Andi Fardian, M.A
Oleh: Andi Fardian, M.A*
Kabupaten Dompu, bagi saya, memiliki potensi besar yang belum sepenuhnya tergarap dengan serius. Namun, satu hal yang paling menyita perhatian dalam pembangunan sumber daya manusia di daerah ini adalah kualitas pendidikannya yang masih tertinggal. Berbagai data menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Dompu berada di bawah dibandingkan dengan beberapa kabupaten/kota lain di NTB, dan jika dibandingkan dengan daerah-daerah di provinsi lain di Indonesia, kesenjangannya semakin terasa mencolok. Bahkan, daerah pelosok di Pulau Jawa bisa jauh lebih unggul dari Dompu.
Ini bukan sekadar persoalan infrastruktur atau anggaran, tetapi lebih dalam lagi menyangkut paradigma, sistem, dan keberanian untuk berbenah. Intinya adalah inovasi. Jika situasi ini terus dibiarkan, maka sekolah-sekolah di Dompu akan kehilangan fungsinya yang paling esensial: membebaskan manusia dari ketidaktahuan, kemiskinan, dan ketidakberdayaan.
Dalam konteks inilah, saya teringat film Dead Poets Society (1989) yang bisa dijadikan cermin dan sangat relevan untuk kita renungkan. Film yang disutradarai Peter Weir ini berkisah tentang seorang guru bernama John Keating yang mengajar di sebuah sekolah elite konservatif. Dengan pendekatan yang tidak biasa, Keating menolak cara mengajar yang kaku dan menekan, lalu menggantinya dengan cara yang membangkitkan semangat berpikir kritis, kepercayaan diri, dan kemerdekaan intelektual siswa. Melalui prinsip “Carpe Diem” atau “raih harimu”, ia mendorong murid-muridnya untuk tidak sekadar menghafal materi demi nilai, tetapi untuk memahami hidup dan menemukan makna belajar. Pelajaran paling penting dari film ini adalah bahwa pendidikan yang bermutu bukan sekadar transfer ilmu, melainkan transformasi cara berpikir.
Dompu membutuhkan pendekatan seperti itu. Selama ini, pendidikan di Dompu—kebanyakan SD, SMP, hingga SMA/SMK—masih terjebak dalam pola lama: guru mengajar untuk menyelesaikan kurikulum, siswa belajar untuk lulus ujian, dan sekolah berjalan demi administrasi. Dalam sistem semacam itu, tidak ada ruang bagi kreativitas, tidak ada keberanian untuk berpikir beda, dan tidak ada perhatian pada proses belajar yang sesungguhnya. Padahal, jika pendidikan terus diperlakukan seperti itu, maka kita hanya mencetak lulusan yang hafal buku tetapi tidak tahu cara memecahkan masalah. Di sinilah urgensi perubahan itu perlu dimulai—dan harus dilakukan dengan strategi yang sistematis, terukur, dan melibatkan semua pihak.
Strategi pertama yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Dompu adalah menyusun peta jalan pendidikan jangka menengah dan panjang yang berbasis pada data riil dari sekolah-sekolah. Peta ini harus memuat evaluasi menyeluruh atas capaian siswa, kondisi guru, rasio murid-guru, akses ke teknologi pembelajaran, hingga keberadaan perpustakaan dan laboratorium. Dari data ini, bisa dibentuk target-target yang jelas dan realistis: misalnya peningkatan skor literasi numerasi dalam tiga tahun, pengurangan angka putus sekolah di desa-desa terpencil, atau peningkatan guru bersertifikasi di daerah pinggiran. Tanpa peta yang jelas, kebijakan hanya akan berjalan seperti menembak dalam gelap.
Kedua, perlu dilakukan reformasi pelatihan dan pengembangan guru secara serius dan menyentuh kebutuhan nyata mereka di lapangan. Pelatihan selama ini terlalu terpusat, terlalu administratif, dan tidak kontekstual. Pemerintah daerah dapat berinvestasi pada skema micro-training tematik yang langsung menyasar keterampilan mengajar—misalnya strategi mengajar berbasis proyek (project-based learning), metode diskusi untuk mengembangkan literasi kritis, atau penggunaan teknologi sederhana dalam pembelajaran. Guru juga perlu komunitas belajar antar sekolah (learning community) di tingkat kecamatan, tempat mereka bisa berbagi pengalaman, saling merefleksi praktik mengajar, dan bersama-sama memperbaiki mutu pembelajaran. Dalam film Dead Poets Society, keberanian Keating untuk mengajar di luar metode konservatif tidak datang dari pelatihan formal, melainkan dari kedalaman berpikir dan keterbukaan terhadap pendekatan baru. Hal serupa perlu difasilitasi bagi para guru di Dompu.
Ketiga, Dompu perlu memperkuat peran kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran (instructional leader), bukan hanya sebagai manajer administratif. Kepala sekolah harus menjadi figur perubahan yang mendorong budaya belajar di lingkungan sekolah. Untuk itu, pelatihan kepemimpinan sekolah harus difokuskan pada kemampuan menganalisis data pembelajaran, mendampingi guru dalam menyusun strategi pengajaran, dan menciptakan iklim sekolah yang terbuka, suportif, dan inovatif. Kepala sekolah yang hanya duduk di balik meja tidak akan pernah tahu apa yang terjadi di ruang kelas. Ia harus hadir, melihat, dan terlibat dalam proses belajar mengajar.
Keempat, perlu dikembangkan kemitraan pendidikan dengan lembaga luar—baik dengan perguruan tinggi, LSM pendidikan, dunia usaha, maupun media lokal. Dompu tidak bisa berjalan sendiri dalam membenahi pendidikannya. Melalui kemitraan ini, sekolah-sekolah bisa mendapatkan pendampingan berkualitas, sumber daya tambahan, hingga peluang inovasi yang sulit dijangkau bila hanya mengandalkan anggaran APBD. Pemerintah daerah bisa memfasilitasi program sekolah penggerak lokal atau kompetisi inovasi pembelajaran antar-guru yang hasilnya diberi insentif. Prinsipnya: siapa pun yang punya semangat perubahan harus diberi ruang dan dukungan.
Kelima, masyarakat Dompu harus dilibatkan dalam gerakan bersama untuk memuliakan pendidikan. Orang tua perlu diberi ruang untuk ikut belajar, berdiskusi, dan memahami pentingnya mendampingi anak dalam proses belajar. Tokoh agama, tokoh adat, dan pemuda bisa menjadi duta literasi di desa-desa. Gerakan membaca buku di rumah, bimbingan belajar gotong royong, atau taman belajar kampung bisa menjadi bagian dari ekosistem pendidikan Dompu yang lebih hidup. Dalam Dead Poets Society, perubahan terjadi karena ada komunitas yang ikut mendukung perubahan, bukan semata-mata karena satu guru. Begitu pula dengan Dompu—pendidikan yang berkualitas tidak bisa lahir dari sekolah saja, tapi dari kesadaran kolektif bahwa mendidik anak adalah urusan semua orang.
Sudah saatnya Dompu belajar dari kisah inspiratif seperti Dead Poets Society. Sekolah harus berhenti menjadi tempat yang hanya mengejar angka dan seragam. Ia harus kembali menjadi ruang yang membebaskan cara berpikir, memupuk keberanian untuk bertanya, dan membentuk manusia yang tahu cara hidup, bukan sekadar cara menjawab soal. Jika John Keating bisa menyalakan api semangat belajar di sekolah konservatif yang dingin dan kaku, maka para guru dan pemimpin pendidikan di Dompu pun bisa—asal punya keberanian yang sama untuk melawan kenyamanan status quo.
(*Penulis adalah Pengamat Pendidikan)