Kisah Kesetiaan Abdurahman Habe Pada Sultan Muh. Sirajuddin

Kategori Berita

.

Kisah Kesetiaan Abdurahman Habe Pada Sultan Muh. Sirajuddin

Koran lensa pos
Senin, 29 April 2024
Sultan Muhammad Sirajuddin (Manuru Kupa) ditemani para penasihat dan pelayan setianya


Tidak berlebihan jika mengatakan tidak banyak orang seperti Abdurrahman Habe di Dompu. Seorang pelayan setia sultan Muhammad Sirajuddin hingga memilih meninggal di tanah pengasingan bersama sultannya. Ia setia mendampingi ketika sultannya harus menerima hukuman dibuang ke tempat terjauh setelah sebelumnya, tuannya berani mengibarkan bendera perlawanan terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang dianggap merugikan rakyat Dompu kala itu.

Karena keberanian itulah Muhammad Sirajuddin akhirnya harus meninggalkan kampung halamannya di bumi Nggahi Rawi Pahu, setelah sebelumnya di sidang di Bima atas tuduhan-tuduhan dialamatkan kepada dirinya. Namun sang Sultan beruntung karena memiliki pelayan setia yang tidak saja membantu dan menemaninya, tetapi memilih meninggal di tempat pengasingan bersama dirinya.

Ketika berlayar ke pulau Timor dengan menggunakan 'kapal putih' milik pemerintah kolonial  Belanda di pelabuhan Sape, Bima, Abdurrahman Habe memilih mengikuti sultannya. Memilih berlayar jauh dari kampung halamannya. Memilih meninggalkan keluarganya di Dompu demi kesetiaan pada sang Sultan. Sebuah pengabdian yang sungguh-sungguh. Ia menunjukkan dedikasi dan kesetiaannya. Ia seolah ingin mengatakan, tak penting seberapa jauh sang sultan dibuang, yang penting bersamanya adalah sebuah pilihan yang baik baginya.

Di Kupang, Sultan Muhammad Sirajuddin berpindah-pindah tempat tinggal, sampai pada akhirnya menetap di satu tempat bernama kampung Air Mata. Di tempat itulah sang sultan menjalani hari-harinya dengan sisa umurnya yang semakin menua. Selain Ina Laru selir sultan, Abdurrahman Habe mengikuti kemana sang Sultan menetap. Dirinya tetap setia berada di samping sultan.

Yang mencengankan, ketika yang lain memilih pulang ke Dompu, setelah sultan wafat di tanah pengasingan, Abdurrahman Habe malah bersekukuh untuk meninggal dimana sultannya wafat. Ia tidak ingin pulang ke Dompu, walau kerinduaan akan tanah kelahiran tak pernah pudar. Ia memilih jalan kesetiaan. Jalan sunyi yang tak semua orang berani mengambilnya. Ketika sang Sultan wafat, dirinya bisa saja kembali ke tanah airnya di Dompu sebagaimana yang dilakukan oleh anak-anak sultan. 

Tapi itulah Abdurahman Habe, jalan hidupnya memilih untuk tetap berada di tanah pengasingan sampai menikah dengan bangsawan Bugis. Sebuah pilihan yang tak mudah dimengerti oleh semua orang. Ia telah menjadi warga Kupang, tanpa melepaskan identitasnya sebagai orang asli Dompu. Ia seolah ingin mengatakan bahwa kesetiaan bukan barang murah yang hanya mudah diucapkan dengan lisan, tetapi pembuktian dengan tindakan menjadi jauh lebih penting.

Di Kupang, ia merawat kenangan selama  berada di samping sultan di masa hidupnya. Ia tak sekalipun menyesali mengikuti sultan di tempat terjauh. Bahkan ia begitu bangga memberikan dedikasi dan pengabdian sampai tuannya menghembuskan nafas terakhirnya. Ia telah mendedikasikan hidupnya untuk keluarga istana dan sultan. Patahan-patahan sejarah Dompu menyebut namanya, walau narasinya tak sebanyak kisah tuannya.

Walau begitu Abdurrahman Habe, tampaknya tidak mempersoalkan dirinya tercatat atau tidak dalam lembar sejarah. Baginya, sang sultan yang telah dilayaninya sekian lama sampai bersama-sama di tanah pengasingan  menjadi jauh lebih penting. Ia satu dari sekian orang yang berada di dekat sultan yang mengetahui sepak terjang sultan dalam membangun asa keislaman di tanah Dompu. Berada di dekat sultan, tidak menjadikan dirinya berbangga diri. Sombong dan merasa diri lebih hebat dari rakyat kebanyakan. 

Kisah Abdurrahman Habe adalah kisah kesetiaan. Kesetiaan yang tidak banyak kita temukan hari ini di masyarakat modern. Tidak sedikit kesetiaan itu berpijak pada kepentingan sesaat. Jika kepentingan itu hilang, maka hilang pula kesetiaannya. Tidak jarang kita temukan mereka yang mencari 'makan' di ketiak penguasa memuji tuannya setinggi langit. Mereka siap pasang badan demi menjaga marwah tuannya. Tapi jika sekali dikecewakan karena tak mendapat jatah proyek, maka setika itu pula ia berbalik arah, lalu mencaci maki tuannya dengan sumpah serapah.

Mereka mestinya belajar pada Abdurrahman Habe. Seorang pelayan sultan Muhammad Sirajuddin yang kesetiaannya serupa matahari yang memberi terang semesta tanpa pernah meminta pamrih. Serupa bintang gemintang yang memberi terang pada langit-langit. Laksana malam yang setia menunggu berakhirnya siang. 

Di masa kini, kesetiaan menjadi barang mahal yang dicari banyak orang. Padahal sejatinya, kesetiaan dan pengabdian adalah jalan mudah yang hanya membutuhkan pijakan komitmen tanpa syarat. Tanpa embel-embel materi dan jabatan. Tanpa sanjungan dan tepuk tangan yang meriah dari orang-orang sekitar. Bahkan tanpa harus diapreasiasi dengan selembar kertas penghargaan di depan kerumunan orang-orang.

Kisah Abdurrahman Habe yang memilih tetap berada di tanah pengasingan bahkan memilih meninggal di mana tuanya meninggal, seolah ingin memberikan pelajaran kepada kita sebagai orang Dompu dan umat manusia lainnya tentang pentingnya kesetiaan. Ini pula yang kita temukan dalam cerita-cerita rakyat Jepang, dimana seorang Samurai yang rela menghunus pedang lalu merobek perutnya sendiri jika gagal menuntaskan misi tuannya. 

Di Dompu, tanah ma mbari. Kita menemukan sejumput kisah penuh pelajaran dari seorang yang bernama Abdurahman Habe yang nota bene adalah seorang pelayan istana. Pelajaran hidup memang tidak saja kita dapatkan dari mereka yang mendapat predikat pejabat atau mereka yang memiliki nama-nama besar dalam sejarah. Tapi, pelajaran hidup dan kisah-kisah inspirasi bisa ditemukan dari mereka yang bahkan tidak dihitung dalam percaturan politik dan sosial kehidupan manusia. 

Abdurahman Habe salah satunya yang memberi inspirasi itu guys.

Penulis : Raden't penulis biasa dari selatan Dompu yang tidak ingin biasa-biasa saja.