Gali Sejarah Dompo, Arkeolog Telah Lakukan Penelitian 17 Kali di Doro Bata Sejak Tahun 1989

Kategori Berita

.

Gali Sejarah Dompo, Arkeolog Telah Lakukan Penelitian 17 Kali di Doro Bata Sejak Tahun 1989

Koran lensa pos
Senin, 15 Februari 2021
Dompu, koranlensapost.com - Dompu (zaman kerajaan bernama Dompo) menjadi bagian dari sejarah Nusantara di masa lampau. Terutama pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit ketika Gajah Mada menjadi Mahapatih di Kerajaan yang berpusat di Jawa Timur itu. Dalam sumpahnya yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa, Gajah Mada menyebutkan salah satu daerah (kerajaan) yang hendak ditaklukkannya adalah Dompo. Penyebutan nama Dompo dalam Sumpah Palapa Gajah Mada menjadi perhatian khusus dari Balai Arkeologi Denpasar (sekarang berubah nama menjadi Balai Arkeologi Bali) sehingga sejak tahun 1989 telah melakukan penelitian di kabupaten yang berada di tengah Pulau Sumbawa itu.
Lokus penelitian dipusatkan di Kelurahan Kandai Satu Kecamatan Dompu. Terutama di Doro Bata, sebuah bukit kecil yang berada di Lingkungan Sambitangga Kelurahan Kandai Satu. Penelitian juga pernah dilakukan di Doro Mpana juga di Kelurahan Kandai Satu. Khusus di Doro Bata, sejak tahun 1989 sampai 2019, Tim Balar telah melakukan eksavasi sebanyak 17 kali dalam tempo 30 tahun. "Penrlitian terhadap Situs Dorobata mulai tahun 1989 sampai 2019 sebanyak 17 kali," ungkap Nyoman Rema dari Balar Bali. Dalam catatannya yang berjudul "Kearifan Permukiman Kuno Dompu di Kawasan Situs Doro Bata" yang dirangkum dalam Purbawidya, Nyoman Rema beserta Tim menjelaskan bahwa Doro Bata adalah situs yang mencerminkan berbagai lapisan budaya yang pernah ada di Dompu. Doro Bata adalah bukit yang dibentuk berupa teras berundak sebanyak tujuh teras. Di puncaknya terdapat struktur bata, sebagai jejak-jejak budaya yang pernah ada di sana. Doro Bata dikenal sebagai situs yang mengandung tinggalan budaya masa lampau berupa bata dalam bentuk struktur maupun lepasan. Rema menerangkan sebenarnya sejak awal tahun 1970-an, tim kecil dari Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN, sekarang Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) telah melakukan survei ke desa tersebut. Survei yang agak menyeluruh ke Pulau Sumbawa dipimpin oleh Hasan Muarif Ambary pada tahun 1974. Pada waktu itu pengamatan lebih mencermati pada tinggalan budaya masa kerajaan Islam di Sumbawa, seperti makam-makam dengan aneka macam bentuk batu nisannya. Perhatian terhadap tinggalan budaya masa lampau di situs Doro Bata lebih ditingkatkan lagi manakala situs tersebut mendapat perhatian lebih dari masyarakat di Dompu karena di puncaknya terdapat lubang di antara struktur bata yang tersisa, tempat menancapkan batu berdiri dan melaksanakan ritual pemujaan kekuatan alam dan leluhur toho ra dore. "Selain itu, oleh penduduk setempat Doro Bata dianggap sebagai tempat yang keramat," jelasnya. Dikatakannya konteks Doro Bata dengan lingkungan sekitarnya merupakan bukit kecil tertinggi pada dataran yang dikelilingi rangkaian perbukitan. Di sebelah timur laut– utara-barat daya mengalir Sungai Nae/Laju yang kemudian bermuara di Teluk Cempi di pantai selatan Keadaan lingkungan ini seperti layaknya Candi Borobudur yang bertumpu pada sebuah bukit kecil di tengah dataran lembah Sungai Progo yang dikelilingi rangkaian perbukitan Menoreh. Jika melihat perbandingan itu, dahulu di puncaknya pernah berdiri objek pemujaan. Objek pemujaan berupa bangunan suci ini berfungsi paling tidak setelah digantikannya institusi kerajaan yang mendapat pengaruh budaya India (agama Hindu-Buddha), ke institusi kerajaan yang beragama Islam.
Lebih lanjut Rema mengemukakan secara topografis situs klasik Doro Bata ini terletak pada bukit kecil yang tingginya sekitar 10 meter dari permukaan tanah sekitarnya. Bukit kecil ini berbentuk seperti batok kelapa, sebagaimana Gunung Batok di Kaldera Bromo. Bukit dibentuk secara sengaja berdenah bujur sangkar, berukuran 54 x 54 meter membujur arah barat-timur dan utara-selatan. Makin ke atas sisi-sisinya makin kecil sehingga berbentuk teras berundak. Setiap teras dibatasi dengan batu kali, dan di atas batu dilapis dengan bata, pada setiap sudut dipasang batu besar, yang diperkirakan sebagai penanda batas, dan penegas area suci. Tangga sebagai pintu keluar terdapat pada bagian sisi barat. Berdasarkan hasil penelitian arkeologi yang telah dilakukan sebanyak 17 tahap penelitian, pada puncak teras berundak Doro Bata yang luasnya 1551,84 m2 terdapat sekurang-kurangnya empat bangunan yang terpisah antara satu dan lainnya. Ini menunjukkan sebuah kompleks bangunan yang berdiri di puncak bukit kecil. Selain struktur fondasi bata, ditemukan pula fragmen logam, fragmen gerabah berslip merah dan tanpa slip merah, uang kepeng Cina dari Dinasti Qing abad ke-18 – 19 Masehi, fragmen keramik asing dari Dinasti Song abad ke-12 – 13 Masehi, Dinasti Ming abad ke-14 – 15 Masehi hingga Dinasti Qing abad ke-18 – 19 Masehi. Keramik yang terbanyak ditemukan adalah dari Dinasti Ming. Selain dari Cina, juga terdapat keramik Thailand dari Sawankhalok abad ke-14 – 16 Masehi dan dari Vietnam abad ke-14 – 16 Masehi. Hal menarik dari temuan indikator permukiman adalah pecahan-pecahan tembikar yang mempunyai ciri khas Majapahit. Tembikar Majapahit berwarna merah, mempunyai ketebalan sekitar 1 – 2 milimeter, dan bertemper halus. Jika melihat bentuk pecahan dan tempernya, fragmen tembikar tersebut berasal dari bentuk kendi atau wadah untuk menampung air, seperti mangkuk. Kendi Majapahit banyak ditemukan di Trowulan dan situs-situs lain di daerah Jawa Timur. Pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-13 – 14) persebaran kendi ini di Nusantara cukup luas hingga di daerah Jambi, Palembang, Ketapang (Kalimantan Barat), dan Bantaeng (Sulawesi Selatan). Berdasarkan temuan kendi Majapahit, diduga pengaruh Majapahit di Dompu sudah ada. Keberadaan kendi atau wadah tipe Majapahit di sekitar puncak Doro Bata kemungkinan berfungsi pada waktu upacara keagamaan. Kendi berfungsi sebagai tempat air suci yang dibawa oleh pendeta ketika upacara berlangsung. Bentuk kendi sama seperti yang ditemukan di daerah-daerah yang diduga merupakan bekas lokasi pemukiman kuno Majapahit sebagaimana disebut terdahulu. Hal ini sejalan dengan informasi dari tokoh masyarakat dan budayawan ataupun sejarawan bahwa puncak bukit yaitu pada lubang, dijadikan sebagai tempat pemujaan dan ritual toho ra dore. Mengenai struktur bata yang ditemukan secara horizontal di puncak Doro Bata, diduga kuat berasal dari masa jauh sebelum Kerajaan Dompu, yaitu sezaman dengan Majapahit (abad ke-15 Masehi). Dugaan ini didasarkan pada teknik melekatkan bata, yaitu dengan teknik gosok tanpa menggunakan spesi semen. Setelah Islam masuk, beberapa struktur bata tersebut kemudian ditimbun dan di atasnya didirikan Asi/Istana Kesultanan Dompu, dengan konstruksi dari kayu berupa beberapa uma panggu bertiang sembilan yang digabung menjadi satu. Penimbunan tersebut berkaitan dengan beberapa sistem dan tata nilai terkait kepercayaan yang berbeda. Pascaletusan Gunung Tambora tahun 1815, Asi/Istana yang ada di atas Doro Bata hancur karena dampak letusan, kemudian dipindahkan ke sebelah utara Sori Na,e/Laju (lokasi Masjid Raya Baiturrahman Dompu), dan didirikan dengan konstruksi yang sama, yaitu dari kayu. (AMIN).