Bima, Lensa Pos NTB - Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat boleh dikata merupakan "Negeri Di Atas Awan" karena berada di atas ketinggian sekitar 700 m di atas permukaan laut (dpl). Bahkan desa Sambori, salah satu desa di kecamatan tersebut berada di ketinggian 741 mdpl (data BPS 2016).
Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Woha dan Kecamatan Monta di sebelah barat, Kecamatan Belo di sebelah timur, dan Kota Bima di sebelah utara.
Di kecamatan ini terdiri dari 6 desa yakni Sambori, Kuta, Teta, Londu, Kaowa dan Kaboro. Berdasarkan data BPS 2016 jumlah penduduk di Kecamatan ini sebanyak 5.433 jiwa yang terdiri dari 50,50 % laki-laki dan 49,50 % perempuan. Kepadatan penduduk rata-rata 83 jiwa/km (Kecamatan Lambitu Dalam Angka 2016). Pada umumnya masyarakat bermata pencaharian sebagai petani dan ada juga yang sambil beternak sapi dan kambing. Jagung merupakan komoditas utama saat ini. Tetapi sejak dulu kawasan ini dikenal sebagai penghasil bawang putih.
Keunikan-keunikan dan keaslian budaya yang ada di lingkungan masyarakat di 6 desa di kecamatan Lambitu menarik untuk dipelajari. Sehingga tidak sedikit para pemerhati sejarah maupun budaya hadir di daerah ini guna melakukan penelitian-penelitian. Bila kita membuka situs google ternyata banyak kita temukan tulisan-tulisan yang menggambarkan kekaguman penulis terhadap keunikan dan keaslian budaya masyarakat di wilayah ini.
Di antaranya adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat Lambitu. Sehari-hari menggunakan bahasa daerah tersendiri yang disebut dengan Inge Ndai atau bahasa Sambori. Ada juga yang menyebutnya dengan sebutan bahasa Mbojo Ntoi (Bahasa Bima lama) yang tetap terpelihara keasliannya oleh masyarakat setempat. Meski demikian pada umumnya masyarakat setempat juga bisa berbahasa daerah Mbojo sebagai bahasa yang umum digunakan oleh masyarakat Bima.
Selanjutnya di Desa Sambori terdapat Uma Lengge, yaitu rumah adat masyarakat setempat dengan atap dibuat dari alang-alang berbentuk kerucut yang menutupi tiga perempat bagian bangunan rumah ini. Rumah ini memiliki desain yang sangat khas yang menarik perhatian wisatawan untuk melihatnya dari dekat.
Kemudian di Dusun Teta Awa Desa Teta terdapat mata air "Lakunde". Uniknya mata air "Lakunde" ini berasa asam padahal mata air lain yang ada di sekitarnya tetap tawar.
Keunikan dan kelestarian budaya masyarakat Lambitu akhir-akhir ini semakin membuat masyarakat luar kecamatan maupun luar kabupaten bahkan dari ibukota Jakarta tertarik untuk mengunjunginya. Hal ini dapat menjadi destinasi wisata alam maupun wisata sejarah dan budaya yang mampu menarik kunjungan wisatawan domestik bahkan mancanegara.
Namun demikian jalur transportasi menuju wilayah kecamatan ini masih cukup memprihatinkan.
Ahmad Syafruddin, tokoh masyarakat di Desa Teta berharap pemerintah daerah Kabupaten Bima dapat memperbaiki jalur transportasi yang menuju Kecamatan yang terisolir ini.
Dikatakannya jalur dari arah Roi-Roka memang sudah beraspal. Tetapi membutuhkan perbaikan di sepanjang jalur ini. Tikungan-tikungan yang menukik tajam perlu mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah agar lebih aman untuk dilalui. "Misalnya dengan cara diperlebar lagi sehingga aman saat kendaraan berpapasan," usulnya. Demikian pula beberapa lubang akibat gerusan air hujan di bahu jalan juga cukup membahayakan bagi pengguna jalan.
Selain itu kondisi bahu jalan di sepanjang jalur ini lebih rendah dari badan jalan sehingga sangat menyulitkan ketika ada kendaraan berpapasan, terutama kendaraan roda empat berpapasan dengan kendaraan roda empat pula maupun dengan sepeda motor. Apalagi di bagian-bagian jalur tanjakan dan tikungan. Seharusnya konstruksi bahu jalan harus sama dengan badan jalan.
Di pinggir jalur juga perlu dipasang pagar pengaman (guard rail) untuk menjaga keselamatan kendaraan yang melintas di sepanjang jalur tersebut.
Demikian pula jalur dari arah Desa Lampe juga ia berharap pemerintah dapat memperbaikinya sehingga memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk melintasi jalur ini.
Ia menyebutkan di Desa Teta juga terdapat Air Terjun "Kanduru" yang kerap dikunjungi oleh masyarakat. Namun jalur sepanjang sekitar 2 km dari Desa Teta ini juga sangat susah dilalui oleh kendaraan. "Semoga jalan yang menuju mata air "Kanduru" ini mendapat perhatian pemerintah untuk diperbaiki," pungkasnya. (AMIN)