Politik Uang, Serangan Fajar Berganti Serangan Siang?

Kategori Berita

.

Politik Uang, Serangan Fajar Berganti Serangan Siang?

Koran lensa pos
Rabu, 14 Februari 2024
Dompu, koranlensapos.com - Desas-desus soal politik uang menjelang pelaksanaan Pemilu 2024 ini grafiknya bukan semakin menurun. Bahkan diduga semakin melonjak, lebih terbuka dan lebih meluas ketimbang pada Pemilu tahun 2019 lalu.

Informasi yang diperoleh koranlensapos.com, upaya membeli suara ini bukan hanya diduga dilakukan oleh Calon Anggota DPRD Kabupaten saja, tetapi juga oleh calon DPRD provinsi bahkan DPR RI. Nilai nominalnya beragam. Calon DPR RI nilainya 50 ribuan untuk satu suara. Untuk calon DPRD Provinsi antara 100 ribu sampai 150 ribu. Sedangkan calon DPRD Kabupaten mulai dari 200 ribu hingga 500 ribu. Bahkan menurut informasi masyarakat ada yang tembus pada angka 700 ribu untuk satu suara.

Tentu saja dalam membidik calon pemilih, para Caleg tidak asal main tembak. Namun melalui tim sukses yang dipercaya mencari 'mangsa' yang benar-benar tepat sasaran agar tidak sia-sia.

Bila selama ini politik transaksional masih dilakukan secara tertutup alias sembunyi-sembunyi yang biasa dikenal dengan istilah serangan fajar, tetapi pada pemilu kali ini diduga lebih bersifat terbuka. Siang atau sore hari pun jadi dan dalam situasi apapun bisa dilakukan.

"Sekarang ini mainnya bukan lagi serangan fajar, tetapi lebih terbuka menjadi serangan siang atau SS," ungkap salah satu warga.

Tentu saja pertarungan habis-habisan ini dilakukan para Caleg agar bisa meraih kursi di lembaga wakil rakyat sesuai tingkatannya. Untuk mendapatkan satu kursi yang akan berjuang mewakili aspirasi rakyat, seorang Caleg harus mengeluarkan modal ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Satu kursi legislatif sangat mahal.

Mengapa masyarakat mau 'menjual' suaranya?
Jawaban dari masyarakat juga beragam tentang hal ini. Ada yang mengatakan karena faktor keterpaksaan disebabkan kebutuhan ekonomi yang sangat mendesak. Apalagi pelaksanaan Pemilu 2024 ini di bulan Februari. Para petani belum saatnya memanen. Bahkan masih membutuhkan banyak biaya untuk merawat tanaman terutama jagung dan padi. Uang pemberian Caleg dinilai cukup membantu di tengah kondisi ekonomi yang sedang melemah ini.

Ada pula yang menerima uang  supaya bisa dipercaya oleh sang Caleg. 

"Kalau saya tidak terima uangnya, saya dikira tidak mencoblos dia sehingga agar dipercaya, saya harus terima uangnya," kata warga lain.

Selain itu, ada pula yang beralasan kalau sudah meraih kursi legislatif, sang Caleg lupa dengan masyarakat.

"Kalau dia sudah duduk di kursi DPR lupa dengan kita. Kaca mobilnya saja ditutup kalau melewati kita. Kita ambil saja uang yang dikasih sekarang," kata warga lain mengemukakan alasannya.

Ketua Bawaslu Kabupaten Dompu, Swastari yang dikonfirmasi koranlensapos.com beberapa hari lalu mengemukakan politik uang merusak sendi-sendi kehidupan berdemokrasi. Bahkan menjadi pintu masuk menuju korupsi.

"Karena kalau sudah jadi yang dipikirkan bagaimana mengembalikan modal yang digunakan berikut bunganya," ujarnya.

Sebagai upaya pencegahan terhadap pelanggaran Pemilu 2024 termasuk politik uang, Bawaslu Kabupaten Dompu telah berkali-kali melakukan kegiatan sosialisasi pengawasan partisipatif yang menghadirkan berbagai segmen masyarakat.

Komisioner Bawaslu Kabupaten Dompu, Syafrudin menerangkan politik uang sebenarnya sangat santer didengar di tengah masyarakat. Ia ibarat kentut yang.beraroma namun tidak bisa terlihat. Pihak Bawaslu mendapatkan banyak laporan terkait money politic ini. 

"Namun hanya sebatas laporan dan tidak ada yang mau menjadi saksi. Di situ kesulitannya karena beban pembuktian ada pada mereka (yang melapor untuk menghadirkan saksi dan alat bukti yang menguatkan laporan)," kata Syaf.

Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Bima, Dr. Ihlas Hasan yang menjadi pemateri dalam acara sosialisasi yang digelar Bawaslu Kabupaten Dompu di Kafe Laberka sekitar sepekan lalu mengungkapkan politik uang ini paling rentan menyasar masyarakat akar rumput.

"Masyarakat ekonomi menengah ke bawah sangat rentan menjadi sasaran politik transaksional ini," ungkapnya.

Menurutnya faktor kebutuhan yang sangat tinggi terhadap materi (uang) menjadikan masyarakat ekonomi menengah ke bawah gampang menjual suaranya dalam perhelatan demokrasi.

"Diharapkan ada pengawasan partisipatif dari masyarakat untuk melaporkan ke Bawaslu bila mengetahui adanya politik transaksional," ujarnya. (emo).