begitu berambisi menobatkan diri sebagai Sultan Dompu. Tapi masalahnya status kebangsawanannya wati matu sebagaimana ayahnya juga wati matu. Ibarat emas, sudah berkali-kali turun kualitas karatnya akibat terlalu sering dicampur dengan logam lainnya. Sedangkan di sisi lain, masih ada emas 24 karat yang masih murni. Yakni Sultan Abdurrahman. Maka Majelis Hadat Kesultanan Dompu sepakat untuk mengembalikan status Sultan Abdurrahman sebagai Hawo ro Ninu bagi Dana Dompu.
Daeng Hu’u meradang. Ia bersurat kepada VOC Belanda di Batavia dan menjelaskan bahwa dialah yang berhak menjadi raja selanjutnya. VOC pun mendukungnya, karena mereka sudah paham bahwa lawan politik Daeng Hu’u adalah Sultan Abdurrahman yang sangat membenci kaum penjajah. Daeng Hu’u pun kemudian berlagak menjadi raja. Ia bersama VOC Belanda menyerang kediaman Sultan Abdurrahman di Kempo. Terjadilah perang dan pertempuran besar pada tahun 1798. Sultan Abdurrahman bergerilya dari dalam hutan. Daeng Hu’u memboikot pasokan makanan dan melarang orang-orang Kempo untuk mengantarkan makanan ke dalam hutan. Terluka, kelelahan dan kelaparan akibat pemboikotan, Sultan Abdurrahman kemudian jatuh sakit dan meninggal dunia.
Setelah wafatnya Sultan Abdurrahman, Daeng Hu’u kembali menyingkirkan dua anak Sultan Abdurrahman yang naik tahta sebagai raja, yaitu Sultan Abdullah I dan Sultan Ya’kub. Kemudian ia menikmati hasil jerih payahnya, meski hanya sebentar. Ia menggelari dirinya Sultan Muhammad Zainal Abiddin dan menikmati singgasananya hingga tahun 1805. Ia menancapkan kuku-kuku kekuasaan Dinasti Sultan Abdul Wahab di Dompu tanpa ada yang berani melawan lagi. Sebuah dinasti yang berawal dari ‘Fo’o Ntasa’ yang begitu menggiurkan. Fo’o ntasa yang menyembunyikan sebilah belati beracun di baliknya. Tindak tanduk Daeng Hu’u benar-benar copy paste dari ayahnya, menghalalkan segala cara, Mawa’a Ca’u.
Setelah Daeng Hu’u wafat, dua adiknya menggantikannya sebagai sultan, Sultan Muhammad Tajul Arifin I (1805-1809) dan Sultan Abdul Rasul II (1809-1857). Keturunan Sultan Abdul Rasul II memerintah Kesultanan Dompu hingga kesultanan ini dibubarkan pada tahun 1958.[]
Referensi:
Chaidir, Muhammad, Kronik Dompo – Catatan Sejarah Dompu (Dompu, Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Dompu, 2008)
Hagerdal, Hans, Held’s History of Sumbawa: An Anotated Translation (Amsterdam, Amstedam University Press, 2017)
Manticha, Indra, Melacak Jejak Sultan Abdurrahman Manuru Kempo, Sultan Dompu Ke-12 (Mataram, 2021, Makalah belum diterbitkan)
Umaseo, F., Sejarah Kerajaan Dompu di Masa Pemerintahan Sultan Abdurrahman Manuru Kempo (Lumajang, Klik Media, 2024).