Antara Pujian dan Ketidakadilan: Menafsir Hari Guru melalui Analisis Wacana Kritis Fairclough -->

Kategori Berita

.

Antara Pujian dan Ketidakadilan: Menafsir Hari Guru melalui Analisis Wacana Kritis Fairclough

Koran lensa pos
Rabu, 26 November 2025

 

Sugerman

Oleh: Sugerman*


Setiap tanggal 25 November, sekolah-sekolah di seluruh Indonesia dipenuhi suara langkah guru dan siswa yang berbaris rapi, spanduk berwarna cerah, dan pidato para pejabat yang mengalir dengan penuh pujian. Di panggung upacara, guru selalu digambarkan sebagai sosok yang “ikhlas mendidik”, “tak kenal lelah”, dan “pahlawan tanpa tanda jasa”. Narasi itu tampak indah, tetapi jika dibaca dengan perspektif Analisis Wacana Kritis Fairclough, kita melihat bahwa Hari Guru Nasional bukan sekadar peringatan—ia adalah praktik wacana yang sarat ideologi, kuasa, dan hegemoni.

Lapis Teks: Bahasa yang Mengagungkan, Tetapi Mengikat

Fairclough memulai analisisnya dari level teks. Pada tahap ini, bahasa dalam pidato, spanduk, dan postingan media sosial menciptakan asosiasi tertentu tentang guru. Kata-kata seperti “pahlawan”, “pengabdian”, “kerelaan”, “pengorbanan”, dan “keikhlasan” dibangun sebagai leksikon dominan. Secara semantik, kata-kata ini memberi citra agung, tetapi pada saat yang sama menempatkan guru dalam posisi subjek yang harus menerima ketidakadilan dengan keikhlasan.
Pemilihan kata ini bukan kebetulan; ia adalah strategi wacana yang menjaga struktur relasi kuasa. Dengan kata lain, teks itu merayakan guru pada tataran simbolik, sembari mengabaikan realitas material seperti gaji rendah, beban administratif yang membelenggu, dan ketimpangan status guru honorer.

Praktik Wacana: Bagaimana Teks Itu Diproduksi dan Diteruskan
Pada tingkat kedua, Praktek wacana Fairclough mengajak kita melihat siapa yang memproduksi wacana Hari Guru dan bagaimana wacana itu disebarluaskan. Pidato dibuat oleh kementerian, dibacakan oleh pejabat, lalu diperkuat oleh media melalui judul berita seperti “Guru Adalah Cahaya Peradaban”. Siswa dan masyarakat mengulangi narasi itu lewat unggahan media sosial, memperkuatnya sebagai kebenaran yang tak dipertanyakan.
Dalam proses ini, yang muncul adalah sirkulasi wacana hegemonik, wacana yang tampaknya netral dan positif, tetapi sebenarnya menutup ruang bagi narasi alternatif, terutama dari guru sendiri. Suara guru yang menyuarakan masalah sering dianggap tidak sesuai dengan “tema perayaan”, seolah kritik harus ditunda demi menjaga suasana sakral.
Narasi dominan ini memarginalkan pengalaman nyata guru dan menjadikan Hari Guru sebagai ritual konsensus semu: semua orang sepakat memuji guru, tetapi tidak ada yang mendengar keluhan mereka.

Praktik Sosial: Ideologi Pengorbanan dan Hegemoni Pendidikan
Di level ketiga, praktik sosiokultural, Fairclough menegaskan bahwa wacana tidak pernah lepas dari struktur masyarakat yang lebih luas. Wacana Hari Guru mencerminkan ideologi yang mengakar: ideologi pengorbanan. Guru diposisikan sebagai subjek moral, bukan professional, sehingga tuntutan mereka dianggap kurang pantas. Dalam konteks ini, wacana penghormatan malah menjadi instrumen hegemoni. Negara dan lembaga pendidikan mempertahankan struktur yang timpang melalui wacana pujian. Guru menerima peran “pahlawan” karena tak memiliki ruang diskursif untuk menegosiasi identitas profesionalnya.
Maka, Hari Guru bukan hanya perayaan, melainkan representasi bagaimana masyarakat memproduksi dan memelihara relasi kuasa: menjaga guru tetap berada dalam posisi “dimuliakan, tetapi tidak diberdayakan”.

Narasi Kritik: Hari Guru yang Kita Butuhkan
Di sekolah pinggir kota, seorang guru honorer bernama “Pak Boa” berdiri dalam upacara. Seragam batiknya tampak rapi, senyumnya dipaksakan. Di balik tepuk tangan dan pujian, ia tahu gajinya bulan ini belum cukup untuk membiayai hidupnya dan bahkan membayar cicilan. Ia mendengarkan pidato yang menyebut guru sebagai “pelita bangsa”, tetapi ia merasa justru pelitanya makin redup karena tekanan kerja dan ketidakpastian masa depan. Narasi “Pak Boa” jarang tampil dalam media. Suaranya hanyut di balik gemuruh wacana hegemonik yang terus direproduksi setiap tahun.
Jika kita mengadopsi perspektif Fairclough, Hari Guru yang ideal seharusnya tidak berhenti pada reproduksi teks pujian, tetapi menjadi ruang untuk transformasi struktur sosial. Bahasa harus digunakan bukan untuk memuliakan tanpa makna, tetapi untuk menuntut perubahan: kesejahteraan, pengakuan profesional, perlindungan kerja, dan keadilan. Sampai wacana ini bergeser, Hari Guru Nasional akan tetap menjadi teks yang merdu, tetapi jauh dari realitas guru yang hidup di baliknya. Terakhir, di setiap pena yang hampir habis, tersimpan kisah panjang tentang harapan. Kisahmu, Guru yang tak pernah selesai ditulis. “Selamat Hari Guru, Semoga engkau tetap menjadi pelita di tengah kebiadapan peradaban”

*Penulis: Dosen STKIP Yapis Dompu dan Mahasiswa S3 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang