Bune Haba Riana Dalam Perspektif Etika

Kategori Berita

.

Bune Haba Riana Dalam Perspektif Etika

Koran lensa pos
Jumat, 17 September 2021

 Oleh : Suherman*

                        Suherman, S. Pd


"Bune haba riana?"Demikian kalimat pertanyaan salah seorang Pelajar SMA 2 Kilo menurut informasi media.

Pertanyaan itu menyulut amarah seorang warga yang kemudian mendatangi dan merusak kaca sekolah tersebut serta mengancam para guru dan pelajar dengan membawa senjata api rakitan.

Bune haba riana? Memang kalimat sederhana dan sepele bahkan mungkin ditengah masyarakat kita yang permisif, itu dianggap biasa. Namun bagi sebagian masyarakat atau orang tua yang memiliki anak perempuan yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai etika, kesopanan dan kesantutan itu dianggap sesuatu penghinaan dan pelecehan.

Etika dalam perspektif KBBI adalah bicara tentang yang baik dan buruk. Sementara dalam persepketif lain seperti penyelenggara pemilu, etika bukan saja bicara soal yang baik dan buruk. Namun bicara soal pantas atau tidak pantas, patut atau tidak patut.

Kalau kita kaitkan dengan pemaknaan etika menurut KBBI dan penyelenggara pemilu diatas. Apakah kalimat bune haba riana itu baik atau buruk, kalimat yang pantas atau tidak pantas, sebuah kalimat yang patut atau tidak patut?

Menurut saya, itu kalimat yang buruk, tidak pantas atau tidak patut dilontarkan oleh anak-anak-dalam hal ini pelajar kepada orang tua. 

Bune haba riana? atau dalam bahasa Indonesia diartikan bagaimana kabar mertua. Pertanyaanya seriusnya, kapan pelajar tersebut menikahi anaknya? bagi orangtua, kapan dia telah menikahkan anaknya sehingga dia dipanggil mertua. Okelah, kalau itu lagi-lagi dianggap candaan atau main-main tapi candaan dan main-mainya tidak mengenal tempat dan ruang.

Pentingnya etika

Saat ini ada dua hal yang penting dimiliki oleh pelajar atau anak-anak, yaitu memiliki ilmu pengetahuan dan etika. Dalam bahasa lain, ada yang nenyebut adab dan ilmu. Menurut saya sama saja.

Ilmu pengetahuan, selain dari bangku sekolah, juga bisa didapat darimana dan melalui sarana apa saja. Salah satunya melalui internet yang saat ini tengah berkembang pesat.

Namun, memiliki etika atau adab. Tidak bisa didapatkan melalui sekolah atau internet sebagaimana ilmu pengetahuan. Akan tetapi dia didapat melalui proses ketauladanan yang panjang. Ya dari orangtua, ya dari guru-gurunya.

Saya pikir, inilah tugas berat orang tua dan guru, bagaimana memberikan dan menanamka nilai-nilai etika kepada anak anaknya dirumah dan anak-anak didiknya di sekolah agar senantiasa dia bisa berprilaku dan berucap yang baik, yang pantas dan patut.

Pada sisi lain, kondisi psikologi, sosial dan ekonomi masyarakat saat ini begitu rapuh. Begitu cepat dan mudah tersulut amarah hanya karena hal-hal sapele. Yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cara-cara yang ramah dan diplomatis. Melalui cara-cara kekeluargaan atau bahkan melalui proses hukum.

Sebagai orangtua yang memiliki anak perempuan. Pastinya, saya akan tersinggung dan bahkan marah apabila nanti ada yang menyapa saya dengan sapaan di atas. Namun, saya tidak akan mersepon dengan represif sebagimana orang tua di atas. 

Cukuplah, saya diam dan mendoakan dalam hati karena itu cara yang paling lemah merubah keadaan.
(*Penulis adalah Sekretaris Umum MD KAHMI Kabupaten Dompu).