Foto bersama usai Workshop PUSPA di Gedung Dharma Wanita Dompu, Kamis (29/8) |
Tiga permasalahan yang menimpa perempuan dan anak di atas tak terkecuali terjadi di Kabupaten Dompu. Bahkan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Dompu, Hj. Daryati Kustilawati, SE., M. Si mengungkapkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Bumi Nggahi Rawi Pahu ini persentasenya masih tertinggi di Provinsi NTB.
Karena itu, dalam acara Workshop Partisipasi Publik Untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) yang digelar di Gedung Dharma Wanita Kabupaten Dompu, Kamis (29/8), Daryati kembali menegaskan agar semua komponen terkait bersinergi untuk menggaungkan kepada masyarakat luas agar kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak bisa dicegah.
Ia menekankan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak membutuhkan sinergitas dan partisipasi dari berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing. Demikian pula stakeholder lainnya, misalnya organisasi-organisasi wanita seperti Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Gabungan Organisasi Wanita (GOW), Gabungan Organisasi Penyelenggara Taman Kanak-kanak Indonesia (GOPTKI), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Lembaga Perlindungan Anak (LPA), Forum Perempuan Indonesia (FPI), dunia usaha, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, media, dan berbagai komponen lainnya.
Dikatakannya untuk mewujudkan kolaborasi dan sinergitas itu, telah dibentuk Forum PUSPA sejak tahun 2018 melalui SK Kepala Dinas PPPA Kabupaten Dompu.
"Mengapa Forum PUSPA ini dibentuk ? Karena kami sadar bahwa pemerintah daerah dalam hal ini Dinas PPPA tidak mampu bekerja sendiri untuk mencegah dan mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi terjadi terhadap perempuan dan anak, sehingga kami membutuhkan sinergitas dari berbagai pihak," jelas Daryati.
Ia mengemukakan organisasi maupun lembaga-lembaga di atas harus memastikan bahwa program-programnya mengarah pada kegiatan yang responsif gender dan memuat pemenuhan terhadap hak-hak anak.
"Mari kita perhatikan lagi apakah dalam program kita sudah tertuang kegiatan yang responsif gender untuk kesejahteraan perempuan dan anak ?," ucapnya.
Menurutnya, untuk mewujudkan kegiatan yang responsif gender dan melindungi hak-hak perempuan dan anak tidak harus berupa sosialisasi dan penyuluhan yang bersifat resmi tetapi bisa melalui diskusi-diskusi ringan dalam forum-forum non formal.
Menurutnya pendekatan-pendekatan kepada masyarakat cukup efektif untuk mencegah terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Melalui metode pendekatan ini bisa diperoleh informasi langsung dari masyarakat dan selanjutnya dicarikan solusi bersama untuk mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi. (AMIN)