Agen Polisi Sukitman, Saksi Sejarah Pembantaian Terhadap Tujuh Pahlawan Revolusi Dalam Peristiwa Pengkhianatan G30S/PKI

Kategori Berita

.

Agen Polisi Sukitman, Saksi Sejarah Pembantaian Terhadap Tujuh Pahlawan Revolusi Dalam Peristiwa Pengkhianatan G30S/PKI

Koran lensa pos
Jumat, 30 September 2022

 

AKBP (Purn) H. Sukitman saksi sejarah yang menyaksikan langsung kebiadaban yang dilakukan PKI terhadap tujuh Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya Jakarta Timur pada 1 Oktober 1965


koranlensapos.com - Peristiwa kekejaman G30S/PKI meninggalkan catatan kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Enam orang Perwira Tinggi TNI AD dan satu orang Perwira Muda berpangkat Letnan Satu yang kemudian disebut sebagai Pahlawan Revolusi menjadi korban keganasan, kekejaman dan kebiadaban PKI.


Ketujuh Pahlawan Revolusi tersebut adalah Letjen Ahmad Yani, Mayjen R. Suprapto, Mayjen S. Parman, Mayjen MT. Haryono, Brigjen DI Panjaitan, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo dan Lettu Pierre Tendean.


Ketujuh putra terbaik bangsa tersebut dibunuh secara kejam oleh gerombolan komunis yang terdiri dari sejumlah anggota Cakrabirawa bersama sukarelawan dan sukarelawati yang kemudian diketahui merupakan anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani. Kemudian ketujuh korban dimasukkan di dalam sumur tua Lubang Buaya di wilayah Jakarta Timur.


Agen Polisi Tingkat Dua Sukitman merupakan saksi sejarah yang menyaksikan secara langsung pembantaian sadis terhadap para perwira TNI tersebut. 


Siapakah Sukitman ?


Melansir dari Wikipedia, Sukitman lahir di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat pada tanggal 30 Maret 1943.


Sukitman merupakan saksi sejarah terjadinya Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia G30S/PKI dan penemu lokasi pembuangan jenazah para jenderal Pahlawan Revolusi Lubang Buaya, Jakarta Timur.




Di usia 18 tahun, Sukitman merantau ke Jakarta dan lulus ujian seleksi masuk Sekolah Polisi Negara SPN Kramat Jati, Jakarta Timur, pada 1961.


Dikutip dari tirto.id, Ketika mendaftar, seperti ditulis Sri Mulyani Sugiarto dalam Peranan Anggota Polri Agen Polisi Tk. II Sukitman (1995), nomor pendaftarannya telah habis. Soekitman tak menyerah. Kepada petugas, ia mengaku berasal dari kampung, sebuah pelosok yang sangat jauh dari Jakarta. Ia pun akhirnya dapat mengikuti tes dan diterima masuk Sekolah Polisi Negara (SPN) di Kramat Jati.


Siswa Angkatan VII SPN Kramat Jati ini menyelesaikan pendidikannya pada Januari 1963 dan dilantik menjadi Agen Polisi Tingkat II.


Ia pun memulai karier sebagai polisi di Markas Polisi Seksi VIII Kebayoran, Jakarta, sebagai anggota perintis dari Kesatuan Perintis/Sabhara. Soekitman dilantik sebagai Agen Polisi tingkat II, pangkat terendah dalam kepolisian saat itu. Meski demikian ia tetap bangga.


“Menjadi seorang polisi yang gagah lengkap dengan senjata dan sepatu tinggi,” ucapnya seperti dikutip Sri Mulyani Sugiarto.




Pada 30 September 1965 di malam hari, Sukitman sedang menjalankan tugas patroli. Tiba-tiba, terdengar suara tembakan diikuti rentetan letusan senjata. Ia bergegas menghampiri sumber suara dengan sepeda kumbangnya (hadiah bagi polisi berprestasi) ke arah kediaman Jenderal DI Panjaitan.


Namun, sekelompok orang menghadang dan menculiknya.


Agen Polisi Tingkat II Soekitman ikut dibawa ke Lubang Buaya dan menjadi salah satu saksi penculikan dan pembunuhan beberapa pemimpin TNI dalam Peristiwa G30S/PKI.



Dikutip dari Tribun Timur.com, pada malam itu Sukitman sedang bertugas jaga di Seksi VII Kebayoran Baru yang berlokasi di Wisma AURI di Jl Iskandarsyah, Jakarta, bersama Sutarso yang berpangkat sama.



"Waktu itu polisi naik sepeda. Sedangkan untuk melakukan patroli, kadang-kadang kami cukup dengan berjalan kaki saja, karena radius yang harus dikuasai adalah sekitar 200 m,” katanya mengenang masa awal tugasnya.


Tiba-tiba ia dikejutkan oleh bunyi rentetan tembakan, yang rasanya tidak jauh dari posnya.


Karena tembakan itu berasal dari bawah dan dekat situ ada Gedung MABAK yang tinggi, suara tembakan itu memantul.


Rasa tanggung jawab membuat Sukitman bergegas mengendarai sepedanya dengan cara melawan arah mencari sumber tembakan itu.


Sementara rekannya tetap melakukan tugas jaga. Dalam benak pemuda yang terlintas mungkin terjadi perampokan.


Ternyata suara itu berasal dari rumah Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan yang terletak di Jalan Sultan Hasanudin. Tetapi saat kejadian itu Sukitman belum mengetahui kejadian yang sebenarnya dan belum mengetahui bahwa rumah itu milik Brigjen DI Panjaitan.


Di situ ia melihat banyak pasukan bergerombol. 

Belum sempat tahu apa yang terjadi di situ, tiba-tiba ia dikejutkan oleh teriakan tentara berseragam loreng dan berbaret merah yang berusaha mencegatnya.


"Turun! Lempar senjata dan angkat tangan!"


Sukitman, yang waktu itu baru berusia 22 tahun, kaget dan lemas.


la segera melakukan apa yang diperintahkan tanpa bisa menolak.


Di bawah ancaman senjata di kiri-kanan, Sukitman kemudian diseret dan dilemparkan ke dalam truk dalam keadaan tangan terikat dan mata tertutup.


"Tapi saya tetap masih belum bisa menduga apa yang terjadi," katanya mengenang peristiwa menakutkan itu.


Menurut perasaannya, dalam truk itu Sukitman ditempatkan di samping sopir.


Dengan mengandalkan daya ingatannya, Sukitman berusaha mencari tahu ke mana ia akan dibawa.


Begitu dari Cawang belok ke kanan, Sukitman mulai kehilangan konsentrasi.

Berbagai perasaan berkecamuk di dadanya.


"Pokoknya, saya pasrah kepada Tuhan sambil berdoa," katanya.



Entah di mana, akhirnya kendaraan yang membawa Sukitman berhenti. Ia segera diturunkan dan tutup matanya dibuka.


"Tentu saja saya jalangjang-jalongjong, karena dari keadaan gelap saya langsung dihadapkan kepada terang."


Pada waktu itulah ia mendengar orang bicara, "Yani wis dipateni."


Tak lama kemudian seorang tentara yang menghampiri Sukitman dan tahu bahwa sanderanya itu seorang polisi, segera menyeret Sukitman ke dalam tenda.


Tentara tersebut segera melapor kepada atasannya, "Pengawal Jenderal Panjaitan ditawan."


Meskipun waktu itu masih remang-remang, di dalam tenda Sukitman sempat mengamati keadaan sekelilingnya.


Ia melihat orang yang telentang mandi darah, ada juga yang duduk di kursi sambil bersimbah darah segar.


Seseorang memerintahkan si tentara tadi, yang kemudian diketahui namanya Lettu Dul Arief, agar Sukitman ditawan di depan rumah.


Begitu hari terang, dari jarak sekitar 10 meter, Sukitman bisa melihat dengan jelas sekelompok orang mengerumuni sebuah sumur sambil berteriak, "Ganyang kabir, ganyang kabir!". 


Ke dalam sumur itu dimasukkan tubuh manusia - entah dari mana – yang langsung disusul oleh berondongan peluru.


Sukitman sempat melihat seorang tawanan dalam keadaan masih hidup dengan pangkat bintang dua di pundaknya, mampir sejenak di tempatnya ditawan.


"Setelah tutup matanya dibuka dan ikatannya dibebaskan, di bawah todongan senjata, sandera itu dipaksa untuk menandatangani sesuatu.


Tapi kelihatannya ia menolak dan memberontak.


Orang itu diikat kembali, matanya ditutup lagi, dan diseret dan langsung dilemparkan ke dalam sumur yang dikelilingi manusia haus darah itu dalam posisi kepala di bawah," kenangnya.


Dengan perasaan tak karuan, Sukitman menyaksikan kekejaman demi kekejaman berlangsung di depan matanya, sampai ketika orang-orang buas itu mengangkuti sampah untuk menutupi sumur tempat memendam para korbannya.


Dengan cara itu diharapkan perbuatan kejam mereka sulit dilacak. Di atas sumur itu kemudian ditancapkan pohon pisang.


"Setiap habis memberondongkan pelurunya, jika akan membersihkan senjatanya, para pembunuh yang menamakan dirinya sukarelawan dan sukarelawati itu pasti melewati tempat saya ditawan," tambahnya.


Dengan demikian Sukitman bisa melihat dengan jelas siapa-siapa saja yang terlibat peristiwa yang meminta korban nyawa 7 Pahlawan Revolusi.


Ia pun sempat melihat Letkol Untung, yang mengepalai kejadiah kelam dalam sejarah militer di Indonesia itu.


Untung tertidur


Kemudian salah seorang anggota Cakrabirawa menghampiri Sukitman yang masih diliputi rasa takut.


"Kamu tidak usah takut. Kita sama-sama prajurit. Beli kaus singlet pun kita sudah tidak bisa. Sementara para jenderal yang menamakan diri Dewan Jenderal, jam dinding di rumahnya saja terbuat dari emas dan mereka akan membunuh Presiden pada tanggal 5 Oktober. Kamu 'kan tahu Cakrabirawa tugasnya adalah sebagai pengawal dan penjaga Presiden," kata Sukitman mengulangi apa yang diucapkan si anggota Cakra tersebut.


Waktu itulah Sukitman baru merasa agak tenang, meskipun ia masih tetap diawasi.


Ternyata anggota Cakra itu sudah di-drill, karena langsung berada di bawah komando Letkol Untung.


Sekitar satu dua jam kemudian melalui radio disiarkan, siapa yang mendukung G30S itu akan dinaikkan pangkatnya.


Satu tingkat untuk prajurit, sementara yang aktif akan memperoleh kenaikan dua tingkat.


Mendengar pengumuman itu semua yang merasa terlibat bersalam-salaman, karena merasa gerakan mereka sukses.


Setelah suasana agak tenang, Sukitman dipanggil oleh Lettu Dul Arief yang menanyakan di mana senjata Sukitman.


Sukitman menjelaskan apa yang terjadi ketika ia berada di daerah Kebayoran. Akhirnya senjata itu bisa ditemukan, walaupun dalam keadaan patah.


Mengira Sukitman bukan musuh, bahkan teman senasib, Jumat sore itu Sukitman diajak menuju Halim bersama iring-iringan pasukan.


Sesampai di Gedung Penas (daerah Bypass, sekarang Jl Jend. A. Yani) pasukan itu diturunkan di lapangan, sementara Sukitman masih bersama Dul Arief.


Pada malam harinya, entah mengapa, orang yang mengawasi tawanannya malah mengajak Sukitman untuk mengambil nasi.


"Ke mana?" tanya Sukitman.


"Ke Lubang Buaya, tempat para jenderal dibunuh," jawab Kopral Iskak, orang yang mengajaknya tersebut.


"Pada waktu itulah saya baru tahu bahwa yang dikatakan 'Ganyang kabir, ganyang kabir!' itu para jenderal," ungkap Sukitman.


Jalan yang diambil melewati Cililitan, Kramat Jati, Pasar Hek bukan sesuatu yang asing bagi Sukitman, karena dulu ia pernah mengikuti latihan di daerah itu.


Keadaan masyarakat masih tenang, karena belum menyadari apa yang terjadi. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 23.00. Manusia-manusia haus darah itu masih diliputi suasana "kemenangan".


Selesai mengambil nasi mereka segera kembali ke Gedung Penas untuk membagikannya kepada para pasukan.


"Ketika kembali menuju Gedung Penas itu saya sempat turun untuk membeli rokok. Saya pikir mendingan saya terus pulang saja," kata Sukitman.


"Jangan," kata Kopral Iskak yang menjadi sopir. "Saya juga pulangnya ke Tanah Abang." Ternyata Iskak adalah sopir Letkol Untung, yang mengotaki pemberontakan berdarah ini.


Karena kelelahan, akhirnya Sukitman tertidur. Hari Sabtu pagi Sukitman mulai pasang mata lagi.


Hari itu semakin siang, anggota pasukan semakin banyak dan mereka sudah berganti pakaian.


"Rupanya mereka sudah mempersiapkan segalanya," kisahnya.


Dalam suasana yang kurang menguntungkan itu Sukitman masih sempat jajan untuk mengganjal perutnya.


"Tapi kesempatan untuk melarikan diri sama sekali tidak mungkin," akunya.


Kira-kira pukul 14.00, karena merasa kepalanya pusing, Sukitman masuk ke kolong truk untuk berbaring.


la menggunakan helmnya untuk ganjal kepala, senjatanya yang patah pun ia simpan di dekatnya, sementara kepalanya yang pusing diikatnya dengan scarf yang sebelumnya digunakan oleh para pemberontak itu.


Rupanya Sukitman benar-benar jatuh tertidur.


"Meskipun saya mendengar bunyi tembakan gencar, entah mengapa mata saya tidak mau diajak kompromi untuk melek," katanya.


Ketika terbangun sore harinya, sekitar pukul 16.00, ia mendapati dirinya hanya sendirian di situ.


Sementara anggota pasukan yang demikian banyak siang itu, tak satu pun kelihatan batang hidungnya, sedangkan truk masih berjejer.


Sukitman menganggap hal itu suatu keberuntungan dan juga lindungan Tuhan.



Tiba-tiba datanglah pasukan tentara yang kemudian diketahui sedang mencari jejak anggota yang terlibat G30S/PKI. Pasukan itu mengenakan tanda pita putih.


"Prinsip saya, kalau pakai pita putih itu PMI. Jadi tidak mungkin menangkap tawanan dan dibunuh," ujarnya.


Karena tidak ada siapa-siapa lagi selain dirinya, Sukitman pun diperiksa.

Begitu pasukan itu tahu bahwa yang diperiksa seorang polisi, mereka pun kaget.


"Tanpa banyak tanya saya segera diberi pita putih dan langsung dibawa ke markas Cakrabirawa yang terletak di belakang Istana Negara, yang sekarang menjadi Gedung Binagraha," lanjutnya.


Saat itulah ia menjelaskan segamblang-gamblangnya apa yang dialaminya dan kemudian dibuatkan proses verbal.


Hal itu baru selesai pukul 03.00. Setelah selesai, segeralah hal itu disebarkan ke berbagai pihak yang dianggap perlu mengetahuinya.

Kepada pasukan baru itu ia mengaku dirinya adalah polisi yang dibawa pasukan penculik dari Kebayoran. Ia tak bisa memastikan siapa saja orang-orang yang diculik dan dibunuh di Lubang Buaya. Soekitman hanya bisa menginformasikan bahwa mereka yang dihabisi adalah orang-orang yang diteriaki "kabir" oleh para pembunuhnya. Polisi berpangkat rendah itu kemudian dibawa ke markas Resimen Cakrabirawa.

“Malam minggu saya diperiksa oleh letnan kolonel, namanya Ali Ebram,” kata Soekitman.

Kepada perwira intelejen Cakrabirawa yang sempat bertugas di Banteng Raiders Jawa Tengah itu ia berkisah. Soekitman menuturkan apa yang ia lihat dan alami sejak malam Jumat saat dirinya tengah berjaga di posnya. Ketika cerita sampai kepada jenderal bintang dua yang dianiaya dan dibunuh, Ali Ebram berseru sambil menggebrak meja, "Itu bapak saya!"

Dari sana Soekitman baru tahu bahwa jenderal bintang dua itu adalah Mayor Jenderal Siswondo Parman, asisten intelijen Ahmad Yani. Seperti Ali Ebram, Siswondo Parman juga berasal dari Jawa Tengah. Malam itu Soekitman tidur di markas Resimen Cakrabirawa.


Minggu pagi Sukitman dijemput dan segera dihadapkan kepada Pangdam V Jaya yang waktu itu dijabat oleh Mayjen Umar Wirahadikusumah.


Kemudian Sukitman dibawa oleh Mayor Mubardi, ajudan Jenderal A. Yani, ke Jl. Lembang, Jl. Saharjo, dan ke Cijantung.


Di sana Sukitman menghadap Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Sementara laporan Sukitman pun sudah ada di sana.


Bersama pasukan RPKAD Sukitman segera menuju ke lokasi pembantaian.


"Dari Pasar Hek kami harus jalan kaki dan langsung menyebar," kenangnya.


Di lokasi pasukan pemberontak masih banyak berkeliaran. Mereka segera diberi ultimatum, jika tidak menyerah akan segera dihancurkan.


Akhirnya RPKAD dapat menguasai keadaan dan bisa menemukan sumur yang digunakan untuk menyembunyikan jenazah para Pahlawan Revolusi itu.


Sejak hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, pukul 22.00, Sukitman sudah diambil lagi dan berada di bawah pengawasan Sarwo Edhie.


Sukitman dilarang untuk berbicara apa pun kepada orang lain.


"Karena kelelahan saya tertidur dan tidak tahu dibawa ke mana. Tahu-tahu saya sudah sampai di Jl. Merdeka Timur, melapor, dan menghadap Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Kemudian saya dibawa kembali ke Cijantung," kenang Sukitman.


Hari Senin tanggal 4 Oktober 1965 jenazah para Pahlawan Revolusi berhasil diangkat dari sumur dan segera dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (kini RS Gatot Subroto).


Ternyata tugas Sukitman masih belum selesai sampai di situ, ia dijemput lagi oleh pasukan dari Kodam.


Namun, atas perintah Pangdam V Jaya ia diambil lagi dari Cijantung.


Kemudian ia masih harus dibawa ke Kodam, Jl. Guntur, untuk diperiksa, setelah itu ke markas Cakra.


Baru pada hari Rabu, 6 Oktober 1965, Sukitman dikembalikan. Tentu saja rekan Sukitman serasa mimpi melihat temannya kembali tanpa kurang suatu apa pun, meskipun sepedanya penuh darah.


Sejarah kadang memang sulit diduga. Sukitman yang sedang menjalankan tugasnya ternyata terseret ke dalam peristiwa besar di republik ini.


Maka jadilah ia seorang saksi sejarah.


Tentu saja Sukitman menerima penghargaan berupa kenaikan pangkat menjadi Agen Polisi Satu.


Bintang Satria Tamtama diperolehnya bertepatan dengan Hari Kepolisian, 1 Juli 1966, dan Bintang Satya Penegak diberikan oleh Presiden Soeharto, tepat pada Hari ABRI, 5 Oktober 1966.


Pada zaman Orde Baru, dalam sebuah wawancara di TVRI pada acara "Gema Pancasila", Sarwo Edhi Wibowo menyebut Soekitman berjasa dalam menemukan para korban penculikan Gerakan 30 September. Seingat Soekitman, wawancara itu tayang pada 6 Oktober 1980.


Soekitman yang mendengar langsung ucapan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo di siaran TVRI itu merasa terharu. Akhirnya Soekitman berkeinginan untuk menemui mantan Komandan RPKAD tersebut untuk menyampaikan ucapan terima kasih atas perhatian beliau. Pada tahun 1982 berhasil menemui Sarwo Edhie.


“Kok kamu belum disekolah-sekolahkan?” tanya Sarwo Edhi Wibowo saat bertemu Soekitman pada 1982.

Sebagai orang kecil yang berpangkat rendah, Soekitman hanya bisa tersenyum. Setelah itu Sarwo Edhi Wibowo menulis surat kepada Kapolri Jenderal Awaloeddin Djamin. Atas bantuan Sarwo Edhi Wibowo, pada Agustus 1982 Soekitman akhirnya dimasukkan ke Sekolah Calon Perwira (Secapa) Polri selama empat bulan di Sukabumi.

Pada awal 1983, Soekitman ditempatkan di Brigade Motor. Sukitman terakhir berdinas di kepolisian selaku Kepala Sub Bagian (Kasubag) Regiden Polda Metro Jaya, dan pensiun pada 1998. Saat pensiun pada 1998, pangkatnya adalah Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) yang setara dengan Letnan Kolonel.



Setiap peringatan Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober, di Lubang Buaya, Sukitman merupakan salah satu undangan yang tak terlupakan.

Hal ini sangat membanggakan hatinya, karena ia merasa dihargai oleh pemerintah. Meski demikian, polisi berjiwa rendah hati ini tidak pernah merasa berjasa besar untuk republik ini.


AKBP (Purn) Sukitman

meninggal dunia pada Senin, 13 Agustus 2007 sekitar pukul 07.00 WIB. Sukitman meninggalkan seorang istri, tiga anak, dan tujuh cucu. Sebelum meninggal, Sukitman sempat menderita stroke, namun pada saat akan dilarikan ke Rumah Sakit (RS) Bhakti Yudha, tidak tertolong. Jenazah Sukiman disemayamkan di kediamannya di Jalan Pramuka, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. Indra Lesmana, yang merupakan putra ketiga almarhum, tampak tidak dapat menahan rasa haru yang mendalam. Sambil berurai air mata, Indra menjelaskan, bapaknya sangat bangga karena selama hidupnya dapat berguna bagi bangsa dan negara. (Dikutip dari berbagai sumber).