Karampi, Tepung Sagu Khas Saneo Dompu, Kuliner Warisan Leluhur

Kategori Berita

.

Karampi, Tepung Sagu Khas Saneo Dompu, Kuliner Warisan Leluhur

Koran lensa pos
Minggu, 19 Februari 2023

 

Karampi Saneo

Dompu, koranlensapos.com - Karampi.  Apakah itu?  Karampi adalah olahan tepung sagu asli buatan masyarakat Kabupaten Dompu NTB. Meski demikian, sebagian masyarakat Dompu masih asing dengan nama itu. Tidak mengherankan ketika ada yang memosting karampi di facebook, masyarakat Dompu sendiri justru berkomentar menanyakan apa sih karampi itu ?

Berdasarkan penelusuran redaksi koranlensapos.com, karampi adalah bahan makanan alami buatan masyarakat di Desa Saneo Kecamatan Woja Kabupaten Dompu. Saneo merupakan desa tua di kabupaten yang berada di tengah Pulau Sumbawa. 

Bila sagu di Maluku atau Papua, dibentuk persegi empat atau persegi panjang, maka karampi (sagu) saneo bentuknya unik dan khas seperti kentos (gandos) kelapa (woro ni'u dalam bahasa lokal).


Konon di zaman dahulu, sebelum ada beras, karampi merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat setempat. Setelah ada beras, karampi hanya menjadi makanan tambahan saja. 


Biasanya masyarakat Saneo membuat karampi untuk dikonsumsi sendiri. Ada juga yang dijual. Dibeli oleh tetangga sekitar atau oleh warga di kampung lain di desa yang sama. Terkadang di pagi hari ada juga yang menjual di Pasar Bawah Dompu. Namun dengan perkembangan teknologi informasi saat ini, pemasaran karampi pun dijual secara online dan selalu habis diorder pembeli.

Tepung karampi ini bisa diolah menjadi aneka kuliner sesuai dengan keinginan. Sama halnya dengan tepung beras atau tepung terigu. Yang umum dibuat bubur karampi. Cara pengolahannya sangat mudah. Dibuat adonan lalu dimasak kemudian ditambahi perasan santan kelapa dan gula. Jadilah Bubur Karampi. Bisa pula digunakan untuk membuat Dodol Karampi.

Sama dengan di daerah Indonesia Timur lainnya, karampi (sagu) berasal dari sari pati batang pohon aren atau pohon rumbia.
Pohon sagu

Bagaimana cara mengolahnya menjadi karampi ? 

Pada masa-masa dulu masyarakat membuat karampi dengan cara tradisional. Batang karampi dibelah lalu diambil bagian tengahnya kemudian ditumbuk sampai hancur dengan menggunakan lumpang. Proses penumbukan dilakukan agar sari pati dari pohon itu bisa diperas. Proses pemerasan sari pati yang akan menjadi karampi itu dengan ditambahkan sedikit air dan disaring menggunakan kain bersih dan dimasukkan dalam wadah baskom. Perasan itu dibiarkan sekitar satu malam sehingga sari pati sagu itu mengendap di dasar baskom. Air yang di bagian atas kemudian dibuang. Endapan sari pati sagu itu kemudian dibentuk seperti kentos kelapa dan siap dipasarkan.

Dengan kemajuan zaman, masyarakat Saneo tidak lagi menumbuk menggunakan lumpang, tetapi menggunakan serutan listrik. Sedangkan proses selanjutnya masih sama.




Tokoh muda pegiat sejarah dan budaya Saneo, Nurajin menyebutkan bahwa karampi menjadi bahan makanan favorit di desanya sejak turun temurun. 

"Nenek moyang masyarakat Saneo sejak dulu makanannya adalah karampi. Karampi ini satu-satunya makanan khas dan makanan adat etnis Saneo dari jaman purbakala yang biasa dilakukan oleh para nenek moyang sampai hari ini. Kelestarian makanan khas budaya ini masih kita bisa mencicipinya 
," ujar pria yang biasa disapa Fasul itu.

Menurutnya olahan bahan makanan bernama karampi ini menjadi salah satu bukti autentik bahwa masyarakat Desa Saneo adalah penduduk pribumi yang telah mendiami wilayah tersebut sejak berabad-abad lamanya dari generasi ke generasi. Masyarakat pribumi pada masa lampau memanfaatkan apa yang ada di alam untuk diolah menjadi bahan makanan sebagaimana halnya karampi itu.

Pemerhati sejarah dan budaya Dompu, Syafrudin, ST., MT menyebut karampi merupakan salah satu hal yang menjadi identitas masyarakat Desa Saneo. Apalagi bentuknya yang khas dan unik seperti gandos kelapa itu.

"Ketika orang menyebut karampi pasti identik dengan Saneo," ujarnya.


Bukan hanya itu, lanjutnya bahan makanan bernama karampi ini sebagai bentuk adaptasi masyarakat setempat pada zaman dahulu untuk mempertahankan kehidupan dengan mengolah sumber daya alam yang tersedia.


"Hebatnya masyarakat Saneo hingga saat ini masih mempertahankan warisan leluhurnya yang sudah turun temurun itu. Terbukti karampi masih jadi kuliner di Saneo hingga saat ini dan yang pasti karampi hanya ada di Saneo," jelasnya.




Selain karampi, bukti-bukti lain mengenai peradaban dan kehidupan masyarakat Saneo sejak berabad-abad lalu juga banyak. Seperti ratusan kuburan kuno di lokasi Saneo Mantoi (pemukiman Saneo lama di lokasi pegunungan di utara Desa Saneo saat ini). 

Selain itu, di puncak Gunung Lomba Na'a (utara Saneo) juga terdapat sebuah batu pancang (menhir) yang memiliki ketinggian sekitar 1,6 meter dari permukaan tanah.


Ditulis oleh media ini pada edisi 22 Juni 2022 lalu dengan judul Nyoman Rema : Menhir di Saneo Termasuk Tradisi Megalitik, menyebutkan bahwa 
I Nyoman Rema dari Balai Arkeologi Bali yang melihat secara langsung batu menhir tersebut pada 21 Juni 2021 lalu menjelaskan bahwa batu menhir  merupakan peninggalan sejarah di tradisi megalitik atau kebudayaan megalitikum (zaman batu besar).
Para pegiat sejarah dan budaya Dompu bersama Tim dari Balar Bali dan Disbudpar Dompu berfoto bersama di menhir Saneo pada 21 Juni 2021 lalu

Dikemukakan Rema, besar kemungkinan bahwa menhir tersebut  digunakan oleh para leluhur masyarakat Saneo di masa animisme (sebelum Islam) sebagai tempat pemujaan. 

"Hal itu ditandai dengan adanya selasar yakni batu-batu yang tersusun rapi di sebelah timur dan barat menhir. Selain itu ada pula dua lubang di dekat menhir yang kemungkinan dijadikan sebagai tempat menyimpan benda-benda persembahan yang oleh warga setempat menyebutnya dengan toho ra dore (semacam sesajen)," kata Rema.
Menhir Saneo


Tokoh Pemerhati Sejarah dan Budaya Dompu, Syafrudin, ST., MT yang turut meninjau keberadaan menhir itu juga memiliki dugaan yang sama. Ia mengatakan bahwa peradaban di Saneo telah ada sejak masa Ncuhi yang masih menganut kepercayaan terhadap animisme. Mereka meyakini adanya kekuatan gaib yang disebut Parafu. Menhir tersebut kemungkinan dijadikan sebagai tempat acara ritual persembahan atau pemujaan terhadap parafu. 

"Apalagi posisinya yang berada di puncak bukit," ujarnya. (emo).