MEWASPADAI UPAYA PENGABURAN PERAN ISLAM DALAM PENULISAN SEJARAH INDONESIA

Kategori Berita

.

MEWASPADAI UPAYA PENGABURAN PERAN ISLAM DALAM PENULISAN SEJARAH INDONESIA

Koran lensa pos
Selasa, 27 April 2021

Oleh: Faisal Mawa'ataho* 

                        Faisal Mawa'ataho


Beberapa hari terakhir ini, publik dibuat geram dengan ditemukannya kejanggalan dalam Kamus Sejarah Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Kejanggalan itu adalah tidak dicantumkannya nama Pendiri NU KH. Hasyim Asy'ari dalam kamus sejarah tersebut. Protes pun datang dari berbagai kalangan. Sebagaimana diberitakan oleh republika.co.id (20/04/2021), PKB melalui sekjen-nya M. Hasanuddin Wahid memberikan protes secara tertulis pada 19 April 2021. 

Protes keras juga datang dari Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid. Ia menilai Kamus Sejarah Indonesia Jilid I dan II yang beredar dan dibuat berdasarkan arahan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dan Direktur Sejarah Kemendikbud Triana Wulandari itu tidak menampilkan fakta sejarah yang proporsional. Terutama, karena tidak dimasukkannya banyak peran para tokoh Islam dalam membangun bangsa (jpnn.com, 21/04/2021).

Setelah penulis membaca beberapa bagian dari kamus sejarah sebanyak dua jilid tersebut, memang ada beberapa kejanggalan. Misalnya tidak terdapatnya nama KH. Hasyim Asy'ari dalam entri kamus tersebut. Padahal beliau adalah tokoh nasional yang dikenal seluruh lapisan masyarakat. Bagaimana bisa tim penyusun dan editor bisa melakukan keteledoran fatal seperti itu? Padahal peran KH. Hasyim Asy'ari dalam sejarah Indonesia sangat besar dan tak perlu dipertanyakan lagi. Atas resolusi jihad yang dicetus oleh beliau lah maka pada 10 November 1945, rakyat Surabaya melawan pasukan Belanda dan NICA dengan gagah berani sehingga bangsa-bangsa penjajah itu gagal menduduki kembali bumi pertiwi. Resolusi jihad 22 Oktober 1945 pun tak tercakup sebagai entri dalam kamus ini. Padahal tanpa peristiwa ini, mungkin tidak akan pernah ada perlawanan 10 November 1945 yang telah ditetapkan menjadi hari pahlawan.

Yang mengherankan justru tokoh-tokoh PKI seperti DN Aidit, Alimin, Musso, dan Sjam Kamaruzaman tercantum dalam kamus tersebut bahkan sebagian dari mereka dinarasikan secara positif. Misalnya saja pada jilid 1  halaman 23, Alimin Prawiwodirjo disebutkan memiliki jasa bagi bangsa Indonesia sehingga oleh sebab itu ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Atau pada jilid 1 halaman 274 diceritakan tentang Sjam Kamaruzzaman yang berjasa melawan Jepang. Bahkan yang lebih mengherankan, pada jilid 1 halaman 87-88 terdapat entry mengenai Henk Sneevliet, bapak pendiri komunisme di Asia Tenggara. Sangat mengherankan karena tokoh komunis semacam dia lolos menjadi salah satu entry dalam kamus sejarah nasional terbitan Kemendikbud, sedangkan tokoh Islam sebesar KH. Hasyim Asy'ari luput dari penulisan.

Entry mengenai PKI tak kalah mengherankan. Pada jilid 1 halaman 178, tertulis: "Setelah peristiwa G30S tersebut kader-kader PKI menjadi sasaran pembantaian di 
berbagai daerah." Kalimat ini sangat mengherankan karena seolah menempatkan PKI sebagai pihak yang harus kembali dirangkul dan dimaafkan kejahatan masa lalunya sebab dari kubu PKI telah jatuh banyak korban sebagai konsekwensi atas upaya kudetanya tersebut. 

Hal ini berbanding terbalik dengan entry mengenai Kartosoewiryo. Pada jilid 2 halaman 276 tertulis: "Ia adalah seorang tokoh Islam
Indonesia yang memimpin pemberontakan Darul Islam
melawan pemerintah Indonesia dari tahun 1949 hingga 
tahun 1962, dengan tujuan mengamalkan Alquran dan mendirikan Negara Islam Indonesia berdasarkan hukum Syariah." Meskipun memang benar bahwa Kartosoewiryo memberontak terhadap pemerintah NKRI, namun isi kamus tersebut telah menggambarkan Al-Qur'an dan Syariah Islam dengan begitu negatif dan memojokkan Islam.

Dengan mempelajari seksama isi dari Kamus Sejarah Indonesia ini, akan kita dapati kesan yang kuat bahwa ada upaya untuk menunjukkan eksistensi kelompok komunis dalam sejarah nasional sekaligus mengaburkan peran tokoh dan kelompok Islam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Padahal, sebagaimana pendapat Prof. Muflih Hasbullah, dalam FGD bertajuk "Kajian Holistik Kamus Sejarah Indonesia" yang diadakan oleh Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) pada hari Ahad 25 April 2021, sejarah Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Islam dan tokoh-tokoh Islam. Muflih menilai ada upaya "history bluring" atau pengaburan sejarah terhadap Islam di Indonesia.

Apa yang dikatakan oleh Muflih Hasbullah memang sangat benar. Islam telah menjadi ruh perjuangan melawan penjajah di Nusantara sejak awal kedatangan bangsa-bangsa penjajah. Mulai dari perlawanan Sultan Babullah dari Ternate terhadap Portugis, perlawanan Sultan Hasanuddin dari Gowa terhadap VOC, perlawanan Pangeran Diponegoro, hingga perlawanan Sultan Mahmud Syah dari Aceh semuanya menjadikan Islam sebagai ruh perjuangan. Bahkan di zaman revolusi kemerdekaan, sumbangsih tokoh-tokoh Islam seperti M. Roem, Moh. Hatta, M. Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, dll sangat besar. Maka sangat mengherankan jika terdapat upaya mengaburkan peran Islam dalam sejarah Indonesia. Hal tersebut patut dicurigai muncul akibat penetrasi ideologi batil yang sangat anti agama bahkan amat membenci Islam.

Keberadaan kelompok pengusung ideologi kufur ini telah sangat menonjol di hadapan publik. Mereka telah berani secara terang-terangan mengaku bangga menjadi anak PKI, berusaha memutar balikkan fakta sejarah sehingga menjadikan PKI sebagai korban, dimunculankannya atribut-atribut PKI, hingga upaya permintaan maaf kepada PKI. Tragedi terhapusnya nama KH. Hasyim Asy'ari dalam buku Kamus Sejarah Indonesia bisa jadi hanya sarana uji coba alias politik test the water ala kelompok tersebut yang memanfaatkan jaringan mereka dan kedekatan mereka dengan oknum-oknum tertentu di Kemendikbud. 

Strategi test the water digunakan untuk mengetahui respon umat Islam terhadap dekonstruksi sejarah ala mereka serta untuk mengukur kohesi umat Islam di Indonesia. Apakah umat Islam masih intoleran terhadap gerakan komunisme ataukah sudah apatis dan permisif terhadap gerakan pencetus tragedi G 30S-PKI itu? Dan apakah umat Islam masih akan membela Hasyim Asy'ari beserta NU sebagai bentuk solidaritas dan soliditas keummatan ataukah sebaliknya? 

Faktanya, reaksi penolakan umat Islam Indonesia terhadap isi Kamus Sejarah Indonesia itu telah memaksa pihak yang bertanggungjawab atas terbitnya buku yang meresahkan umat tersebut untuk menariknya dari peredaran dan meminta maaf. Jika umat diam saja dan tak bereaksi, bisa jadi  aktifitas pengaburan peran Islam dalam sejarah Indonesia akan dilakukan lebih jauh lagi dengan melakukan dekonstruksi tersistematis dan revisi besar-besaran terhadap penulisan sejarah Indonesia. Islam akan dihapuskan perannya dalam sejarah sedangkan komunisme akan diceritakan sebagai "hero" yang wajib dielu-elukan. Waspadalah, waspadalah. 
*Penulis adalah Founder KGS (Komunitas Gemar Sejarah) Bima