SISI BAIK DAN SISI BURUK KEHIDUPAN DOMPU

Kategori Berita

.

SISI BAIK DAN SISI BURUK KEHIDUPAN DOMPU

Koran lensa pos
Kamis, 09 April 2020
Oleh : Andi Fardian 
Andi Fardian

Apa yang kamu banggakan dari Dompu? Kalau mau jujur ada beberapa hal yang bisa dibanggakan dari Dompu, antara lain: potensi wisata yang baik dan indah. Ada pantai yang pasirnya putih. Soalnya di daerah lain, sebagian pantai, pasirnya hitam. Meskipun begitu teman-teman saya tetap bangga walau pasir pantai di daerahnya itu hitam.

Lantas terkait sejarah Dompu, bagaimana? Jujur sampai sekarang, saya dan mungkin sebagian besar orang Dompu masih bingung tentang asal usul daerah. Sejarahnya bagaimana—dan kelanjutan “perjuangan” dari pemerhati budaya dan sejarah setempat—kami pun tak tahu. Yang kami tahu pure hanya pengasingan Sultan MT. Sirajuddin ke Kupang. Itu pun saya tahunya bukan dari mata pelajaran Muatan Lokal. Saya tahu karena dulu waktu SD, pernah ikut ke Masjid Raya Dompu untuk menyambut pemindahan makam sang Sultan. Selebihnya tidak ada. 

Ada juga cerita terkait Gadjah Mada yang asli orang Hu'u. Informasi ini, katanya, di Hu’u, bagian Dompu bagian selatan, ada ditemukan kuburan—yang diduga—Gadjah Mada. Terkait ini suatu waktu saya pernah sampaikan ke sebuah forum pemerhati sejarah dan budaya waktu jalan-jalan ke Candi Borobudur untuk menelurusi candi-candi di pedalaman. Betapa malunya saya ketika seorang arkeolog menyanggah saya. "Mas, jangan karena ada kuburan yang diduga adalah kuburan Gadjah Mada, Anda langsung mengatakan Gadjah Mada dari daerah Anda. Kami saja baru bisa menyimpulkan sesuatu, harus melewati penelitian panjang dan bertahun-tahun." Saya malu tapi saya bangga dikritik begitu. Biar ke depannya tidak asal caplok dan mengklaim. Di beberapa daerah, ada juga cerita tentang Gadjah Mada.

Saya tidak tahu mengapa Pemda Dompu tidak secara serius mengkaji asal usul Dompu. Ini penting agar generasi Dompu memiliki semacam kebanggan akan identitas. Selama ini ‘kan, kami sebagai generasi Dompu ini tidak memiliki identitas yang begitu jelas.  

Kemudian terkait bahasa, bagaimana? Wah, meskipun saya ini latar belakangnya sebagai akademisi bahasa karena pernah kuliah di jurusan bahasa, saya tidak berani langsung menamai itu bahasa Dompu. Karena Bima juga menggunakan bahasa yang sama. Saya tidak mau hanya karena sentimen identitas, sentimen kedaerahan, atau sentimen teritorial, lantas mengaburkan idealisme saya sebagai akademisi. Kebiasaan mengklaim itu bukan domainnya akademisi dan ilmuwan. Untuk sementara, saya masih meyakini bahwa bahasa yang dipakai oleh masyarakat Dompu adalah bahasa Mbojo. Dan, sampai sekarang saya masih meyakini bahwa orang Bima dan Dompu adalah bersuku Mbojo. Kalau Anda tidak setuju dengan pendapat saya? Sanggahlah dengan bukti yang valid, bukan dengan potongan pendapat per pendapat dari orang, yang mana orang tersebut juga mengandalkan cerita dari mulut ke mulut.

Apa lagi yang bisa dibanggakan dari Dompu? Ya, semboyannya. Saya suka semboyan Dompu. Tentunya para leluhur membuatnya dari falsafah hidup. Dengan harapan dapat dipakai untuk menjalani kehidupan bagi generasi selanjutnya.

Kemudian apa yang tidak disukai dan tidak patut dibanggakan dari kehidupan di Dompu? Yang paling utama adalah budaya saling menjatuhkan. Di mana-mana atmosfer ini terlihat jelas dan kental. Tentu saja ini bukan hal yang baik untuk dipertahankan dan ditiru. Tapi memang begitulah sisi hitam kehidupan di Dompu. Anda tidak akan dibiarkan berkembang dengan baik. Lambat laun, kalau Anda mau bertahan, maka Anda harus punya keterampilan untuk menjatuhkan orang lain. Benar, tidak? Kalau Anda polos, maka Anda akan tenggelam dan 'dimakan' sampai habis. Jadi, intinya adalah adu kuat. Maka, sedari awal, saya mengatakan tidak kuat tinggal di Dompu. Saya tidak kuat saling menjatuhkan. Maka berkali-kali, saya mengapresiasi teman-teman progresif yang masih terus berkarya di Dompu di tengah atmosfir yang kurang kondusif untuk berkarya dan menghasilkan sesuatu yang nyata. Mereka kuat lahir, dan terlebih batin. Maka dari itu, saya, sarankan bagi yang tidak kuat agar segera berhijrah. Ikutilah Nabi Saw. Ketika situasi dan kondisi di Mekkah tidak kondusif, maka ia berhijrah. 

Apa yang patut disayangkan dari kehidupan di Dompu? Yang paling disayangkan adalah sebagian orang hanya menjadikan semboyan “Nggahi Rawi Pahu” hanya sebagai formalitas. Semboyan daerah tidak benar-benar direalisasikan dalam kehidupannya dan juga dalam menjalankan profesi.

Namun demikian, sebagai putra daerah, saya harus tetap optimis. Suatu saat Dompu akan berkembang. Tidak usah dulu berpikir tentang kemajuan. Berpikir saja bagaimana bisa membuat daerah berkembang. 

O iya, khusus bagi yang ingin menanggapi tulisan ini, entah itu berkomentar langsung ataupun hanya berkomentar dalam hati dan pikiran,  saya ada catatan kaki. Kalau Anda cerdas, maka Anda akan dapat memahami tulisan saya dengan baik. Tetapi kalau Anda kurang cerdas, maka Anda akan menganggap saya menulis tentang Dompu dengan citra yang buruk. (*Penulis adalah Mahasiswa S2 Social Development and Welfare, Minat Khusus Corporate Social Responsibility (CSR)).