Tradisi Lu'u Daha, Budaya Menyambut Hari Raya di Kesultanan Dompu yang Telah Punah Ditelan Waktu

Kategori Berita

.

Tradisi Lu'u Daha, Budaya Menyambut Hari Raya di Kesultanan Dompu yang Telah Punah Ditelan Waktu

Koran lensa pos
Sabtu, 13 April 2024
                  

Oleh: Faisal Mawa'ataho

Kesultanan Dompu merupakan salah satu dari 3 kesultanan besar di Pulau Sumbawa pada masa lalu. Kesultanan yang merupakan kelanjutan dari kerajaan kuno yang juga bernama Kerajaan Dompu ini mengalami Islamisasi di Abad ke 16. Pendiri Kesultanan Dompu yakni Sultan Syamsuddin bergelar Rumata Mawa'a Tunggu. Raja dan keluarganya telah memeluk Islam meskipun belum semua rakyat menerima agama tauhid tersebut. Tradisi dan perayaan keagamaan Islam pun masih sangat terbatas.

Islamisasi Kesultanan Dompu memasuki babak baru di bawah kepemimpinan sultan ketiga bernama Sultan Sirajuddin atau Manuru Bata. Beliau lama tinggal di Gowa dan memulai Makassarisasi terhadap budaya Dompu. Di masa kepemimpinan beliau, pengaruh politik Gowa terhadap Dompu sangat kuat. Sultan Sirajuddin mematuhi kebijakan politik dan keagamaan dari Gowa sehingga membuat seluruh rakyat Dompu akhirnya memeluk Islam.

Namun selama berabad-abad berdiri, Kesultanan Dompu menerapkan tradisi sufistik yang jauh dari hiruk pikuk perayaan besar-besaran. Para ulama berpengaruh di Dompu yang umumnya keturunan Arab atau berasal dari Sumatera sepertinya fokus membina spiritualitas ketimbang seremonial belaka. Keadaan politik Kesultanan Dompu yang dari tahun ke tahun terus bergejolak pun tampak menjadi faktor utama kurangnya perhatian terhadap seremonial keagamaan di Kesultanan Dompu. Hingga akhir abad ke-18, Kesultanan Dompu belum mempunyai format resmi seremonial keagamaan.

Stabilitas politik mulai terbangun pada tahun 1805 ketika Sultan Muhammad Tajularifin I berkuasa setelah lima dekade kesultanan ini dilanda kemelut politik. Pernikahan Sultan Tajularifin I dengan puteri pamannya, yakni Sultan Abdurrahman, dianggap sebagai islah politik kedua trah politik abad 18, Abdurrahman Manuru Kempo dan Abdulwahab Mawa'a Ca'u. Di masa Tajularifin I inilah seremonial keagamaan di Kesultanan Dompu kembali digagas. Ditetapkan empat hari raya yang dirayakan secara seremonial yang dinamakan Upacara Lu'u Daha. Keempat hari raya tersebut yakni Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi dan Isra' Mi'raj.

Upacara Lu'u Daha merupakan upacara adat yang melibatkan seluruh unsur Kesultanan Dompu.  Sehari sebelum hari raya, dilakukanlah upacara penyambutan di istana Dompu pada sore hari yang dihadiri oleh Sultan, Dewan Menteri (Rato),  Dewan Penasehat (Tureli), pejabat keagamaan, unsur militer, kepala-kepala daerah (jeneli), kepala kampung (galara, sarian) dan rakyat. Dibunyikanlah genderang/tambur, gendang, dan serunai untuk mengiringi tari-tarian perang dan ketangkasan seperti Mpa'a Gantao, Mpa'a buja kadanda, Mpa'a Parise, Mpa'a Sere, dan sebagainya.

Di tempat terpisah, rombongan pasukan berkuda dipimpin Anangguru Kilo berangkat dari kediaman pribadinya menuju istana. Di belakang pasukan berkuda ini berbarislah pasukan Suba yang membawa dan membunyikan tambur perang. Setibanya di depan istana, Anangguru Kilo memimpin pasukannya dan disertai ketangkasan mengucapkan Makka, yakni puisi berisi sumpah setia kepada raja Dompu.

Sementara itu sebuah rombongan pasukan Suba lain yang dipimpin oleh Rato Renda (Menteri Pertahanan) sampai di halaman istana lalu mengelilingi lapangan (Sera) di halaman istana. Bagian depan pasukan ini juga membawa dan membunyikan tambur perang. Di ujung belakang pasukan ada Anangguru Sere yang melakukan pertunjukan tarian ketangkasan Mpa'a Sere. Seusai pasukan mengitari sera asi dan Anangguru Sere selesai melakukan Mpa'a Sere, maka suara gendang dan serunai berhenti berbunyi.

Lalu pasukan berkuda berangkat ke rumah kediaman Rato Bumi Jara (Kepala Pasukan Invanteri) dan kediaman Anangguru Mangaji (Guru Agama Khusus Istana) untuk menjemput dua buah tambur kerajaan. Begitu mereka kembali dan sampai di halaman istana, mereka disambut dengan bunyi gendang dan serunai. Anangguru Sere kembali melakukan tarian Mpa'a Sere sebagai sambutan. Begitu Mpa'a Sere dan musik berhenti, para Rato, Tureli, Rato Bumi, Jeneli, Bumi, dan seluruh Anangguru melakukan Makka di depan Sultan Dompu.

Acara selanjutnya disebut Ampa Galara yang dihadiri seluruh Galara dan Sarian dari Kejenelian Dompu dan Kempo. Rombongan Galara ini memasuki halaman istana  dengan membawa alat dan bahan perjamuan makan menurut adat Dana Dompu untuk dipersembahkan kepada Sultan Dompu, terdiri atas ternak dan hasil bumi seperti sayur dan buah-buahan. Setibanya mereka di lapangan sera asi, Rato Dea (Menteri Dalam Negeri) memerintahkan Galara Katua untuk memberikan pidato yang berisi puji-pujian serta do'a dari rakyat untuk Sultan Dompu. Acara kemudian dilanjutkan dengan pembacaan do'a oleh Imam Kesultanan Dompu.

Acara juga kembali dilanjutkan dengan pengumuman dan himbauan dari Rato Dea atas nama Sultan Dompu agar seluruh rakyat melaksanakan Shalat Id besok di lapangan kesultanan. Acara Ampa Galara ditutup dengan pidato dan pengarahan dari Sultan Dompu hingga selesai pada petang harinya.

Keesok paginya, pasukan Anangguru Kilo kembali berangkat ke istana. Di sana, seluruh pejabat Kesultanan Dompu berkumpul di halaman istana. Lalu pasukan berkuda berangkat ke rumah kediaman Rato Bumi Jara dan kediaman Anangguru Mangaji untuk menjemput dua buah tambur kesultanan. Begitu mereka kembali dan sampai di halaman istana, mereka disambut dengan bunyi gendang dan serunai. Anangguru Sere kembali melakukan tarian Mpa'a Sere sebagai sambutan.

Kemudian barisan pasukan diatur dengan urutan; barisan pasukan berkuda, barisan Suba, barisan tambur kerajaan, kemudian para anangguru. Di belakang mereka berdiri para pejabat hadat dan hukum Kesultanan Dompu. Begitu barisan telah siap, Sultan Dompu keluar dari istana dan bergabung dengan barisan pejabat kesultanan dengan menaiki kuda kesultanan. Rombongan itu akhirnya berangkat ke lapangan untuk melaksanakan Shalat Id.

Setelah pelaksanaan Shalat Id, sultan pun kembali ke istana diiringi oleh pasukan, pejabat dan rakyat seperti sebelumnya. Sesampainya di istana, maka semua pejabat hadat dan hukum serta para gelarang dan sarian berkumpul di halaman istana. Lalu Gelarang Katua, Gelarang Daha, dan Gelarang Hu'u satu persatu mengucapkan Kande (Pantun Nasihat) untuk Sultan Dompu. Setelah itu kembali dibacakan do'a oleh Imam Kesultanan Dompu. Acara selanjutnya yakni perjamuan makan yang disediakan oleh Sultan Dompu dan pembagian sedekah dan zakat untuk rakyat.

Pada sore harinya, kembali diulangi upacara Lu'u Daha seperti yang diadakan pada sore hari kemarin meskipun tidak diselingi acara Ampa Galara. Sebagai mana biasa acara tersebut diawali oleh kedatangan pasukan Anangguru Kilo dan diakhiri dengan pidato dan pengarahan dari Sultan Dompu. Acara seremonial inipun secara resmi selesai dan ditutup.

Sejak awal Abad ke-19, seremonial semacam ini tetap diadakan di Kesultanan Dompu. Seremonial Lu'u Daha ini juga sempat dihidupkan kembali pada masa Sultan M. Tajularifin II yang berkuasa tahun 1947-1958. Namun semenjak Kesultanan Dompu dihapus dan struktur pemerintahannya dibubarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, tradisi ini kembali menghilang begitu saja. Bahkan bagi hampir semua generasi muda di Kabupaten Dompu kini, tradisi ini adalah sesuatu yang asing dan tidak dikenal sama sekali. Sungguh sangat disayangkan.[]