Cara Urban Mencari Pemimpin Negeri

Kategori Berita

.

Cara Urban Mencari Pemimpin Negeri

Koran lensa pos
Jumat, 21 Juli 2023
M. Ramadhani


Oleh : M. Ramadhani*


Bukan konser ColdPlay, Dewa19, atau Iwan Fals. Apalagi Amtenar. Menyaksikan secara live  “konser”  tiga bakal calon presiden (bacapres) secara bergiliran dalam satu panggung, bagi penulis, tentu adalah sebuah kesempatan mahal. Sebuah keberuntungan. Dari dekat mendengar intonasi, aksi panggung, menyimak gestur, dan mempelajari gaya dan retorika para calon pemimpin bangsa. Jauh lebih penting dari itu, kita bisa mengetahui gagasan dan idenya dalam membangun bangsa. 

Secara bergantian ketiga tokoh terbaik bangsa saat ini:  Ganjar Pranowo, Anies Rasyid Baswedan, dan Prabowo Subianto, tampil di depan 98 Walikota seluruh Indonesia,  dalam forum Rakernas XVI APEKSI  (Asosiasi Pemerintah Kota seluruh Indonesia) yang dilaksanakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan pada 13 Juli 2023 lalu.


Kehadiran 3 tokoh terbaik bangsa dalam acara ini, seperti melepas kerinduan intelektual bagi banyak pihak yang selama ini disibukkan dengan membahas dan menilai kualitas dengan indikator berbagai survey yang hanya mengukur popularitas dan elektabilitas. 


Ternyata, tema dan isu Perkotaan yang bisa “menyatukan” mereka.
Sebuah Kota bukanlah lingkungan buatan manusia yang dibangun dalam waktu singkat. Tetapi merupakan lingkungan yang dibentuk dalam waktu yang relatif panjang. Kondisi wilayah perkotaan sekarang ini merupakan akumulasi dari setiap tahap perkembangan yang terjadi sebelumnya dan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor (politik, ekonomi dan sosial budaya). 

Dapat pula dikatakan bahwa kota merupakan sebuah artefak urban yang kolektif dan pada proses pembentukannya mengakar dalam budaya masyarakat. Pada ruang-ruang kota tersebut tercipta lingkungan fisik, sebagai tempat warga kota beraktivitas, dalam bentuk yang sangat kompleks. Berbagai kepentingan, kesibukan dan kehangatan bergelut di dalamnya. Keramaian penduduknya bukan saja karena banyaknya jumlah orang yang menghuninya dan lalu lintas yang hiruk pikuk, melainkan juga karena irama pertumbuhan kota itu sendiri. Keramaian itu merupakan gejala terjalinnya sekian banyak kebutuhan dan peranan yang terdapat di dalamnya. Kota adalah daerah yang menjadi pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi, dan kebudayaan.


Tulisan ini sesungguhnya tidaklah secara khusus membahas substansi apa yang disampaikan oleh para bacapres. Tetapi apa yang ditampilkan pada acara Rakernas ini memberi perspektif bahwa “orang urban” punya cara yang inspiratif untuk mencari seorang pemimpin negeri. Tidak hanya melulu simulasi pasangan dan isu-isu remeh temeh  yang tidak mencerahkan. 

***
APEKSI, sebagai sebuah asosiasi Pemerintah Kota seluruh Indonesia, yang merepsentasikan “Kaum Urban”,  patut diberi apresiasi telah menggagas event ini. Sejak mendengar informasi dari Bima Arya, Walikota Bogor yang juga merupakan Ketua Umum APEKSI menjanjikan 3 Bacapres ini dalam satu pangggung, daya tarik Rekarnas XVI APEKSI menjadi makin tinggi. Setidaknya digambarkan dari kehadiran 88 Walikota yang hadir secara langsung bahkan membawa rombongan yang cukup besar dari seluruh Indonesia. Makassar hiruk pikuk dengan tamu Apeksi. 


Dalam kesempatan Gala Dinner, Bima Arya mengatakan bahwa APEKSI mengundang ketiga bakal calon agar nanti semua bisa mendengar visi dan misinya. Salah satu tema besar dalam Rakernas XVI APEKSI ini adalah bagaimana kota menghadapi tahun politik. Kita tidak sekadar berbicara tahun 2024, tapi jauh dari itu. Berbicara bagaimana Kota menjemput Indonesia Emas 2045. Karena sebagian besar Pemerintah Kota di Indoensia juga berada dalam masa transisi dokumen perencanaan, baik rencana jangka menengah (RPJMD) maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Termasuk salah satunya Kota Mataram yang saat ini berproses menyusun dokumen teknokratis dengan menggali isu-isu strategis dan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) RPJP 2026-2045. 

Dengan mendengar dan mengetahui visi misi bakal calon presiden 2024-2029, nantinya pemerintah kota bisa ikut mengawal perencanaan pembangunan. Lebih dari sekadar soal hiruk pikuk tahun politik 2024, secara substansi, bagi siapapun pemimpin bangsa ini ke depan, isu dan kompleksitas masalah di perkotaan adalah  menyelesaikan separuh masalah bangsa ini. 


Kota sebagai pusat ekonomi, pendidikan, dan berbagai fasilitas membuat urbanisasi tak terbendung. Diprediksi pada tahun 2035, hanya satu dari tiga penduduk desa yang akan tetap tinggal di desa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2020, diketahui bahwa 56,7 persen warga memilih menetap di perkotaan. Angka ini diprediksi akan semakin meningkat hingga tahun 2035 menjadi 66,6 persen. Artinya, penduduk rural (pedesaan) hanya tersisa sekitar 33,4 persen saja. Dapat diartikan pula membangun kota adalah membangun Indonesia. 


Mengapa masyarakat desa meninggalkan desa? Jawabannya adalah kesempatan kerja, pendidikan dan kesehatan, infrastruktur dan aksesibilitas, kemajuan teknologi, hingga perubahan sosial dan gaya hidup. 


Sebelum mendengarkan paparan gagasan para Bacapres, Ketua APEKSI menyampaikan beberapa isu yang perlu menjadi pemikiran bersama tentang tantangan pembangunan khususnya di perkotaan jelang tahun politik dan meniti jalan meraih indonesia emas 2045, yaitu Pertama, Evaluasi terhadap otonomi daerah. Kedua, Tahun Politik sebagai Tahun Transisi Perencanaan, dan Ketiga, Kaderisasi kepemimpinan.


Memperkuat Otonomi Daerah

Semangat otonomi daerah yang menjadi spirit lahirnya pemekaran daerah dan kota-kota otonom baru sejak awal reformasi mulai terancam oleh “arus balik” baru seolah-olah berlawanan dengan spirit reformasi itu sendiri. Sebagai contoh dan sering diungkap dalam berbagai forum APEKSI adalah lahirnya Undang Undang Cipta Kerja telah berhasil “memangkas” kewenangan daerah dalam mengontrol investasi yang masuk, Mandatory spending dalam pembagian alokasi  “kue” anggaran juga semakin “menjepit” keleluasaan daerah dalam alokasi fiskal daerah yang memang sudah semakin “kurus”. Upaya menggenjot PAD di kota-kota yang “miskin” sumber daya alam, dianggap anti investasi. Begitu juga dengan pola rekruitmen ASN dan pejabat  yang regulasinya sedemikian ketat, sementara Walikota sebagai seorang “manager” tentu harusnya diberikan keleluasaan dan kelonggaran yang cukup untuk memilih tim kerja (team work) nya untuk mengejar pencapaian visi dan misi yang menjadi janji politiknya.  


Tahun Politik, Transisi Perencanaan
Mendekati dan memasuki Tahun Politik, siklus perencanaan pembangunan kembali dihadapkan pada “masa transisi”. 


Sebagai akibat dari Pilkada serentak, sebanyak 85 dari 98 walikota akan mengakhiri masa jabatannya tahun ini dan 2024 mendatang, bahkan tahun ini sudah berakhir. Dengan demikian akan ada pengajuan visi misi baru yang perlu diakomodir dalam penyesuaian dokumen RPJMD atau RPJMD baru. 


Pada saat yang bersamaaan pula, sebagian besar pula dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang 20 Tahunan juga harus disusun kembali juga karena masa berlakunya sudah berakhir.  


RPJPD ini menjadi strategis karena berimpitan dengan RPJMD baru yang disusun harus mengacu pada RPJP disamping sejalan dengan Visi Indonesia Emas Tahun 2045. 


Dari kompleksitas dokumen perencanaan ini, sulit dihindari akan terjadi “kebingungan” acuan dalam penyusunan dokumen perencanaan tahunan (RKPD). Sehingga perlu diantisipasi dengan regulasi dan kepastian hukum agar tidak terjadi transisi perencanaan yang multitafsir. Bisa jadi dokumen perencanaan berada dalam posisi “trafict” di persimpangan di tengah-tengah semangat pemulihan (recovery) ekonomi yang tengah menggeliat pasca pandemi.


Kekuatan Pemuda sebagai Kader Pemimpin


Visi Indonesia Emas 2045 dan Wajah Kota Masa Depan adalah milik kaum muda. Kekuatan dan aktor utamanya adalah generasi milenial atau gen-z. Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, tidak ada cara lain selain menyiapkan kaum muda dengan lebih baik untuk memastikan visi Indonesia Emas 2045 bisa “on right the track” dan berkelanjutan. Hal ini juga sejalan dengan situasi “bonus demografi” yaitu  kondisi suatu negara di mana peduduk usia produktifnya “berlimpah” yang memungkinkan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Jika masa ini tidak dioptimalkan, maka bonus demografi ini, justru akan menjadi “bencana”. Sehingga isu penyiapan dan kaderisasi generasi muda sebagai calon pemimpin perlu menjadi isu yang penting. 

Membangun Kota, Bukan “Jakartanisasi”  


Menyikapi 3 (tiga) isu di atas, ketiga bacapres mencoba mengurai dengan pendekatan dan style yang berbeda.  Ganjar Pranowo mendekati ketiga isu dengan pengalamannya sebagai Gubernur dengan pendekatan semangat anti korupsi. Bahwa semua masalah di kota berawal dari kewenangan yang melampai batas karena ada dorongan dan nafsu koruptif. 


Sementara Anies Baswedan, meskipun mantan Gubernur, tetapi karena menjadi Gubernur di Ibukota Negara, sehingga pemahaman dalam mengelola kota lebih familiar bagi para walikota yang hadir. 


Bacapres ketiga yang tampil adalah Prabowo Subianto. Dengan pendekatan semangat nasiolisme dan persatuan, membahas Kota dari sudut kepentingan global dan tantangan-tantangannya ke depan.

  
Apapun itu, forum APEKSI layak diberi apresiasi. Menghadirkan gagasan dan pencerahan dalam sebuah proses memilih seorang pemimpin negeri. Menarik sebuah kalimat penutup dari paparan salah satu capres. Menurutnya, Membangun Kota berarti menghidupkan warga, mengelevasi desa, dan memajukan negara. Potensi perkotaan harus dikembangkan secara merata, Bukan “Jakartanisasi”. Jangan mengulang kesalahan Jakarta. Benar kata Iwan Fals dalam syair lagu “Berkacalah Jakarta” dalam sebuah konsernya….
Lari kota Jakarta lupa kaki yang luka
Mengejek langkah kura-kura
Ingin sesuatu tak ingat bebanmu
Atau itu ulahmu kota
Ramaikan
Mimpi indah penghuni
Jangan kau paksakan untuk berlari
Angkuhmu tak peduli luka di kaki
Jangan kau paksakan untuk tetap terus berlari
Bila luka di kaki belum terobati
Berkacalah Jakarta

*Penulis adalah Ketua DPW IKA UII NTB dan Perencana di Bappeda Kota Mataram