Lebih Dekat dengan H. Mansyur D, Peletak Pondasi Perubahan di Saneo (1)

Kategori Berita

.

Lebih Dekat dengan H. Mansyur D, Peletak Pondasi Perubahan di Saneo (1)

Koran lensa pos
Jumat, 28 Mei 2021

H. Mansyur D, 
               Mantan Kades Saneo 3 Periode 
                               (1973-1988)


Dompu, koranlensapost.com - 
Usianya memang tidak muda lagi, sudah 80 tahun. Tetapi fisiknya masih tampak segar bugar. Sorot matanya tajam menunjukkan kewibawaannya. Bahkan ingatannya pun masih sangat kuat. Dialah H. Mansyur D, mantan Kepala Desa Saneo 3 periode (1973-1988).
Saat media ini menemui di kediamannya di Dusun Pelita Desa Saneo Kecamatan Woja Kabupaten Dompu beberapa hari lalu, ia sedang duduk santai di salah satu kursi di emperan rumahnya. Ketika diwawancarai seputar masa kepemimpinannya di desa tersebut, ia mengisahkannya dengan lugas. Ingatannya tentang sejarah keberadaannya di desa tersebut pada puluhan tahun lalu masih melekat kuat. Ia menceritakannya dengan sangat jelas dan penuh semangat. Tak terasa rekaman pembicaraan dengannya hingga 1 jam 57 menit 03 detik.

H. Mansyur menuturkan Desa Saneo di Kecamatan Dompu Kabupaten Dompu NTB (sekarang masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Woja,red) pada era  70-an adalah wilayah yang benar-benar terpencil plus terisolir. Hal itu disebabkan karena belum adanya akses jalan  yang menghubungkan desa penghasil madu dan susu kuda liar tersebut dengan desa-desa lain di sekitarnya. Saat itu yang ada hanya jalan setapak. Masyarakat setempat saat itu bila hendak ke pasar tradisional Dompu sebagai pasar terdekat harus berjam-jam melintasi jalan setapak sambil menunduk di bawah rerimbunan semak belukar yang tumbuh dengan lebat sepanjang jalur yang dilalui sekitar 5 km. Belum lagi harus menghalau hewan-hewan buas berbahaya seperti berbagai jenis ular dan babi hutan.

Akhirnya pada tahun 1973, Mansyur D yang merupakan anggota TNI dari Kodim 1614/Dompu ditunjuk oleh pimpinan untuk di-karya-kan sebagai Kepala Desa Saneo. Penugasan Prajurit TNI itu menjadi Kepala Desa merupakan kebijakan Pemerintah di Zaman Orde Baru dalam rangka menjaga stabilitas kamtibmas pada masa itu.
Di awal penugasannya, Mansyur yang baru setahun pindah tugas dari Bali ke Kodim Dompu itu benar-benar merasakan kesulitan yang dialami warga desa tersebut. Bukan hanya akses jalan sebagai jalur transportasi yang belum ada. Warga desa tersebut juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Belum lagi gangguan kamtibmas berupa kasus pencurian ternak juga marak terjadi. Tetapi sebagai seorang prajurit sejati, pantang baginya untuk mundur dari perjuangan itu.

Setelah 3 kali 24 jam ia ditugaskan sebagai Kades Saneo, ia sempat menghadap Komandan Kodim saat itu untuk menyampaikan pengunduran diri sebagai Kades Saneo. Tetapi justru mendapatkan jawaban agar mencoba lagi.

"Jawaban dari pak Dandim saat itu saya diminta untuk mencoba lagi. Akhirnya saya kembali lagi ke Saneo dan setelah itu saya mendapatkan surat tugas tetap dari Panglima (Panglima ABRI) melalui Dandim," tuturnya.

Setelah menerima surat tugas dari Pimpinan TNI sebagai Kades Saneo definitif, Mansyur memboyong istri dan keempat anaknya (Kartini, Rahmawati, Zulkarnain, dan Juraid) yang masih kecil-kecil dari kediamannya di Potu (Kelurahan Potu Kecamatan Dompu) menuju Desa Saneo. Kendaraan yang digunakan untuk memboyong anggota keluarganya menuju Desa Saneo adalah kuda.

"Istri saya tidak naik kuda akhirnya jalan kaki sampai Saneo. Sedangkan anak-anak dinaikkan kuda. Ada dua ekor kuda yang dipakai saat itu," kenangnya.

Perjalanan memboyong keluarga dengan melintasi jalan setapak yang sekitarnya penuh dengan rerimbunan semak belukar bukanlah hal yang mudah. Di samping melelahkan juga membahayakan. Putra ketiganya, Zulkarnain yang duduk di atas punggung kuda di bagian depan sampai tertusuk kayu semak di bagian matanya.

"Saya sampai menangis melihat mata anak saya Zulkarnain yang tertusuk kayu taride (salah satu jenis tanaman semak). Itulah yang membuat tekad saya untuk segera membangun jalan," ucapnya mengenang kembali peristiwa 48 tahun silam.


Tekadnya sudah mantap untuk mulai meletakkan pondasi-pondasi perubahan di wilayah itu. Langkah-langkah perubahan dimulainya satu per satu. Ia mengajak warga Saneo dan Serakapi menggali parit untuk mengalirkan air dari sumber mata air di pegunungan supaya dialirkan ke perkampungan warga. (Waktu itu Serakapi masih sebuah dusun dalam wilayah administratif Desa Saneo. Pembentukan Desa Serakapi yang terpisah dari Desa Saneo baru berlangsung pada tahun 2012).
Berkat perjuangan yang gigih, akhirnya warga Saneo dan Serakapi bisa menikmati air bersih dari pegunungan Saneo.
Selanjutnya Mansyur mengajak warga kedua dusun tersebut untuk membangun akses jalur transportasi. Selama 12 hari mereka diajak bergotong royong merintis jalan baru itu sepanjang sekitar 5 km mulai dari Sungai Sori Sakolo hingga ujung Saneo. Pepohonan dan semak belukar dipinggirkan untuk pembuatan akses jalan baru itu. Waktu itu akses jalan baru yang dibuat itu bukan dimulai dari jembatan Sori Sakolo saat ini. Tetapi di bagian timur dari lokasi tersebut dengan melintasi persawahan milik warga setempat. Karena ada penolakan dari warga pemilik sawah, akhirnya dipindahkan ke sebelah barat. (Bersambung)