Ketika Sanggar Melepaskan Diri dari Dompo

Kategori Berita

.

Ketika Sanggar Melepaskan Diri dari Dompo

Koran lensa pos
Sabtu, 11 Juli 2020
Oleh : Faisal Mawa'ataho*



Kecamatan Sanggar dahulunya merupakan sebuah kesultanan kecil yang terletak di sebelah utara Kesultanan Dompu dan berpusat di Kore. Pada mulanya Sanggar merupakan bagian dari Kesultanan Dompu, namun berhasil melepaskan diri dari Dompu dengan bantuan Kesultanan Gowa-Tallo (Makassar). Sanggar memanfaatkan invasi Makassar ke Pulau Sumbawa tahun 1626 dengan berpihak pada Makassar. Sebagai gantinya, Sanggar dimerdekakan dari Dompu yang saat itu diperintah oleh Sultan Jamaluddin (1590-1645).
.
Hal ini menjelaskan mengapa dalam struktur Kesultanan Dompu, ada sebuah Jabatan bernama ‘Bumi Kore. 'Bumi Kore merupakan penghubung wilayah Kore (Sanggar) dengan pusat kekuasaan Kesultanan Dompu (Saleh, Sekitar Kerjaan Dompu, 1985: hal. 78).
.
Masyarakat Sanggar, sebagian dari mereka, telah melihat dalam kedatangan orang-orang Makassar terdapat kesempatan yang tak disangka-sangka untuk meraih kebebasan. Berdasarkan laporan dari Cornelis Spelman, sebelum dikuasai oleh Makassar, Sanggar tunduk dan patuh pada Dompu. Sebagai hadiah atas sikap Sanggar yang kooperatif, pada faktanya orang-orang Makassar membebaskan mereka dari Dompu (J. Noorduyn, Makasar and the Islamization of Bima dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 143, no: 2/3, 1987: hal. 320).
.
Ketika Makassar pertama kali menyeberang ke sini (Pulau Sumbawa, pen) dengan pasukannya, penduduk Sanggar segera dan tanpa menunda-nunda menyatakan tunduk dan bergabung dengan mereka, akibatnya penduduk Sanggar dinyatakan sebagai wilayah yang bebas dan merdeka, dinyatakan sebagai sekutu dari Makassar, tidak dibebani kewajiban untuk membayar upeti dan tidak pula diharuskan memiliki orang (bangsawan) yang akan tinggal di Makassar untuk melayani Sultan Gowa, kecuali jika terjadi perang atau ekspedisi besar (Speelman Notitie (1669), Algemeen Rijksarchief VOC 1166f . 886v dalam J. Noorduyn, 1987: hal. 320).
.
Menurut Noorduyn, penyebab pasukan Makassar memilih Sanggar sebagai titik infiltrasi ke Pulau Sumbawa bagian tengah adalah disebabkan oleh posisi geografis Sanggar yang strategis di Teluk Sanggar. Sanggar adalah pintu masuk paling mudah untuk menyerang Dompu. Selain itu, Makkassar memanfaatkan kondisi Sanggar yang sedang tidak akur dengan induknya, Kesultanan Dompu (Noorduyn, 1987: hal. 320).
.
Menurut lontara Gowa, rakyat Sanggar diberi kebebasan oleh Makassar sedangkan penduduk kerajaan-kerajaan lain yakni Kesultanan Dompu, Kerajaan Blma, Kerajaan Sumbawa, Kerajaan Papekat, dan Kerajaan Tambora dianggap sebagai budak dari raja Gowa-Tallo, yakni Sultan Alauddin (ibid, hal. 317). Dompu, yang telah menjadi sebuah kerajaan Islam (kesultanan) sejak naik tahtanya Sultan Syamsuddin (1545-1590) dianggap sebagai “budak” dari Makassar dengan sejumlah konsekwensi.
.
Konsekwensi itu yakni Dompu diwajibkan memberikan bantuan militer kepada Makassar ketika dibutuhkan dan kewajiban menyerahkan upeti tahunan. Dompu juga memiliki kewajiban untuk menyerahkan beberapa bangsawan atau keturunan raja untuk menjadi pelayan Sultan Gowa di Makassar. Hal ini memang telah menjadi sebuah aturan baku di kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, termasuk Gowa-Tallo. Keberadaan para bangsawan Dompu yang dibawa ke Makassar sebagai "sandera" ini juga didukung oleh cerita tutur rakyat Dompu. Mereka disebut Dou Tonda (Orang Jajahan) dan baru pulang ke pada tahun 1669 setelah perjanjian antara Kesultanan Dompu dan Bima dengan VOC pada tanggal 1 Oktober 1669.

Berdasarkan informasi dari Lontaraq Gowa, Sanggar dijadikan PALILI' (kerajaan provinsi) dari Gowa-Tallo dan dibebaskan dari segala kewajiban seperti yang dibebankan pada Kesultanan Dompu. Oleh sebab itulah Sanggar tidak ikut dalam perang Makassar tahun 1667. Sanggar kemudian tetap di bawah kendali Gowa hingga akhir abad ke-17.
.
Setelah kekalahan terakhir Makassar tahun 1669 dalam perang melawan VOC, Sanggar mendeklarasikan kemerdekaannya dari Gowa. Sanggar mengangkat rajanya sendiri yakni Kalongkong Hasanuddin. Ia berkuasa di Kerajaan Sanggar hingga tahun 1704. Kerajaan Sanggar sempat dihancurkan oleh bencana letusan G. Tambora pada 10 April 1815. Sultan Sanggar, Ismail Haliluddayan mengunggsi ke Sila sedangkan rakyatnya mengungsi ke Banggo (Dompu). Beberapa tahun kemudian Sultan Ismail kembali ke Sanggar dan melanjutkan pemerintahan Kerajaan Sanggar. 
.
Sultan terakhir Kerajaan Sanggar adalah Abdullah Daeng Manggalai (1900-1926). Setelah kematiannya, terjadi kisruh perebutan tahta Kerajaan Sanggar. Sebenarnya kekisruhan ini sengaja dirancang oleh Belanda untuk membuat jabatan sultan kosong sehingga Belanda memiliki alasan untuk menggabungkan Sanggar ke Bima. Belanda telah berniat memberikan Sanggar kepada Bima sejak 1924. Hal itu dilakukan karena Belanda telah mengambil daerah Manggarai dari Kesultanan Bima. Belanda menjadikan Sanggar sebagai ganti Manggarai. Akhirnya sejak saat itu, Sanggar menjadi bagian dari Bima hingga saat ini. 
*Penulis adalah Founder Komunitas Gemar Sejarah (KGS) Bima