Oleh : Ir. Nurhaidah*
Pict. Keris "Balaba" (menurut sebuah sumber, keris pampasan perang dengan Makassar)LEWA GOA
Sultan Abdullah Ahmad-Manuru Kilo, Sultan Dompu yang ke-4, terlanjur menyatakan tunduk pada Makassar di luar sepengetahuan saudaranya Abdul Rasul I, yang menjabat sebagai Ruma 'Bicara (Wazir). Setelah akhirnya menjadi sultan Dompu yang ke-5, Abdul Rasul segera menabuh genderang perang dengan Makassar, untuk mencabut kembali kesepakatan kesultanan Dompu tunduk kepada Makassar.
Sewaktu kecil, Abdul Rasul belajar ilmu agama, sekaligus ilmu kesaktian. Dari belajar ilmu kesaktian Abdul Rasul mendapatkan keris pusaka bernama "La Mbesi Poro" karena bentuknya yang pendek, ilmu kesaktian yang dimiliki Abdul Rasil disebut "Sampari Poro" (Keris pendek). Watak Abdul Rasul yang tidak sabaran (sadompo), postur tubuhnya yang pendek (poro) dan juga langkah-langkahnya yang pendek (kapori), di samping juga memiliki keris pusaka yang pendek, Sultan Abdul Rasul diberi julukan "La Mbesi Poro".
Langkah pertama yang diambilnya adalah menolak dan mencabut kesepakatan tunduk pada Makassar. Selanjutnya menggalang kerjasama dengan raja-raja sekitarnya, membangun benteng untuk melindungi istana Bata dan di lereng bukit Laju membangun paseban atau balai tempat pertemuan para pemimpin merundingkan siasat menghadapi Makassar.
Perang dengan Makassar tidak dapat dihindari. Makassar menyerang Kesultanan Dompu dan dalam perang ini Sultan Abdul Rasul gugur, dimakamkan di bukit Laju, sehingga gelar anumertanya Manuru Laju. Perang dengan Makassar ini dikenal dengan LEWA GOA. Orang Makassar memberi julukan kepada Abdul Rasul "Janga Jao Laju" (Ayam jantan dari bukit Laju).
Akibat perang ini istri dsn anak-snak beserta pengikutnya ditawan di Makassar tanggal 18 Juni 1640.
Selama 27 tahun Dompu berada di bawah tirani Makassar sampai akhirnya terjadi perjanjian Bongaya tahun 1667.
Sultan Dompu yang ke-7 yang diangkat Belanda, memukimkan eks laskar Makassar di sekitar Istana Bata. Laskar Makassar yang berasal dari Kandai-Kendari dimukimkan di bagian timur istana Bata, laskar dari Tondano di bagian tengah, laskar dari Goa, Bontoleang-Sulsel di bagian barat. Penempatan pemukiman ini membuat para bangsawan Dompu terdesak sehingga memilih pindah ke sebelah utara sungai, yang menjadi kampung Rato sekarang. Di catatan lain juga disebutkan laskar eks Makassar ditempatkan juga di Bugis dan Bada.
Jika merujuk pada catatan ini dan juga sumber lain, Makassar menyerang Dompu bukan dalam misi mengislamkan Dompu, tapi lebih tepat untuk misi penguasaan, karena Dompu sudah berbentuk kesultanan.
Demikian dari catatan AR Mustakim, awal dari bermukimnya orang-orang Makassar/Bugis di Dompu dan juga terjadinya akulturasi kebudayaan bugis, baik dari segi pakaian, seni tari beserta kulinernya. (Bersambung).
*Penulis adalah Peneliti dan Pemerhati Sejarah dan Budaya Dompu