"Kuasa Bahasa dalam Penamaan Karakter Dou Donggo dalam Pendekatan Wacana Sejarah"

Kategori Berita

.

"Kuasa Bahasa dalam Penamaan Karakter Dou Donggo dalam Pendekatan Wacana Sejarah"

Koran lensa pos
Senin, 22 Mei 2023
Sugerman Hasan, M. Pd




Oleh : Sugerman Hasan*

      Model analisis wacana kritis yang saya gunakan untuk menguak kuasa bahasa dalam penamaan karakter Donggo yang dikenal keras, kasar, pembangkang, dan pelit yaitu model analisisnya Ruth Wodak. Pendekatan yang terkenal dari model ini yaitu pendekatan wacana sejarah. Pemikiran Wodak dipengaruhi oleh pemikiran dari Frankfurt yaitu Habermas. Ia mengembangkan model analisis wacana dengan melihat konteks sejarah dalam pemroduksian teks. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Wodak (1996) bahwa wacana tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah (historis). 
       Ada lima pertanyaan kunci dan merupakan komponen dan strategi diskursuf yang dikemukakan oleh Wodak (1996) yaitu sebagai berikut. 
1) Bagaimanakah penyebutan nama orang dan secara lingual mengacu kepada siapa?
2) Bagaimanakah sifat, karakter, kualitas, dan bentuk pendeskripsian kepada mereka?
3) Bentuk argumentasi seperti apa seseorang atau kelompok dideskripsikan secara eksklusif dan inklusif?
4) Dari sudut pandang manakah pendeskripsian, pelabelan, dan bahkan argumentasi yang disampaikan?
5) Apakah bentuk tuturan yang disampaikan secara jelas atau eksplisit, apakah diintesifkan, atau apakah malah dikurangi?.
      Kelima pertanyaan di atas diciptakan sebagai strategis pemroduksian dan konsumsi teks (strategi diskursuf). Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghadirkan kualitas diri sendiri dan menganggap rendah orang lain. Hal ini sesuai dengan dikemukakan (Wodak, 1996) bahwa kelima jenis strategi diskursif tersebut menghadirkan citra diri sendiri yang positif dan orang lain dianggap negatif. Menurutnya, ada empat jenis analisis fitur linguistik yang harus diperhatikan dalam menganalisis wacana yaitu sudut pandang (perspektivasi), strategi representasi diri, strategi argumentasi, dan strategi mitigasi. Dengan demikian, apabila menggunakan empat model analisis tersebut, maka akan diketahui model pengembangan wacana yang dilaksanakan dalam bidang seksisme, antisemit, bahkan rasisme. 
       Berdasarkan teori tersebut, saya mencoba untuk menganalisis kasus bahasa yang diasumsikan sebagai bentuk rasisme atau sebagian orang menganggapnya bukan rasisme. Dalam konteks wacana sejarah, pelabelan atau penamaan orang Donggo berkarakter keras, kasar, pembangkang, bahkan pelit, berawal dari Ncuhi Donggo yang tidak mau membayar upeti kepada Hindia Belanda dan Kerajaan Bima (Baca: Perang Kala). Karena mereka tidak mengindahkan peraturan pembayaran upeti tersebut, akhirnya beberapa pejuang Donggo diasingkan ke Ende NTT, salah satunya Ompu Ntehi dan bahkan ada yang dibunuh. Dalam sejarah perang Bima, hanya orang Donggo yang tidak tunduk kepada Hindia Belanda. 
      Pelabelan dan stigmatisasi tersebut merupakan bentuk hegemoni kekuasaan yang dilakukan oleh Hindia Belanda dan Kerajaan Bma kepada masyarakat. Namun, masyarakat Donggo saat itu mempunyai prinsip tidak mau tunduk kepada penjajah serta mereka berjuang untuk menuntut keadilan dari para penguasa. 
Pemakaian bahasa dalam perspektif analisis wacana kritis (AWK) dapat merepsentasikan relasi kuasa sehingga memiliki karakteristik ideologis tertentu, misalnya dalam dunia politik, kontruksi teks yang diproduksi oleh politisi sangat sarat akan kepentingan ideologi yang menggambarkan dominasi dan ketidakadilan. 
      Dalam kasus stigmatisasi berbentuk rasis yang beredar merupakan gambaran dominasi kekuasaan Hindia Belanda, Kerajaan, dan rakyat yang mendukung penguasa saat itu dan. bahkan sampai saat ini, sehingga kelompok-kelompok inferior seperti orang Donggo dilabeli dengan karakter seperti itu. Berikut hasil analisisnya.
       Pertanyaan pertama, bagaimanakah penyebutan nama orang dan secara lingual mengacu kepada siapa?.
Dalam teks “manusia sa donggo donggo lalon dou binatang mpoi…”. Teks ini tidak secara eksplisit menyebut nama orang, tetapi secara lingual diungkapkan secara implisit mengacu kepada orang donggo karena menggambarkan sifat atau perangai masyarakat donggo yang sesuai dengan stigmatisasi di atas. 
      Pertanyaan kedua, bagaimanakah sifat, karakter, kualitas, dan bentuk pendeskripsian kepada mereka?. 
Dalam teks “manusia sa donggo donggo lalon dou binatang mpoi…”. Teks ini ingin menunjukkan karakter diri pemroduksi teks serta ingin menjelaskan karakter orang lain dan kelompok lain. 
      Pertanyaan ketiga, bentuk argumentasi seperti apa seseorang atau kelompok dideskripsikan secara eksklusif dan inklusif?
Dalam teks “manusia sa donggo donggo lalon dou binatang mpoi…”.  Secara ekskulif pemroduksi teks merupakan satu kelompok masyarakat yang menutup diri dengan budaya lain dan tidak mampu memahami kosakata yang digunakan apakah dapat membuat orang lain tersinggung atau tidak?, ditengah keragaman budaya masyarakat. Kemudian, dari sisi inklufisnya, pemroduksi teks tidak mampu menyesuaikan diri dengan budaya lain. 
      Pertanyaan keempat, dari sudut pandang manakah pendeskripsian, pelabelan, dan bahkan argumentasi yang disampaikan?. Sederhana saja jawabanya, sudut pandang dari stigmatisasi di atas dan umpatan-umpatan yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat di luar suku Donggo. 
       Pertanyaan terakhir, apakah bentuk tuturan yang disampaikan secara jelas atau eksplisit, apakah diintesifkan, atau apakah malah dikurangi?.
Pada tulisan sebelumnya, saya dan beberapa pemerhati bahasa, sudah menjelaskan secara detail perihal masalah tersebut, apakah disampaikan eksplisit, jawabannya (YA) karena mengacu pada ungkapan yang menjelaskan atau membandingkan sifatnya seperti  orang donggo. Apakah masalah ini terus menerus diproduksi, jawabanya (YA). Umpatan-umpatan “sadonggo-donggona” merupakan suatu hal biasa bagi masyarakat di luar Donggo dan beberapa kata kasar lainnya yang sering diungkapkan seperti “lako donggo”, “dou doro”,  dan sebagainya. 
       Fokus analisis AWK ini berpihak kepada orang-orang atau kelompok masyarakat yang tertindas dan terpinggirkan oleh hegemoni kekuasaan. Lalu siapakah orang atau kelompok yang tertindas?, siapakah orang atau kelompok yang dianggap negatif dalam perspektif wacana sejarah di atas?, apakah karena tidak tunduk kepada penjajah, lalu distigmatisasi negatif?. Inilah beberapa pertanyaan yang semestinya direnungkan oleh kita semuanya. Stigmatisasi orang Donggo yang berkarakter seperti itu, masih mandarah daging sampai dewasa ini. Kita sudah merdeka, kita sudah terlepas dari belenggu penjajahan, kok kita masih bermental penjajah?. Menganggap diri sendiri atau kelompok sendiri lebih hebat dan menstigmatisi orang lain atau kelompok lain negatif dan bahkan rendah.

*Penulis Dosen Bahasa Indonesia di STKIP YAPIS Dompu